"Kita sudah sampai, Tuan," ucap Akbar singkat memberitahu majikannya yang tengah asik berbincang kalau mereka sudah tiba.
"Tunggu di sini sebentar, Bar."
Zalman keluar mobil dan membukakan pintu mobil untuk Ghina. Dengan canggung Ghina keluar dari mobil dan jalan berdampingan dengan Zalman sampai di lobby apartement itu.
"Unit kamu nomer berapa?" tanya Zalman seraya menekan tombol lift.
"Lantai 9 nomer 909," jawab Ghina.
Ting!
Pintu lift itu terbuka Zalman mempersilahkan Ghina untuk masuk terlebih dahulu kemudian dia mengikuti dari belakang dan menekan tombol angka 9 setelah itu Zalman keluar lagi dari lift itu.
"Istirahatlah, besok pagi saya tunggu di kantor. Selamat malam."
Zalman menekan tombol tutup, hingga lift itu benar-benar tertutup dia dan Ghina saling lempar tatapan dan senyum.
***
Ghina terkekeh sendiri di dalam lift, kepalanya menggeleng tidak percaya dengan kelakuan Zalman.
Dimana semua pria pasti mengambil kesempatan itu tapi Zalman berbeda. Ghina merutuki dirinya sendiri karena tadi sempat suudzon sama pria itu.
Ghina menjatuhkan dirinya di atas kasur empuknya setelah dia berganti pakaian tidur dan membersihkan riasannya.
Dibenak Ghina saat ini terus berputar tentang Zalman, pria baik itu memang selalu menjadi malaikat untuknya. Ghina mengambil ponselnya yang dia letakan sebelumnya di meja rias kemudian duduk di pinggir kasurnya. Jemari lentiknya dengan lihai menari di atas tombol qwerty ponselnya, mengetik sebuah pesan tapi kemudian dia hapus kembali.
"Atau besok aja yah aku ke kantor mas Zalman langsung?" Monolog Ghina.
***
Usaha tidak akan menghianati hasil, itu yang sering banyak orang bilang.
Akan tetapi, sayang faktanya tidak selalu terjadi demikian. Menyedihkan memang.
Sesuai dengan pemikiran manusia? Lucunya, hanya takdir yang tahu kemana mereka akan bergerak, orang-orang cenderung menyimpulkan begitu saja.
"Aku benar-benar putus asa," gumam Ghina mencurahkan keluhannya dengan suara serak, tubuhnya ambruk tatkala menyentuh kasur empuknya.
"Setelah bekerja keras selama ini, aku bahkan tidak bisa menikmati hasil jerih payahnya dengan benar, karena tidak ada yang tersisa, pendapatan habis tidak jelas," keluhnya.
"Kehidupan macam apa ini? Aku melakukan segalanya, tetapi rasanya kembali ke tempat semula tanpa mampu bergerak ke garis finish, tiap hal ini berakhir sia-sia." Ghina menaruh bantal di wajahnya kemudian dia berteriak kencang.
Lama ia memandang ke jendela, mulai gelap. Kosong, tidak ada satupun bintang yang menggantung di sana.
Menyedihkan sekali, batinnya.
"Bahkan, langit juga sepertinya mengejekku yang tidak memiliki apapun." Bibirnya yang kelu bergerak lemah.
"Mereka ikut tidak menghadirkan apapun malam ini, satu bintang pun." Ghina tersenyum getir nampak untuk mengasihani dirinya.
"Kenapa? Kenapa untukku rasanya sulit sekali hidup normal?" lirih wanita itu.
"Aku bahkan tidak meminta apapun atau memaksa Tuhan memberikanku sesuatu yang luar biasa, lantas mengapa yang diambil-Nya justru tak terukur, aku sampai kehilangan segala?" Ghina bangkit dan berniat untuk tidur saja, setelah selesai puas mengutarakan perang batin yang terjadi.
Wanita bertubuh seksi itu membereskan beberapa barang yang tergeletak.
Perutnya terasa lapar tapi dua tahan karena pantang baginya makan malam.
Ghina tahu dirinya sudah lalai terhadap tubuh sehat yang diberi Tuhan, padanya. Begitu jahat sampai dibiarkan kelaparan hingga berjam-jam, lamanya.
Menghela napas panjang, sejujurnya wanita itu sangat tidak suka mengeluh. Sayangnya hidup yang selalu membuatnya demikian.
"Tidak masalah, Na. Demi body goal." Dua tangannya mengusap perut, merasa bersalah.
Dirasa tidak ada yang bisa dia lakukan dan kerjakan, juga berniat untuk menghemat tenaga, Ghina memilih untuk tidur lebih cepat.
Baru saja hendak terlelap dan membiarkan tubuhnya melayang ke alam mimpi, Ghina dikejutkan dengan suara bell pintu unitnya berkali-kali.
