Bab 6

1003 Kata
"Semua sudah saya jelaskan. Saya harap kamu paham, apalagi kamu kan pernah jadi sekretaris juga. Jadi, ngerti kan?" tanya Dion pada Santi yang sejak tadi mengikutinya. "Cukup. Saya paham kok!" jawab Santi singkat. "Oke, saya rasa kamu bisa mulai bekerja besok. Hari ini akan menjadi hari terakhir saya," ucap Dion kembali. Pria itu segera membereskan beberapa barang pribadinya. Seperti mimpi, hari ini penggantinya didapat dengan mudah setelah melalui banyak tantangan tersendiri. Ia baru menyadari sesuatu saat Santi masih berdiri di dekatnya. "Emmm, kamu boleh kembali ke rumah untuk hari ini," ucap Dion lagi. "Kalau kamu gak sibuk, boleh aku bicara sebentar?" tanya Santi kemudian. Tiba-tiba ia mengubah cara bicara pada Dion jadi lebih santai. "Eh? Boleh boleh. Ada apa?" "Tapi gak di sini." "Oke. Tunggu beberapa saat lagi." Santi menunggu beberapa saat hingga Dion menyelesaikan pekerjaannya. Kemudian mereka menuju kafe terdekat untuk berbincang seperti yang diminta Santi. Keduanya masuk lalu duduk dan memesan minuman. "Jadi ada apa?" tanya Dion langsung, bahkan sebelum minuman mereka datang. "Apa yang membuat kamu keluar?" ujar Santi mengajukan pertanyaan. "Aku?" "Ya. Kenapa kamu diganti?" "Karena sebentar lagi aku mau nikah," jawab Dion singkat. "Hanya itu? Apa ada masalah dengan bosmu yang cupu itu?" Dion menggeleng. "Memangnya kenapa?" "T-tidak, tidak apa-apa." Bersamaan dengan itu minuman pesanan mereka datang sehingga untuk beberapa saat mengalihkan perhatian Dion pada jawaban Santi. Pria itu sedikit heran dengan pertanyaan yang dilontarkan Santi, kemudian kini ia yang balik bertanya. "Sekarang giliran aku!" tegas Dion kemudian. "Jujur saja, aku heran kamu mau menerima pekerjaannya." "Ya, lalu?" "Ya, gitu aja. Heran." "Sebenarnya aku malas juga." "Malas gimana?" "Ya, seandainya ada pilihan lain aku bakal pilih pilihan itu." "Terus? Apa yang bikin kamu tetap ambil?" "Ya, mau gimana lagi. Aku butuh pekerjaan karena banyak angsuran yang harus ku bayar." "Ah, oke. Aku paham." "Iya, mana ada sih yang mau kerja sama bos yang tidak kenal fashion gitu? Cupu, kolot, ah aku gak ngerti lagi pokoknya." "Memangnya bosku terlihat begitu?" tanya Dion kemudian. "Apa perlu kamu tanyakan itu?" Santi balik bertanya. "Ya, tapi dia tidak seburuk yang kamu pikirkan. Penampilannya mungkin berbeda dari kebanyakan orang, tapi skill bekerja dia baik." "Hei, sekarang ini apa-apa dilihat dari penampilannya dulu. Kalau gini, klien-klien juga bisa-bisa pada kabur." "Eh, kamu jangan sembarangan! Nyatanya selama ini perusahaan yang kita pegang maju lebih pesat. Ah, udah deh kalau sekiranya yang ingin kamu bicarakan ini tentang keburukan dia di mata kamu, mending kamu gak usah terusin jadi sekretarisnya dia. Aku bisa cari lagi yang lain!" tegas Dion akhirnya, lama-lama ia pun merasa jengkel dibuatnya. "Gak usah baper! Aku cuma bilang gitu doang!" ucap Santi santai. Namun, Dion lebih memilih beranjak dari tempat duduknya kemudian pergi meninggalkan Santi sendiri. Biar begitu, Pras merupakan sahabatnya yang paling baik, dia yang membantu Dion bisa memperbaiki keadaan ekonominya. Pria itu bergegas kembali ke kantor kemudian menemui Pras di ruangannya. "Pras, Santi itu …." "Eh, iya, Yon! Dia bekerja mulai besok kan? Akhirnya ada juga yang mau bekerja sama aku. Jadi, kamu bisa fokus buat acara nikahan kamu deh!" ucap Pras