BAB 24 - PENGHIBUR DI KALA DUKA

2239 Kata
            Saira, Aliyyah, dan Bian sampai di rumah Aliyyah yang luas setelah menempuh perjalanan setengah jam dan meminta agar supir Bian bisa melaju lebih cepat. Mereka sudah tidak sabar untuk sampai di rumah Aliyyah dan menyantap curry yang sudah disiapkan oleh bibi Aliyyah. Aliyyah juga setuju agar supir Bian mengendarai lebih cepat karena ia juga takut sampai di rumah Aliyyah lewat Maghrib. Karena Bian harus pulang saat bibi dan paman Aliyyah pulang untuk menghindari prasangka buruk orang lain.             Rumah Aliyyah adalah rumah yang cukup besar untuk empat orang dan cukup luas. Dari ruang tamu, semua bisa melihat ke seluruh penjuru rumah, termasuk dapur dan meja makan. Sementara bagian tengah rumas dibiarkan kosong dan abi Aliyyah sengaja menggelar karpet bulu berwarna coklat muda. Rumah Aliyyah memang bernuasa dominan coklat muda, dari dinding hingga railing tangga dan ubin yang diberi corak coklat sedikit lebih tua. Di bagian tengah ada satu buah sofa panjang berwarna krem dan beberapa buah bantal dengan sarung beludru lembut. Sofa itu diletakkan tepat di belakang karpet. Dan sebuah smart tv yang Saira yakini lebih dari 52 inch berdiri kokoh di atas rak tv di depan karpet. Pasti abi Aliyyah sengaja meletakkan karpet dan sofa ini untuk digunakan saat menikmati acara tv.             Selain ruang tamu, dapur, sofa di bagian tengah, dan meja makan dengan jumlah bangku enam buah, Saira hanya bisa melihat satu dua buah pintu yang saling bersebelahan di belakang tv—tv ada diantara kedua pintu itu—yang membuat orang bisa langsung menebak bahwa salah satunya adalah kamar mandi dan yang lainnya adalah kamar tidur utama.             Di rumah Aliyyah tidak ada foto sama sekali dan tidak ada patung, pajangan, atau pun gambar yang bisa membuat tamu mengetahui pemilik rumah ini. Hanya beberapa tulisan kaligrafi yang tersebar di seluruh penjuru rumah dan 99 nama Allah yang tergantung rapih di dinding ruang tamu. Jam dindingnya pun hanya sebuah jam digital berwarna coklat jati yang digantung di dinding berwarna coklat muda.               Saira sedikit takjub, mengetahui bahwa keluarga Aliyyah adalah keluarga yang cukup berlebih dilihat dari besar rumah tinggal mereka. Dan sebelum memasuki rumah, Saira bisa melihat sebuah garasi yang bisa diisi paling tidak oleh 3 buah mobil SUV dan beberapa sepeda motor. Ia tidak tau bahwa Aliyyah begitu sederhana. Selama ini, Saira mengira bahwa Aliyyah adalah orang biasa seperti dirinya, apalagi Aliyyah selalu pulang dan pergi menggunakan transpotasi umum. Sebenarnya Saira sudah sering ikut ke rumah Aliyyah sampai depan rumah saat Bian mengantar ia dan Aliyyah pulang, namun dari luar, rumah Aliyyah tidak terlihat seluas dan sebesar ini. Ini baru lantai satu, Saira semakin penasaran bagaimana dengan lantai dua.             “Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh. Bibi! Paman!” Aliyyah memanggil bibi dan pamannya yang tidak tampak sejak mereka memasuki rumah.             Seorang wanita setengah baya muncul dari luar dan memenuhi panggilan Aliyyah, “Iya, Mbak?”             “Dari mana?”             “Oh, abis beresin taman di belakang sama Paman. Ini temen-temennya Mbak Aliyyah, ya?” wanita yang dipanggil bibi itu tersenyum pada Saira dan Bian.             “Iya. Assalamualaikum, Bi,” kata Bian lebih dahulu. Kemudian Saira mengikuti dengan kata-kata yang persis sama.             “Silahkan, ya. Makanannya udah siap Mbak, Mas, di meja makan. Sama tadi sebelum pergi, Ibu udah buatin pudding sama buka kotak cemilan. Ada di kulkas dan meja ruang tamu, ya,” kata bibi.             “Makasih ya, Bi. Bibi sama Paman jadi pulang setelah Maghrib?” tanya Aliyyah sembari membuka tasnya dan meletakkannya di sofa ruang tamu.             “Iya, kenapa?”             “Kalau setelah Isya, boleh?”             “Boleh, kenapa?”             “Ada temannya Aliyyah, gak enak kalau gak ada orang tua di rumah,” kata Aliyyah nyengir. Yang ia maksud dengan temannya adalah Bian. Karena Bian seorang laki-laki, Aliyyah cemas akan menjadi fitnah bagi keluarganya.             “Aku pulang setelah Maghrib aja, Al,” kata Bian tau diri.             “Tapi kan kamu baru datang. Maghrib tinggal setengah jam lagi,” jawab Aliyyah.             Bibi langsung tau dan menjawab, “Boleh kok, Mbak. Nanti setelah Isya, Bibi sama Paman baru pulang, ya.”             Aliyyah tersenyum dan berterima kasih, diikuti bibi yang segera pergi dari pandangan mereka bertiga.             Aliyyah kemudian memimpin kedua temannya untuk mencuci tangan dan mengambil makanan yang sudah disiapkan bibi Aliyyah. Curry Jepang buatan bibi Aliyyah ini merupakan salah satu makanan yang paling enak yang pernah Saira makan. Rasanya gurih dan tidak keasinan. Potongan ayam katsu di atasnya pun tidak terlalu berminyak dan dagingnya sangat empuk dan meleleh di dalam mulut. Ditambah lagi, bibi Aliyyah juga menambahkan keju di dalamnya.             “Enak banget, Al,” kata Bian.             “Iya, masakan bibi emang enak, Bi. Bibi masak agak banyak tuh, kamu nambah aja,” kata Aliyyah.             “Makasih Al, aku di rumah pingin makan masakan mama juga soalnya. Gak enak sama mama, pasti mama udah masak. Apalagi hari ini hari Jumat, papa pasti pulang lebih cepat,” kata Bian menolak dengan halus.             “Wuuu, family man!” kata Saira menggoda Bian sambil meninju lengan Bian.             Bian melirik ketus dan Aliyyah tertawa melihat tingkah kedua sahabatnya.             “Anyways…” Saira teringat pada Gibran yang mendatanginya ketika di kantin tadi. Ia ingin menjelaskan semuanya pada Aliyyah dan Bian. Saat mendengar Saira mulai, mereka pun langsung menyimak dengan seksama.             “Maksudnya kita beda itu apa, Sar?” Aliyyahlah yang pertama kali memberi respon saat Saira menyelesaikan ceritakanya. Sementara Bian masih memutar bola matanya tampak memikirkan sesuatu.             “Aku juga gak tau, Al. Mungkin bedanya aku suka sama dia, dianya gak suka sama aku kali,” jawab Saira dengan cemberut. Ia tidak bisa membiarkan dirinya untuk tidak berpikir negatif.             “Tapi kan dia suka sama kamu, Sar. Dia bilang loh kemarin. Kan kamu yang cerita sendiri,” lagi-lagi Aliyyah mengingatkan.             “Abis gimana Al, aku juga bingung,” kata Saira makin merengut, tapi tidak menyalahkan Aliyyah.             “Kamu jangan mikir negatif. Jadi kalian tadi ngobrol tapi gak ada konklusi dong?”             “Iya, Al. Kayaknya aku juga salah deh. Aku tadi langsung pergi gitu aja.” Saira menyalahkan dirinya, kemudian beralih pada Bian, “Tapi Bi, emang Kak Gibran gak pernah deketin siapa-siapa ya? Kok banyak yang confess?”             “Sebelum sama lo sih, gak pernah ada yang diajak nonton basket dan diajak pulang bareng atau istirahat bareng setau gue. Cuma, kalau banyak yang confess kan rumornya Bang Gibran emang baik ke semua orang, bikin cewek-cewek salah sangka.”             “Jadi?” Saira menuntut penyelesaian.             “Jadi apa?” tanya Bian bingung.             “Jadi gue musti apa, ya guys?” Saira balik bertanya pada kedua orang di sampingnya.             “Tapi kayaknya gue tau deh, maksudnya Bang Gibran bilang kalo lo sama dia beda,” ucap Bian.             “Apa?” Saira langsung semangat dan mendekatkan dirinya pada Bian. Namun saat melihat ekspresi di wajah Aliyyah yang sedikit berubah, Saira memundurkan badannya lagi.             “Lo udah pernah ketemu orang tuanya Bang Gibran?” tanya Bian.             “Belum, kenapa?”             