"Iya, siapa?" cicitnya, berusaha untuk memastikan lebih dulu gangguan apa itu.
"Buka!" teriak seseorang membentaknya dari luar.
Karena suara wanita yang memintanya untuk segera membukakan pintu terdengar tidak asing, Ghina sepertinya tahu masalah apa yang akan timbul malam ini.
Dengan menghela napas panjang dan mengepalkan genggaman tangannya, wanita itu mengumpati kesialannya sekali lagi.
"Bahkan untuk beristirahat dengan tenang saja aku tidak diizinkan," gerutu Ghina.
Bell pintu semakin sering berbunyi.
"Keluar! Sekali lagi aku memintamu, atau akan ku dobrak pintu ini!" teriak orang itu lagi memecahkan gendang telinga.
Ghina tidak bisa memprotes apapun selain menerima dan menuruti kejutan di malam itu.
"Lama sekali, kau ingin melihatku murka lebih dulu baru membuka pintu?!" ujar sang mami, dipanggil demikian karena dia adalah Lira mucikari yang menaungi wanita-wanita penghibur.
"Kau tidak tahu aku sudah berteriak sampai berapa kali?!" bentaknya.
Entah usianya yang memang sudah berumur atau kepribadian pemarahnya yang membuat wajah terlalu cepat menua, Ghina juga tak tahu dengan pasti. Yang jelas, ia hanya lelah. Lelah sampai tidak sanggup membalas.
"Maaf, Mi. Aku baru saja ingin tidur," ucap Ghina.
Meskipun demikian, Ghina berpikir sudah menjadi tanggung jawabnya menjelaskan. Sebelum kalimatnya dilahap habis, terpotong naas.
"Tidur?!" Sosok itu melangkah maju mengintimidasi Ghina.
"Kau bilang apa barusan tadi? Kau bilang ingin pergi tidur?!" ulangnya.
Ghina sampai kesulitan menelan salivanya, membasahi kerongkongan yang tercekat, kepala itu mengangguk lemah. Ghina hanya berusaha jujur.
Plak!
Lira menampar pipi Ghina.
"Bagaimana kau bisa memikirkan untuk tidur dan beristirahat malam ini, padahal ada kewajiban yang belum kamu tuntaskan?!" bentaknya.
"Kenapa kamu tidak kembali setelah bertemu dengan Mr. Jansen?!" lanjut sang mami.
Selain suaranya yang sangat keras, mampu membangunkan siapa saja, malam itu. Wanita ini juga memiliki kepribadian buruk karena seringkali melakukan penganiayaan fisik, arrogant.
Manusia yang seperti ini sejatinya tidak hanya muncul di film semata. Beberapa orang yang tidak beruntung terpaksa bertemu dengan mereka dan mengalami kejahatan yang sama.
Ghina meraih tangan wanita seksi itu, memohon dengan sungguh.
"Maaf, Mi. Untuk saat ini aku benar-benar tidak ingin bekerja seperti itu lagi," jelasnya, takut.
Tindakan itu adalah tindakan paling bodoh yang pernah ia lakukan.
Dengan mengakui keadaannya yang lemah kepada wanita yang tidak berbelas kasih, Ghina secara tidak langsung membiarkan tubuhnya untuk mengalami penyiksaan yang sama, lagi.
"Aku berniat untuk berhenti dari dunia itu, aku ingin menjalani hidup layaknya wanita normal lainnya," ucapnya, tersedu.
Siapapun yang mendengar lirihan itu pasti merasa sangat iba.
Namun berbeda dengan Lira.
Seseorang yang sulit untuk memperlakukan manusia dengan baik tidak akan tahu dan paham rasanya bergantung kepada pengampunan orang lain.
"Sungguh, bukan karena aku ingin mengatakan kebohongan atau berbual kepadamu, tetapi aku memang benar-benar ingin berhanti," akunya.
Mata Ghina meneteskan air bening, jatuh pertama. Hari ini, setelah kesulitan panjang yang ia alami, baru Ghina bisa menangis dengan leluasa di depan wanita ini.
"Tolong aku, sekali ini saja, biarkan aku mencari jalan hidupku sendiri." Kedua mata Ghina sudah berair.
Mendadak Ghina mengoreksi kalimatnya. "Tolong, mengerti."
"Kenapa aku harus mendengarkanmu?" Wanita yang Ghina panggil Mami itu menyela.
"Katakan apa alasanku harus mengikuti setiap perintah yang keluar dari mulutmu itu?" Tangannya ia letakkan di pinggang. Terus mendorong Ghina ke belakang.
"Aku sudah banyak membantumu, kamu tidak bisa begitu saja berhenti, Sayang. Ini sudah menjadi dunia kamu yang sebenarnya!" bentaknya.
"Untuk apa kamu berhenti? Ingin tobat, eh?" gertak sang mami.