4

655 Kata
Jengkel, aku meraih pisau lalu melemparkannya ke arah ibu mertua. Ibu berlari keluar sambil berteriak-teriak. "Tolooong! Aku mau dibunuh Naaay!" *** "Naaay! Nay!" Itu suara Ibu. Segera aku berdiri lalu melangkah ke arahnya. Ibu sedang duduk di bibir ranjang, kedua tangannya bergerak ke sana kemari menimang bayi. Lho? Lalu yang mati tenggelam dalam bak siapa? "Kamu itu bagaimana sih, anak nangis kok didiamin aja!" Ibu menatapku sewot. Sementara di sebelahnya, Fani sedang mengusap-usap rambut si dedek yang tengah menatapnya, sesekali bibir bayi mungil itu melekuk senyum manis. Aku mendekat, ibu segera memberikan dedek. Segera kubawa ke sumur, sedikit terkejut saat mendapati bantal guling dedek ada di dalam bak. Siapa yang melakukannya? Fani, jelas tidak mungkin. Aku mencoba mengingat-ingat. Seperti, sesuatu yang tak asing. Kulepas baju dedek lalu perlahan memandikannya. Aku tersenyum saat menatap wajahnya yang mendamaikan hati, ia balas menatap, tersenyum lucu. Sungguh menggemaskan sekali bayi ini. Tetapi, dalam sekejap aku merasa sangat sedih dan tahu-tahu sudah terisak. Perasaan apa ini? Kenapa emosiku mendadak berubah-ubah? Masih sambil terisak, aku menuju kamar, lalu dengan pelan membalurkan minyak telon ke perut dedek. Si dedek memandang sambil tersenyum, anehnya, aku justru sangat sedih. "Kamu kenapa Nay? Seperti orang gila menangis sendiri!" Ibu melongok ke kamar, aku mengembuskan napas. "Sini biar ibu gendong, kamu makan dulu sana! Sudah ibu siapkan di piring." Aku menurut tanpa protes. Ibu segera meraih dedek, menimangnya sambil sesekali tertawa bahagia. Kutinggalkan mereka dan duduk termenung di dapur. Di hadapanku, ada piring dengan mangkuk berisi sayur bening dan potongan ayam. Aku perlahan menyuap makanan. Menyuap sambil menangis. Ibu ... aku kangen. Ayah ... aku kangen. Masa-masa bahagia sebelum menikah tiba-tiba berkelindan di benak. Kami sekeluarga makan bersama. Aku bercanda gurau dengan teman-teman kampus. Nongkrong di perempatan, di kafe dengan dua Dila dan Rindai itu. Meskipun mereka nakal, tapi aku tak ikut-ikutan. Prinsipku, berteman boleh dengan siapa saja, asal tak mengikuti perbuatannya. Aku tak ikut menjajakan tubuh. Hanya sesekali khilaf dan mencoba mencecap minuman haram. Aku terisak. Seandainya waktu itu aku tak mabuk berat ... pasti aku belum menikah. Saat menatap makanan di piring, entah mengapa, tiba-tiba aku merasa diperlakukan seperti pengemis. Makan saja harus diambilkan dulu. Aku menggigit bibir, terisak. Ayah, ibuu, aku kangeen. Apa mereka belum dikabari kalau aku sudah melahirkan sehingga tak juga ke sini? Hanya Mas Pram yang menggunakan HP. Sementara HP-ku sudah lama hanya menjadi pajangan karena tak pernah diisi kuota. Kuusap air mata di pipi, lalu memaksa menelan makanan agar ASI-ku lancar. "Kamu kenapa Nay? Nangis sendiri seperti orang gila." Ibu menatapku dengan wajah heran. Keningnya berkerut. Tak ada dedek dalam gendongannya. Mungkin si dedek sudah tidur. Lekas kuusap air mata di pipi, lalu menggeleng sambil menyuap. Suara isakan terus keluar dari mulutku. "Gak papa kok nangis sendiri?" Ibu menatapku penuh selidik. Aku kembali menggeleng. "Yasudah makannya cepet dihabiskan! Makan sayurannya yang banyak biar ASImu banyak!" katanya sambil menuang minum. Aku menatap ibu dengan d**a bergemuruh. ASI. Selalu saja, agar ASI-ku banyak. Selalu dedek yang dipikirkan Ibu. Dengan perasaan berkecamuk, kuraih pisau di meja. Mencengkeramnya erat. Lalu kulempar sekuat tenaga ke arah Ibu. "Nay! Apa-apaan kamu?!" Ibu berteriak ngeri saat ujung tajam pisau itu mendarat di lenganku kemudian jatuh di lantai. Tangan Ibu berdarah. Ibu menatapku dengan pandangan tak percaya. Tanpa membuang waktu, aku beranjak bangun lalu meraih pisau itu. Mengarahkan ujung lancipnya ke wajah Ibu. Dadaku terasa panas bergemuruh. Bunuh, Nay! Bunuh nenek lampir di hadapanmu! Ibu beringsut mundur, wajahnya penuh kengerian. Ia membalikkan badan lalu berteriak panik. "Tolong! Toloong! Aku mau dibunuh Naaay!" "Bundaaa! Apa yang akan bunda lakukan pada nenek?!" Teriak Fani dengan wajah ketakutan. Ia menghampiri ibu lalu memeluk pinggang perempuan yang tampak syok itu. Tampak luka memanjang di lengannya yang mengeluarkan darah. Kutatap benda di tangan lalu menjatuhkannya. Kenapa aku tiba-tiba jadi begini? Ada apa denganku .... Aku terisak. ? Duuh, kasihan ibu kena pisau. Nay mulai aneh. Ada yang tau penyebab ia begitu karena apa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN