"Laporkan pada manajer produksi untuk menambah jumlah produksi HM-Always Read setengah dari planning awal."
Perintah Adam terdengar seiring langkah mereka menuju lift. Kailen mulai mencatat tugasnya pada tablet seraya menjawab ucapan Adam. Saat berhenti di depan lift, seperti biasanya Kailen mengulurkan tangan ke depan untuk menekan tombol lift hingga membuat pintunya terbuka. Adam langsung mengambil langkah lebar memasuki lift disusul Kailen.
Pintu lift mulai tertutup. Kailen masih terlihat sibuk dengan tablet untuk memeriksa hal lain. Sedangkan Adam sesekali menarik arah matanya untuk memperhatikan bayangan Kailen yang terlihat jelas pada dinding lift.
"Jam berapa untuk pertemuan berikutnya?"
Pertanyaan Adam mengejutkan Kailen. Wanita itu pun tampak terburu-buru saat mencari jadwal Adam.
"Pukul sembilan pagi ada kunjungan acara opening cabang baru Ourano Group. Anda masih punya waktu dua puluh menit untuk perjalanan menuju ke sana, Sir."
"Kita berangkat dalam lima menit. Kau masih punya waktu untuk menyiapkan sesuatu," ucap Adam saat pintu lift sudah mengantar menuju lantai ruangannya.
Adam melangkahkan kakinya keluar dari lift membuat Kailen mengikuti. Mereka berjalan menuju pintu ruangan. Saat sampai di depan pintu, Adam berhenti dan masuk ke dalam saat Kailen membuka pintu untuknya.
Kini bayangan Adam sudah tidak terlihat. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kailen saat berjalan menuju mejanya. Dalam sekejap Kailen langsung mendaratkan biritnya ke arah kursi dan menumpuk kedua tangan di atas meja.
"Menyiapkan sesuatu? Apa yang harus aku siapkan?" gumam Kailen pada dirinya sendiri dengan pikiran diselimuti kebingungan.
Pandangan Kailen mengabsen beberapa deretan jurnal kegiatan milik Adam sejak satu tahun yang lalu. Dia meraih salah satu jurnal lalu membukanya. Kailen tampak sangat memperhatikan setiap halaman sampai akhirnya dia melupakan tugas yang diberikan oleh Adam.
***
Braakk
Terdengar suara seseorang menutup pintu cukup keras. Kailen melepas sepatu heels seiring langkahnya menuju sofa. Tanpa mempedulikan sepasang sepatu miliknya masih tergeletak begitu saja di atas lantai, Kailen justru mendudukkan biritnya di atas sofa sembari setengah berbaring. Dia mengangkat kedua kakinya lalu meluruskannya di atas meja.
Tiada hari tanpa mengejar langkah Adam. Meskipun hampir satu minggu bekerja bersama pria tersebut tetapi Kailen masih belum bisa menyeimbangkan langkahnya. Rasa pegal yang menggerayangi betis membuat telapak kakinya terasa mati rasa.
"Aku tidak kuat jika harus terus melakukan itu," gumam Kailen dengan mata terpejam. Raut wajahnya menampakkan rasa lelah yang sangat ketara.
Kailen membuka kedua matanya ketika mendengar suara dari arah perutnya. Dirinya lupa telah melewatkan jam makan siang karena acara makan siang Adam bersama rekannya. Kailen pun bangkit berdiri. Dia berjalan pelan menuju lemari dingin untuk mengambil makanan roti sekedar mengganjal perut. Rasa lelah membuatnya enggan untuk memasak ataupun pergi keluar untuk membeli makan malam.
Langkah Kailen kembali menuju sofa lalu duduk di atasnya. Dia mulai menyantap beberapa potong brownies cokelat yang sempat dibeli dua hari lalu.
Beberapa menit kemudian Kailen sudah menghabiskan brownies tersebut. Kini rasa laparnya pun menghilang. Kailen segera bangkit dari sofa dan pergi ke kamar mandi. Dia harus mencuci wajah serta mengganti pakaian.
Namun langkah Kailen berhenti di tengah jalan. Keningnya mengernyit ketika mendengar ponselnya berdering. Dia pun memutar balik arahnya dan menghampiri sofa. Diraihnya tas berwarna krem yang tergeletak di atas meja. Kailen segera membuka tas dan mengambil ponsel.
Dalam sekejap terdengar decakan kesal dari arahnya ketika melihat sebuah nama kontak yang sedang tidak ingin menjadi pengganggunya. Dengan raut wajah terpaksa, dia pun menerima panggilan tersebut.
"Selamat malam, Sir," sapa Kailen tanpa menampakkan senyum. Dia berjalan menghentakkan kaki menuju sofa dan terduduk lesu.