Bian mengangguk, Saira mengerutkan dahi. Ia yakin Bian tau sesuatu.             “Gapapa sih, penasaran aja kalian tuh sedeket apa. Masa udah mau setahun deket, masih belum kenal orang tua,” kata Bian.             “Yee kirain kenapa,” balas Saira menjadi tidak semangat.             “Lo ngobrol aja deh sama Gibran. Dengerin sampai selesai ngomong, jangan langsung ngambek terus kabur,” kata Bian sambil menambahkan beberapa sendok curry ke dalam piringnya.             “Bi! Katanya lo mau makan lagi di rumah? Kok malah nambah?” tanya Saira.             “Astaghfirullah! Aliyyah, aku lupa gara-gara ngomong sama Saira,” Bian membela diri.             “Hahaha gak apa-apa Bi, kan aku juga bilang habisin aja.” Aliyyah tertawa. Baru kali ini Saira melihat Aliyyah tertawa lepas di depan Bian setelah kejadian penolakan Bian tempo lalu.             Entah karena Bian memang suka pada curry buatan bibi, atau memang ia semakin menyukainya karena melihat Aliyyah yang sudah tertawa lepas lagi di depannya, Bian makan dengan sangat lahap. Ia bahkan tidak melirik handphone­­-nya yang sejak tadi menampilkan banyak notifikasi pesan masuk. Dan Saira bahagian melihat kedekatan Aliyyah dan Bian yang perlahan sudah kembali seperti dulu.             Selesai makan, mereka bergegas sholat Maghrib di karpet ruang tengah—yang ternyata memang tempat keluarga Aliyyah melaksanakan sholat berjamaah setiap hari—dengan diimami oleh paman. Seorang laki-laki dengan janggut beruban dan wajah yang sangat berwibawa. Di kemudian waktu, Saira dan Bian baru tahu bahwa paman dan bibi bukanlah saudara langsung Aliyyah, melainkan orang yang bekerja pada orang tua Aliyyah untuk membereskan rumah dan menjaga anaknya saat mereka tidak ada di rumah.             Tepat pukul delapan malam, setelah sholat Isya dan menikmati cemilan serta teh manis sebentar, Bian pamit pulang, diikuti oleh paman dan bibi yang juga pulang. Bian pulang dengan supirnya yang sudah menunggu dari tadi di Masjid sekitar kompleks, sementara paman dan bibi pulang dengan motor yang mereka bawa.             Selepas mengantar Bian pulang, Aliyyah mengunci pintu dan mematikan lampu di lantai satu, kemudian ia mengajak Saira untuk naik ke kamarnya di lantai dua, karena hari ini mereka akan bermalam di sana.             Lantai memang tidak begitu besar jika dibandingkan dengan lantai satu. Namun, ada tiga buah pintu yang Aliyyah akui sebagai kamarnya, kamar Aisyah, dan kamar tamu. Ada juga sebuah kamar mandi di antara kamar Aliyyah dan kamar Aisyah. Selain itu, terdapat sebuah area yang cukup besar yang dibatasi dengan penyekat ruangan minimalis. Ketika Saira menunjukkan ketertarikannya pada ruangan itu, Aliyyah bercerita bahwa itu adalah perpustakaan kecil milik keluarganya. Saira sempat melihat sekilas dan menemukan dua buah rak buku besar dari kayu yang terisi penuh, serta sebuah sofa yang kelihatannya diperuntukkan untuk orang yang ingin membaca langsung di sini. Di ujungnya, terdapat sebuah meja dan kursi komputer lengkap dengan seperangkat unit komputer.             “Aisyah tidur sama kamu?” tanya Saira saat memasuki kamar Aliyyah dan mendapati beberapa mainan anak kecil di sana.             “Iya, kadang,” jawab Aliyyah.             Kamar Aliyyah tidak kalah bagus dibandingkan bagian dalam rumah Aliyyah secara keseluruhan. Kamarnya sederhana, namun mengingatkan Saira pada kamar-kamar di drama korea yang ditontonnya. Nuansa kamar itu adalah merah jambu, dengan sentuhan putih yang dominan. Sebuah tempat tidur single sudah rapih dan di atasnya tertutup selimut bulu berwarna merah jambu. Sementara kasurnya berwarna merah muda yang sangat soft, begitu pula dengan bantal dan gulingnya. Di sisi lain ada meja belajar dan sebuah lemari besar yang di pintunya tergantung cermin berukuran sama.             