begitu Dion masuk tanpa menggubris apa yang akan disampaikan sahabatnya itu. "Ah, i-iya." "Kamu tahu, setelah aku lihat Santi tadi aku menyesal karena mengira jika semua wanita di dunia ini tak ada yang bisa diharapkan, semua menilai dengan kacamatanya sendiri tanpa menghargai keputusan orang lain. Tapi ternyata masih ada orang baik yang lebih menghargai hal itu. Ya, aku kira Santi memang berniat kerja sungguh-sungguh tidak seperti yang sebelum-sebelumnya kan?" "Eh? I-iya, Pras." "Hei, kamu kenapa? Dari tadi kayaknya ada yang lagi dipikirin?" "Nggak, kok! Aku udah jelasin semuanya ke Santi mengenai tugas dia. Mengingat dia juga pernah jadi sekretaris jadi cukup mudah memberinya arahan. Hari ini juga kamu gak sibuk-sibuk banget, aku udah kirim juga lewat email mengenai jadwal besok. Jadi, boleh gak aku pulang lebih awal?" "Tentu saja, Sobat! Jika memang mendesak pulanglah! Kita adakan pesta perpisahan kapan-kapan!" "Oke! Thanks ya, Bro, untuk selama ini!" "Aku yang sangat berterimakasih karena kamu sudah banyak membantu dan selalu ada buat aku! Makasih ya, Yon, semoga karirmu setelah menikah semakin naik!" "Aamiin. Oke, aku cabut dulu!" Dion segera keluar dari ruangan Pras meninggalkan bosnya itu yang tampak lebih ceria dari biasanya. Dengan penuh semangat juga Pras mengerjakan pekerjaannya untuk hari ini hingga selesai lebih awal. Entah apa yang membuat pria itu lebih semangat dari biasanya. Selesai mengerjakan pekerjaannya, Pras kembali memeriksa dokumen yang memuat riwayat hidup serta pengalaman sekretaris barunya itu. Santi Amalia, usia dua puluh lima tahun. Memiliki pengalaman kerja yang cukup baik serta cakap dalam bertugas. Pras tampak mengangguk samar seolah memahami profil sekretaris barunya. Kemudian pria itu melihat fotonya, memandangnya dan memperhatikan dengan seksama. Rambut hitam yang panjang, kulit putih dengan kelopak mata yang besar, alisnya hitam terukir rapi dengan bantuan skill berdandan yang cukup baik. Senyumnya manis walau dalam foto formal. "Ya, oke juga!" gumam Pras kemudian. Ia segera menutup laptopnya kemudian keluar ruangan begitu ponselnya memberikan alarm memasuki waktu shalat. Menuju mushola yang berada di lantai bawah, Pras menaiki lift untuk turun ke sana. Beberapa karyawan menyertainya saat di lantai kedua. Ini hal biasa, karena di kantor itu tak dibedakan lift untuk atasan dan bawahan. "Pak Pras, denger denger udah dapet sekretaris baru nih?" ucap seseorang di antara karyawannya mengajak Pras berbicara. "Iya, alhamdulillah. Jadi Dion bisa fokus buat nikahannya," jawab Pras yang tentunya dengan sangat ramah. "Wah, bagus dong! Noh, pak Dion udah mau nikah pak Pras kapan nih?" celetuk yang lainnya. "Kapan-kapan kalau ada jodohnya! Lagian nikah itu bukan siapa yang cepat dan lambat karena bukan balapan. Nikah itu masing-masing sudah punya suratan kapan waktunya dan dengan siapa jodohnya. Jadi, semua nikah di waktu yang tepat kapan pun itu!" beber Pras tampak serius. "Ya elah, Pak, becanda doang! Bener sih apa yang bapak bilang, tapi tetep aja loh kudu ada usaha!" "Iya, Pak. Seperti mengubah penampilan dulu gitu, terus deketin cewek. Kalau diem nunggu aja mah kapan datangnya!" sahut yang lain. "Dah dah dah, ah! Kita shalat dulu!" ucap Pras mengalihkan begitu pintu lift terbuka saat sampai. "Iya itu mah past dong, Pak!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN