BAB 12

1200 Kata
Terlihat seorang pria paruh baya sedang menyusuri taman pemakaman. Langkahnya terhenti tak jauh dari makam yang akan dia kunjungi. Keningnya berkerut ketika sepasang matanya yang memerah itu melihat sesuatu di atas makam istrinya. Tubuhnya mematung sejenak sebelum akhirnya kembali memotong langkah menuju makam tersebut. Bryan membungkuk untuk mengelus nisan bertuliskan nama mendiang istrinya. Lalu meraih sebuket bunga mawar Juliet yang sudah mengering. Sepertinya bunga itu sudah lama berada di makam istrinya. "Apakah ini mawar Juliet? Apa Kailen yang datang ke sini dan membawa bunga ini?" gumam Bryan seorang diri dengan tatapan terpaku pada bunga tersebut. Namun Bryan mencoba berpikir jika bunga yang berada dalam genggamannya tadi bukanlah bunga mawar Juliet. Harganya yang sangat mahal pasti akan membuat Kailen berpikir dua kali untuk membeli bunga tersebut untuk diberikan kepada orang yang sudah meninggal. "Sepertinya Kailen sudah menyapamu," ucap Bryan seraya tersenyum tipis. "Kau pasti sudah mendengar kabar tentangnya. Putri kita sekarang bekerja sebagai sekretaris." Bryan terdiam sejenak. Benaknya memikirkan Kailen yang sudah beberapa hari ini tidak memberikan kabar lewat telepon maupun pesan singkat. Sepertinya pekerjaan sekretaris sangat menyibukkan putrinya. "Aku tidak sedih putri kita menjadi seorang sekretaris. Hanya saja ... aku merasa kesepian karena tidak mendapat kabar darinya," gumam Bryan pelan. *** Helaan napas panjang keluar dari bibir Kailen ketika tatapannya tak beralih sedikit pun dari pintu ruangan Adam. Kini pria itu tidak ada di dalam ruangannya. Kailen pun tampak tak sesibuk seperti biasanya karena ini adalah hari Kamis. Hari yang membuatnya tidak melihat Adam sepanjang hari. "Sebenarnya apa yang dikerjakan setiap hari Kamis? Kalau pun dia selalu pergi berkencan di hari Kamis, rasanya sangat keterlaluan karena mengabaikan pekerjaannya," gumam Kailen pelan. Duduk diam dan memiliki banyak waktu senggang membuat Kailen memikirkan tentang sebuah alasan yang dilakukan Adam di hari ini. Rasa penasaran seringkali muncul karena pria itu melakukan rutinitas yang aneh. Hampir 24 jam dirinya berada di sisi Adam tetapi tidak pernah melihat maupun mendengar jika bosnya telah mempunyai kekasih. Sehingga Kailen merasa tidak masuk akal melihat Adam meninggalkan pekerjaan begitu saja. Kailen tertegun ketika mendengar nada notifikasi dari arah ponsel. Dia melirik pada ponsel dan membaca notifikasi kalau dirinya akan menghadiri rapat dalam waktu sepuluh menit. Kini Kailen pun menghilangkan Adam dari benaknya. Dia segera bangkit dari atas kursi dan membawa buku, pulpen serta perlengkapan lain untuk menulis notula. Langkah Kailen berhenti tepat di depan lift. Dia mengulurkan tangan kanannya untuk menekan tombol lift. Ketika pintu sudah terbuka dan Kailen hendak melangkah masuk, tiba-tiba ponselnya berdering. Dirinya menatap deretan nomer baru tersebut seraya masuk ke dalam lift. "Selamat siang," sapa Kailen ketika menempelkan layar ponselnya ke arah telinga. Dalam sekejap tubuh Kailen mematung ketika mendengar penuturan sang penelepon. Kedua matanya membelalak tak percaya. Sambungan telepon itu begitu singkat tetapi Kailen masih mematung hingga lift berhasil mengantarnya menuju lantai dua belas. Kailen mengejapkan matanya berulang kali. Dia menekan tombol lift agar kembali mengantarnya menuju lantai dua puluh. Sembari menunggu sampai di lantai tujuan, Kailen menghubungi Robert Franklyn. Dia mengatakan tidak dapat menghadiri rapat karena ada hal yang mendesak. Saat tiba di lantai dua puluh, Kailen berlari keluar dan pergi menuju meja kerjanya. Dia meletakkan begitu saja buku dalam genggamannya dan segera meraih tas. Kailen kembali berlari menuju lift dengan tas yang menggantung pada pundak serta ponsel di dalam genggaman. *** Seorang wanita keluar dari dalam taksi. Dia melangkahkan kakinya selebar mungkin untuk mempercepat waktunya. Langkahnya mulai melewati pintu MHC Hospital hingga akhirnya berhasil berada di depan meja informasi. Dengan napas terengah-engah, Kailen berusaha bertanya pada suster yang menjaga ruangan tersebut. "Di mana ruangan atas nama Mr. Adam Miller?" tanya Kailen sembari berusaha mengontrol napasnya. "Beliau dirawat di ruangan president suite di lantai lima, Miss," jawab wanita yang