"Kau di rumah?"
"Iya, Sir. Saya baru sampai di rumah," jawab Kailen. "Apa Anda membutuhkan sesuatu?" tanya Kailen. Di dalam hati dirinya berharap kalau Adam hanya iseng menghubunginya tanpa ada maksud lain seperti menyuruhnya ke rumah pria itu untuk kembali bekerja lembur atau semacamnya.
"Cepat keluar."
"Ya?!" Kailen membelalakkan kedua matanya. Sontak dirinya berlari menuju jendela dan menyingkap gorden. Matanya kembali terbuka lebar ketika melihat mobil Adam sudah terparkir di depan gedung rumah flatnya. "Ba-baik, Sir," sambung Kailen.
Kailen melempar ponselnya saat mendengar nada peringatan jika Adam sudah memutuskan sambungan telepon. Dia berjalan cepat dan memakai sandal sebelum keluar rumah. Tidak ingin mendapat bentakan Adam untuk menutupi harinya yang terasa sangat panjang dan melelahkan, Kailen berlari ketika menuruni setiap anak tangga sampai akhirnya berhasil melewati pintu gedung rumah flat yang dia tinggali.
Langkah Kailen berhenti tepat satu meter di depan Adam. Dia menundukkan kepalanya sejenak sebelum menyapa Adam. Melihat pria itu di hadapannya membuat pikiran Kailen sudah tidak karuan. Meskipun mematuhi perintah Adam adalah sebuah tuntutan pekerjaan, tetapi rasanya sangat tidak adil baginya jika Adam selalu mengganggu waktu istirahatnya yang begitu berharga.
Mungkinkah malam ini Adam akan menyuruhnya untuk menginap lagi seperti malam sebelumnya? Akh, memikirkannya saja sudah membuat perasaan Kailen menjadi buruk.
"Se—"
Ucapan Kailen terhenti saat Adam justru menyodorkan sebuah bungkus berlabel kan salah satu nama restoran makanan cepat saji yang terkenal, Dorsey. Dia justru mematung dengan penuh rasa bingung serta terkejut.
"Kau harus menjaga waktu makan dengan benar. Jangan sampai kau jatuh sakit dan mengambil hari cuti," ucap Adam dengan nada datar.
"Te-terima kasih, Sir," jawab Kailen gugup dan segera menerima bungkusan tersebut dari tangan Adam.
"Besok pagi kau harus datang lebih pagi saat ke rumahku. Sebelum jam setengah enam, kau sudah harus datang," ucap Adam mengingatkan.
"Baik, Sir," jawab Kailen.
Tanpa menunggu lama, setelah mengatakan itu Adam segera berbalik badan menghadap ke arah mobil membuat Kailen bergerak cepat untuk membukakan pintu. Adam masuk ke dalam mobil lalu mulai menyalakan mesin ketika Kailen sudah menutup pintunya kembali. Perlahan mobil hitam itu pun melaju, meninggalkan Kailen dengan perasaan yang bercampur menjadi satu.
Pandangan Kailen masih tertuju pada lampu mobil Adam hingga sudah tidak dapat di jangkau. Lalu dirinya memperhatikan bungkus makanan tersebut lekat-lekat. Jujur saja Kailen sangat terkejut melihat Adam datang ke rumahnya hanya untuk memberikan makanan.
"Tidak biasanya dia seperti ini," gumam Kailen lalu tersenyum lebar. Tatapannya tertuju ke arah jalan sekilas sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam gedung.
***
Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang. Adam mendesah kasar karena merasa kesal. Padahal awalnya dia berniat memberi makanan itu pada Kailen lalu menyuruh Kailen untuk menyetir mobil. Ya, niat awalnya adalah ingin agar Kailen kembali bermalam di rumahnya dan membuat wanita itu untuk bekerja sepanjang malam. Tetapi melihat reaksi Kailen karena pemberiannya, membuat Adam justru tidak sanggup mengatakan niat awalnya.
Adam menepikan mobilnya di pinggir jalan. Dia meraih ponsel untuk menghubungi seseorang. Meskipun tahu panggilannya tidak mungkin akan dijawab, tetapi Adam melakukan itu hanyalah untuk menghilangkan Kailen dari pikirannya.
Setelah melakukan dua panggilan dan tidak terjawab, Adam menekan menu pesan. Dia mengetik sebuah pesan singkat yang bunyinya masih sama dengan pesan-pesan sebelumnya.
Hening. Adam hanya terdiam ketika melihat tanda jika pesannya sudah terbaca. Dia menunggu selama beberapa menit dan berharap kali ini pesannya akan terbalaskan. Tetapi hal yang sama terjadi hingga membuat Adam mendesah kasar lalu melempar ponselnya ke arah jok di sampingnya.