Ghina baru menyadari yang di maksud Akbar adalah Zalman, pria yang sudah menolongnya semalam. Kenapa seketika dia menjadi lambat dalam berpikir, mungkin ini karena benturan di kepalanya, pikir Ghina.
Ghina terpaku saat melihat penampilan Zalman tampak segar dan lebih santai dengan celana panjang berbahan denim dan kaos berwarna putih, rambut yang masih sedikit basah membuat pesonanya bertambah di mata Ghina.
Seketika Ghina menggeleng cepat dan melempar asal tatapannya saat Kedua matanya bertemu dengan mata Zalman. Pipinya merona seperti tomat karena tertangkap sedang menatap Zalman dengan intens.
"Oh, i-iya. Maaf saya lupa, kepala saya-"
"Sakit ya, Bu? Saya panggilkan dokter ya," potong Akbar cepat yang langsung keluar tanpa mengindahkan penolakan Ghina.
"Kamu sudah bangun?" tanya Zalman, pria itu melangkah ke arah sofa dan memasukan pakaian kotornya ke dalam paperbag yang kosong. Begitu juga dengan handuk yang di pakai untuk mengeringkan kepalanya.
Kepala Ghina mengangguk saja membenarkan pertanyaan Zalman.
Ghina melihat Zalman tanpa berkedip saat pria itu menyisir rambutnya hanya dengan jemari karena Akbar yang lupa membawakan dia sisir rambut.
Pesona pria bertubuh atletis dengan tinggi 178 cm itu sayang jika diabaikan, pikir Ghina. Kepala Ghina menunduk saat dia ketahuan sedang memperhatikan Zalman.
"Kalau Anda mau mengganti pakaian, Anda bisa gunakan ini. Ini pakaian putri saya, tapi masih baru. Dia banyak belanja tapi tidak di pakai semua, saya rasa ukuran tubuh kalian sama." Zalman mendekat dengan paperbag ditangannya dan memberikan pada Ghina.
Bersamaan dengan itu keduanya menoleh ke arah pintu saat Akbar masuk bersama seorang dokter.
Dokter itu kembali memeriksa Ghina karena Akbar yang memanggilnya.
"Saya tidak apa-apa, dok," lapor Ghina.
"Dari luar memang terlihat tidak ada keluhan tapi siapa tahu dalamnya?" timpal Zalman yang gemas dengan Ghina, wanita itu selalu mengatakan tidak apa-apa.
"Suami Anda benar, Bu," sahut dokter muda itu, dia baru saja aplusan dengan dokter sebelumnya dan mengira kalau Zalman dan Ghina adalah sepasang suami istri. Sontak pipi Ghina merona dan Zalman menjadi salah tingkah.
"Mereka bukan suami istri, dok," ungkap Akbar.
"Oh, maaf, maaf, saya kira -"
"Tapi mereka cocok ya, dok," sela Akbar.
Kepala dokter mengangguk membenarkan ucapan Akbar. Siapapun yang melihat Zalman dan Ghina akan mengira mereka sepasang suami istri padahal mereka baru saja bertemu semalam.
***
Sebelum jam makan siang Zalman meminta ijin keluar sebentar untuk membeli makan siang. Karena tadi pagi Akbar hanya membawa sarapan dan pria itu kini belum kembali ke rumah sakit untuk membawa makan siang sedangkan perut Zalman sudah protes minta di isi.
Kantin rumah sakit termasuk bersih dan lengkap, semua makanan tersedia di sana. Niatnya makan siang di sana Zalman urungkan. Dia membungkus makan siangnya kemudian memesan jus buah beberapa gelas dengan jenis buah yang berbeda. Begitu juga cemilan. Semua itu bukan untuknya sendiri melainkan untuk Ghina. Zalman paham betul kalau makanan rumah sakit walaupun sehat tapi tidak enak di lidah, dia ingin Ghina menikmati makanan yang enak.
"Semuanya berapa?" tanya Zalman pada kasir di salah satu penjual makanan dan minuman.
"Dua ratus lima belas ribu, Pak," jawabnya.
Zalman merogoh kantong celananya dan mengeluarkan dompetnya kemudian membayar semua tagihan pesanan makanan dan minumannya.
Bersamaan dengan itu ponselnya berbunyi.
"Sebentar, Mas," ucap Zalman. Karena pria itu hendak menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya.
My princess memanggil ...
"Pa, papa dimana sih? Dari kemarin kok gak pulang-pulang? Gak kasih kabar juga ke aku?" suara sang putri sangat nyaring terdengar di telinga Zalman sampai dia menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Assalamualaikum," salam Zalman setelah suara di seberang sana terdiam.
"Wa-waalaikumsalam, Pa," balas Kila.
"Nah gitu dong, beri salam dulu baru bicara," nasehat Zalman pada sang putri tersayangnya.
"Maaf, lagian Papa sih!"
"Papa lagi temani teman di rumah sakit, semalam dia masuk rumah sakit, memangnya Pak Akbar, Mbok Kayum dan Mbok Surti gak ngasih tahu?"
Kepala Kila menggeleng padahal papanya juga tidak bisa melihat aksinya itu.
"Pasti kamu gak tanya mereka 'kan?" selidik Zalman.
Ayunisa Shakila Maheer putri kesayangan Zalman, anak kedua dari pernikahan Zalman dan mendiang Katrin yang sedang duduk di bangku SMA memang sedikit berbeda, dia jarang sekali berbicara pada pekerja yang ada dirumahnya. Sedikit sombong karena merasa menjadi nona muda di sana di sayang oleh Zalman dan dia menjadi besar kepala. Dia sangat berbeda dari kakak laki-lakinya yang bernama Calvin, Calvin Hafuza Isham Maheer Putra pertama serta anak pertama dari Zalman dan mendiang Katrin yang sedang berkuliah di Jerman dia supel dan ramah pada semua orang. Kila yang selalu cerewet jika ayahnya tidak pulang bahkan telat pulang sedikitpun dia pasti akan selalu mencarinya.
"So, kapan Papa pulang?"
"Setelah makan siang, ya, Sayang."
"Ya sudah, bel sekolahku sudah berbunyi, aku mau istirahat dulu."
"Kamu telpon Papa di kelas?"
"Jam kosong, Pa. Sudah ya, bye, Pa."
"Ya, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Papa."
Kila langsung mematikan ponselnya dan memasukannya ke dalam saku kemeja sekolahnya. Gadis itu langsung keluar kelas menyusul teman-temannya yang sudah lebih dulu keluar menuju kantin sekolah.
Setelah selesai dengan telponnya, Zalman mengambil pesanan makanannya yang sudah dia bayar dan mengucap terima kasih pada pelayan di sana.
***
Langkah kaki Zalman terhenti di depan pintu kamar rawat VIP, telinganya mendengar percakapan dua orang wanita di dalam sana. Satu suara yang dia kenal adalah milik Ghina dan satu lagi entah siapa. Bukan maksud menguping tapi percakapan itu cukup kencang karena wanita yang Zalman tidak kenal itu sedikit tinggi intonasinya.
Zalman langsung berpura-pura duduk di kursi tunggu besi yang ada di luar kamar itu.
Tamu wanita itu keluar dari kamar rawat VIP Ghina tanpa menyadari kehadiran Zalman yang duduk. Seorang wanita dengan pakaian seksi dan glamor dengan sepatu hak tinggi, rambut berwarna pirang dan membawa tas bermerek mahal jalan berlenggak lenggok meninggalkan ruang VIP itu.
Ghina terkejut saat Zalman masuk ke dalam kamar tidak lama setelah wanita itu keluar dari sana.
"Kenapa makanannya belum habis?" tanya Zalman saat dia melihat nampan makan siang Ghina belum habis. Jangankan habis, tersentuh saja tidak karena semua masih dalam tertutup plastik tipis.
"Apa menunya tidak Anda suka?" lanjut Zalman karena Ghina masih terdiam.
Zalman menarik meja beroda khusus makan milik rumah sakit mendekat ke brankar, membuka plastik tipisnya dan dia juga membuka bungkusan makan siangnya.
"Kalau menu ini suka?" tanya Zalman menawarkan makan siang yang dia beli di kantin rumah sakit barusan.
"Aku tidak lapar, Tuan," jawab Ghina.
Zalman tertawa lepas, membuat Ghina tertegun dengan lesung pipi pria itu dan gigi putih yang berbaris rapih milik Zalman.
"Kenapa?" tanya Ghina pelan.
Zalman berdeham menetralkan suaranya, "Anda lucu, Mba Ghina."
Ghina langsung mengerucutkan bibirnya, antara kesal dan keran mengapa bisa-bisanya pria itu menilai dirinya lucu.