mengenakan seragam serba putih tersebut. "Baiklah, terima kasih," ucap Kailen dan bergegas menuju lantai lima. Kailen pergi menggunakan lift. Tidak menunggu waktu lama, lift tersebut kini telah mengantarkannya menuju lantai lima. Ketika keluar dari lift, langkah Kailen mulai menyusuri koridor rumah sakit tersebut. Dia terus berjalan dengan pandangan memperhatikan sekeliling koridor. Sesekali dirinya berpapasan dengan beberapa dokter, suster maupun orang-orang yang tengah menjenguk sanak saudara mereka. Langkah Kailen berhenti di depan sebuah pintu. Dia mengulurkan tangan kanan untuk membukanya perlahan. Aroma rumah sakit semakin kuat terasa di dalam ruangan. Dengan langkah ragu, Kailen mulai memasuki ruangan tersebut. Dia melewati sebuah lorong yang panjangnya mencapai satu meter. Tatapan Kailen memperhatikan ruangan yang tampak luas serta mewah. Dirinya mulai berjalan pelan hingga menemukan sesosok pria yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Kailen mematung menatap pria itu dari kejauhan. Dia menipiskan bibirnya seraya menundukkan tatapan sekilas lalu mulai melangkah pelan menyusuri ruangan beralaskan lantai marmer putih. Kailen berhenti tepat di samping Adam lalu meletakkan tas selempang miliknya di atas meja besar yang terletak tepat di samping ranjang pria itu. "Ya Tuhan ... Apa yang terjadi? Kenapa dia bisa terluka parah seperti ini?" gumam Kailen seraya menatap iba pada Adam. Derap langkah kaki yang terburu-buru terdengar dari arah belakang. Sontak Kailen menoleh dan melihat kedatangan Howart bersama pria yang selalu berada di samping pria itu setiap saat. Kailen segera memiringkan tubuhnya, memberi jalan pada Howart agar menghampiri putranya. Ketika Howart sudah berada di depan Kailen, dirinya langsung menundukkan kepala sejenak untuk memberikan sal hormat. "Adam .... " gumam Howart sedih melihat putranya tak sadarkan diri dengan beberapa perban yang membalut bagian tubuh Adam. "Bagaimana keadaannya? Apa yang dikatakan dokter?" tanya Howart pada Kailen. Kailen menatap kanan kiri dengan cemas. Dia tersenyum masam karena tidak tahu jawabannya. Dirinya baru sampai di sini sejak beberapa detik yang lalu dan belum sempat bertemu dengan dokter. Lalu bagaimana Kailen akan tahu kondisi bosnya? "Ma-maafkan saya, Sir. Saya belum bertemu dengan satu pun dokter yang menangani Mr. Miller. Saya baru sampai di sini," jawab Kailen seadanya. Howart hanya mengangguk pelan mengiyakan ucapan Kailen. Dia mendesah kasar ketika matanya kembali tertuju pada Adam. Dimasukkannya kedua telapak tangan ke dalam saku celana seraya menghela napas panjang. "Kalau saja dia berhenti melakukannya ... Kecelakaan ini pasti tidak akan terjadi," gumam Howart membuat kening Kailen mengernyit bingung. Berhenti melakukan apa? Kalimat itu terasa sulit untuk ditelaah. Tetapi sepertinya Howart menyadari kebingungan Kailen ketika melirik ke arah dirinya. "Ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?" tawar Howart. "Ah, ti-tidak, Sir," jawab Kailen sembari tersenyum kaku. Percakapan mereka terjeda ketika mendengar derap langkah kaki lain yang berasal dari arah pintu. Dalam sekejap beberapa orang berseragam putih itu masuk ke dalam ruangan dan berhenti di depan mereka. Terdapat sekitar enam dokter termasuk intern yang memasuki ruangan. "Bagaimana dengan kondisi Adam?" tanya Howart ketika para dokter itu selesai memeriksa. "Kondisi Mr. Miller stabil. Tidak ada luka dalam pada bagian tubuhnya. Kami sudah memeriksanya menggunakan Rontgen dan X-Ray. Kami pun sudah melakukan CT-Scan untuk memeriksa kondisi kepalanya. Mr. Miller hanya mengalami cedera di bagian luar dan shock pasca kecelakaan." Setelah menjelaskan kondisi mengenai keadaan Adam, para dokter tersebut pamit keluar. Tidak lupa mereka menundukkan kepala pada Howart sebelum meninggalkan ruangan. Kini ruangan tersebut kembali sepi. "Maafkan saya, Sir. Saya ingin bertanya," ucap Kailen pelan meminta ijin. "Silakan," jawab Howart mempersilakan. "Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Mr. Miller. Beliau mengalami kecelakaan di mana?" Howart menatap Kailen sejenak sebelum menjawab pertanyaan wanita itu. "Dia mengalami kecelakaan di jalan tol Ochoa," jawab Howart. "Jalan tol Ochoa?" Kailen bergumam mengulangi jawaban Howart.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN