"Kita akan menjadi suami istri besok." Mira langsung membulatkan kedua bola matanya, dan langsung kuhadiahi dengan kecupan singkat.
Hanya sekedar kecupan kilat, dan dia tampak mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Lucu, sih. Macam orang malu dan kaget yang jadi satu. Bahkan rona kemerahan pada pipinya terlihat nyata.
"Ayo masuk," ajakku yang langsung membuka pintu mobil namun urung. Mira ternyata menarik ujung jasku sebelum aku berhasil keluar, hingga aku kembali terduduk menghadapinya.
"Ada apa? Kamu mikirin apa, Mira?" Puncak kepalanya kembali menjadi sasaran usapan jemariku. Raut Mira berganti raut kekhawatiran, dan itu mengingatkanku sewaktu pertama kali mengajaknya kesini.
"Barra...." Dia memanggilku dengan nada manja, yang baru pertama kali terdengar olehku.
"Apa...?" Aku kembali mendekatkan diri, dan menunggunya berbicara lebih jauh. Mengamati setiap raut yang tercipta darinya.
"Kamu enggak bohong, kan? Kamu enggak lagi ngehibur aku, kan?"
Yang mana nih maksudnya. Soal pernikahan kita, atau soal tinggal di rumah mama? Aku bahkan sudah menghubungi seorang teman yang kebetulan bekerja di kantor urusan agama, untuk bertanya-tanya bagaimana cara mendaftarkan pernikahan.
"Kapan aku bohong sama kamu, coba?" Tanganku masih bersarang di belakang kepalanya, dan langsung digesernya dengan mudah.
Dia langsung merengut dan memutar tubuh membelakangiku. "Tapi kenapa kamu jadikan aku bahan pertaruhan?"
"Itu...." Aku menggaruk tengkukku dan memikirkan kata-kata yang tepat, agar Mira bisa menerima alasanku. Pertaruhanku jelas urusan yang berbeda. Kenapa Mira malah sangkut pautin, sih?
"Nanti aku jelasin di dalem, ya?" Aku memilih urung mengatakan alasanku, karena baru ingat kalau kita berada di dalam mobil terlalu lama. Bisa bahaya kalau mama tiba-tiba menghampiri kami dan menggedor kaca mobilku. "Udah ditunggu Mama. Kita masuk dulu, ya?"
Kembali kuusap belakang kepalanya, dan beranjak keluar dari mobil. Kami bertemu di depan mobil dan berjalan menuju pintu rumahku, meski Mira masih tampak merengut.
Benar dugaanku. Ternyata mama sudah menunggu kami, bahkan beliau sendiri yang membukakan pintu untuk kami.
"Masuk, Mira." Mama langsung menyambut Mira, seolah tak pedulikan keberadaanku di sini.
Kebiasaan. Ya gitu, kalau udah nemu yang cocok, anak langsung dilupakan. Auto serasa jadi anak tiri.
Mama langsung menggiring Mira ke lantai atas. Bukannya ngarahin ke kamar tamu, mama malah ngarahin Mira ke kamarku. "Sementara, kamu tidur di sini ya, Mir?"
Bentar. Ini gak lagi bercanda, kan? Mama beneran ngijinin aku dan Mira tidur dalam satu kamar?
"Serius, Ma?" Aku hampir meloncat karena saking bahagianya. Gak bisa ngebayangin kalau nanti malem ada Mira tidur di sampingku. "Akhirnya, aku bisa tidur sama kamu, Mir."
Hampir saja kupeluk tubuh Mira, namun mama lebih dulu mencegahku dengan memasang badan di depanku. Jangan lupakan jeweran pada telingaku. "Ngawur! Enggak tidur sama kamu juga, Barra."
Astaga! Ini tangan mama terbuat dari apa, sih? Meskipun udah aku usap-usap daun telingaku, tetep aja nyerinya masih kerasa. "Sakit tau, Ma," protesku.
"Ya kamu ada-ada aja! Ini masa depan anak orang." hardik mama.
Mira tampak terkikik dibalik telapak tangannya, meski mata sembabnya masih kentara. Dikiranya lagi nglenong, apa? Mama juga, sih? Kayaknya hobi banget bikin anaknya terkesan kayak anak manja.
Aku berdecak kesal dan memilih membaringkan tubuh pada ranjang super empukku. Hari ini, terasa sangaat panjang. Ralat. Bukan hari ini aja kayaknya, tapi akhir-akhir ini.
"Eh, ngapain kamu di sini! Kamu tidur di kamar sebelah, sana!" Dengan tega mama menarik lenganku dengan kuat. Ini bukan sekedar tarikan biasa, tubuhku sampai mengikuti arah tarikannya. Gila! Mama habis makan apa, sih?
"Gak mau, Ma." Aku berusaha mempertahankan posisiku dengan meraih sandaran ranjang untuk aku jadikan pegangan.
Bukan apa-apa. Aku hanya tidak terbiasa tidur di kamar tamu yang ukurannya lebih kecil dari kamarku. Lebih dari itu, aku enggak mau ketahuan Mira kalau aku nyimpen beberapa foto para mantan di laciku. Aku belum sempat beresinnya.
"Enggak apa-apa Tante. Kamar ini terlalu besar buat Mira. Mira aja yang tidur di kamar tamu." Ternyata Mira jauh lebih pengertian. Dia juga tampak meyakinkan mama kalau dirinya malah merasa merepotkan jika tidur di kamarku.
Sebenarnya sih, enggak ya kalau tidurnya sama aku. Ha ha ngarep!
"Bener, Mir?" Tatapan mama beralih ke Mira, dan langsung mendapat anggukan darinya. "Aduh, jadi gak enak Tante."
"Enggak apa-apa bener kok, Tante."
Ah, suara itu mampu menenangkanku, dan aku semakin nyaman menjatuhkan tubuh ke ranjang.
"Ya udah kalau itu mau kamu. Tante dapet notif, pesenan Tante datang. Tante tinggal bentar, ya." Efek online shop di jaman sekarang. Mama emang semakin sering belanja kebutuhannya tanpa harus keluar rumah. Alasannya lebih menghemat waktu.
Mira kembali menganggukkan kepalanya. Kali ini tatapan mama beralih kepadaku. "Barra! Anterin Mira ke kamarnya."
"Oke Mamaku yang cantik." Ibu jari dan telunjukku teracung ke udara membentuk huruf o.
Tinggal aku dan Mira dalam kamar. Tapi suasana menjadi canggung, karena Mira langsung ke mode cuek kembali. Mira mendengkus kesal, dan hampir beranjak dari kamarku.
"Mau kemana?" Aku segera bangun dan menarik lengannya sebelum dia berhasil menjauh. Kuputar tubuhnya hingga dia terdiam dalam pelukan, berdiri di dekat ranjang, sementara aku terduduk dan menenggelamkan wajah pada perut ratanya. Aroma wangi tubuhnya memenuhi indra penciuman.
"Maafin aku, Mir." Aku mendongak, memperhatikan raut kecewanya dari sini. Helaan nafas panjang darinya, mengundangku untuk menarik tubuhnya agar duduk di sampingku.
"Maafin aku udah nyakitin kamu. Tapi percaya sama aku, pertaruhanku sama Evan, itu bener-bener nguntungin kamu."
Mata kelamnya sempat terpaku padaku beberapa saat. Dia segera menggeleng dan menegaskan. "Jangan beri aku harapan, Barra. Jangan terlalu baik kalau ujung-ujungnya kamu tinggalin aku."
Kedua tanganku berpindah ke samping pipinya. Mengunci tatapannya agar tidak menunduk lagi. "Aku sudah bilang, aku beneran suka sama kamu bukan karena iba. Aku ingin jadi yang pertama dan terakhir buat kamu, Mir. Apa kurang jelas?"
"Sumpah. Aku belum bisa percaya kamu, Barra." Senyum yang tersungging di bibirnya justru terasa menusuk di d**a. Jelas itu bukan senyum kebahagiaan yang biasa ditunjukkan.
"Mira...." Kuusap wajahku dan menghembuskan nafas perlahan. Sampai kapan Mira akan terus menciptakan jarak di antara kami, sementara aku selalu berusaha menjadi yang terbaik untuknya?
"Aku takut, Barra." Matanya kembali berkaca. Tatapannya lurus ke depan seolah menerawang sesuatu. "Aku takut, bakal kamu hancurin lagi."
"Siapa yang bilang begitu? Evan?" tebakku.
Dia langsung menoleh kepadaku dengan tatapan yang sulit untuk aku pahami. Aku ingin melenyapkan si kunyuk itu, jika memang dia yang telah meracuni pikiran Mira seperti itu.
"Percaya sama aku. Besok kita akan ke penghulu untuk ngehalalin hubungan kita." Mendengar ucapannya, aku semakin yakin akan mengikat Mira dalam sebuah pernikahan. Sangat mudah bagiku untuk melindunginya jika kami sudah menjadi pasangan suami istri.
Mengingat soal pernikahan, aku baru ingat jika Mama sudah mendaftarkan pernikahanku dengan Aleta. Cuma ada satu solisi. "Tapi, maaf. Pernikahan kita belum bisa diakui secara negara. Tapi aku janji, akan cari cara agar rencana pernikahanku dengan Aleta segera dibatalkan."