Di bangku belajar Aliyyah, Saira menemukan bantal berbentuk huruf A besar. Saira ingat bahwa di pintu kamar tadi, ia juga menemukan inisial A tergantung di luar.             “A itu maksudnya Aliyyah ya?” tanya Saira penasaran.             “Iya, A itu kan banyak. Aliyyah… Aisyah…” jawab Aliyyah.             Hari ini Saira merasa seperti sedang tur di rumah Aisyah. Ia menanyakan banyak hal yang sebenarnya tidak perlu, dan beberapa hal lain yang sebenarnya ia tanyakan hanya karena penasaran. Ia tidak tau bagaimana cara mengalihkan perhatiannya dari Gibran yang belakangan ini sudah menjadi bagian dari hari-harinya. Pesan singkatnya, teleponnya, panggilannya, obrolan mereka, dan banyak hal lainnya. Satu-satunya yang Saira miliki hanyalah kedua temannya. Karena bunda dan kedua kakaknya tidak mungkin diceritakan hal-hal seperti ini.             “Al, makasih ya. Kamu udah ngebolehin aku nginep di sini,” kata Saira dengan mimik sedih yang ia buat menyamakan suasana hatinya.             “Iya, Saira. Kamu kan juga ngehibur aku waktu aku sedih,” kata Aliyyah tersenyum.             “Aisyah apa kabar?” tanya Saira buru-buru mengalihkan karena tidak ingin tenggelam dan berubah menjadi drama sahabat sejati. Namun, ia tulus berterima kasih pada Aliyyah.             “Alhamdulillah, baik. Ke dokter A, B, C, semuanya Ummi cobain. Ummi kadang suka nyalahin diri sendiri, tapi aku sama abi coba kuatin ummi aja. Padahal abi juga pasti sedih,” kata Aliyyah.             “Keluarga kamu kan, keluarga baik. Aku yakin keluarga kamu pasti ditolong sama Allah,” kata Saira coba menguatkan Aliyyah. Tiba-tiba saja kata-kata relijius keluar dari mulut Saira.             Aliyyah tersenyum dan mengangguk, “Insya Allah,” katanya, lalu ia melanjutkan lagi, “Kamu sama Bian juga teman-teman yang paling baik.”             Saira tersenyum malu. Ia tersipu karena omongan baik Aliyyah barusan.             Obrolan dua sahabat, Saira dan Aliyyah terpotong tatkala suara handphone Saira terdengar memenuhi ruangan. Saira segera melihat nama Gibran di sana. Ia menelepon.             “Kak Gibran ya?” tanya Aliyyah.             “Iya.”             “Angkat aja. Gak baik loh, dia udah sering ngehubungin kamu. Tapi, kalau kamu gak mau angkat, balas aja pakai chat. Bilang kalau kamu udah gak mau dekat lagi.”             Saira mempertimbangkan omongan Aliyyah.             “Lagian Sar, kan lebih bagus kalau kamu fokus sekolah, bisnis, sama temen-temen? Dari pada galau terus…” Aliyyah mencoba memberi nasihat.             Saira menekan layarnya yang berwarna hijau, dan menempelkan telepon genggamnya ke telinga. “Halo?” ucap Saira. Lalu Aliyyah memberi isyarat bahwa ia akan keluar dari kamar untuk mandi. Saira mengangguk, mengiyakan.             “Saira,” suara Gibran di seberang menunjukkan kalau ia lega karena panggilannya tidak diabaikan.             “Iya, Kak?”             “Maafin saya ya, Sar?” tiba-tiba Gibran meminta maaf.             “Maaf kenapa?”             “Boleh gak saya ke rumah Saira sekarang? Mau jelasin semuanya, biar gak salah paham.”             “Saira gak di rumah. Saira nginep di rumah Aliyyah.”             “Oh, kalau besok?”             “Liat besok deh, Kak.”             “Oh gitu… Saira sibuk ya besok?”             “Mungkin.”             “Saira kapan bisanya?”             “Gak tau.”             “Saira boleh jauhin saya. Tapi saya harus ceritain semuanya dulu ke Saira, biar gak salah paham.”             “Salah paham apa?”             “Gak bisa lewat telepon.”             “Yaudah. Besok Saira pulang ke rumah jam 10.”             Saira mematikan sambungan. Ia juga mematikan daya telepon genggamnya. *** “Saira mana?” – Anak laki-laki berwajah familiar
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN