Mengundurkan Diri

1163 Kata
Sebelum turun dari mobil, kupastikan kembali gaya rambutku pada pantulan cermin spion di dekat kemudiku. Entah berapa kali aku mengganti model rambut dengan bantuan pomade yang kupunya. Harus kuakui, aku sangat antusias untuk menemui Mira kali ini. Aku berusaha tampil semenawan mungkin untuk menarik perhatian dari Mira. Itu sih, mauku. Tapi, enggak tahu entar Mira tertarik sama aku apa enggak. "Di mana?" Aku lebih dulu menghubungi calon gebetanku, melalui sambungan telepon yang aku sambungkan pada layar dashboard mobilku. Susah payah aku menormalkan detak jantung yang tiba-tiba meninggi karena menghubungi Mira kali ini, bukan karena masalah pekerjaan. Ini terasa aneh. Padahal setiap hari aku bertemu Mira di kantor. Namun bertemu dengan Mira di luar jam kantor, sensasinya terasa berbeda. Jauh lebih mendebarkan. Dia ternyata sudah sampai terlebih dahulu. Suara bising yang terdengar, cukup membuktikan jika dia sudah berada di tempat yang menjadi persetujuan kita bertemu. Katanya, "Kamu yang di mana? Aku sudah di sini dari tadi kayak orang bego." Ah, mendengar suaranya saja, sudah membuat bibirku terbitkan senyum. Meskipun kalimat yang dilontarkan terkesan agak kasar, namun aku jauh lebih suka cara bicaranya yang santai seperti ini daripada saat kita berada di kantor. "Sabar dong, Mir," jawabku sembari menahan senyum yang tidak bisa aku bendung. Rasanya tuh, apa ya? Semacam anak SMA yang lagi tergila-gila sama seorang incarannya. "Aku baru nemu tempat buat parkir," imbuhku. Gimana enggak? Tempatnya aja rame banget. Aku sampai bolak-balik dua kali buat nemuin tempat parkir yang pas untuk kendaraanku. "Cepetan!" Mira menutup telepon secara sepihak tanpa memberi kesempatan aku berbicara lagi. Padahal, aku masih pengen dengerin omelannya. Enak aja dengerinnya. Aku merasa jadi ditungguin sama dia. Kayak orang spesial aja, ha ha. Aku langsung menuju lokasi yang baru saja Mira kirim lewat ponselku. Dari kejahuan, aku kesulitan menemukannya karena banyaknya pengunjung lain di sini. "Kamu di mana, Mir?" Aku kembali menghubunginya karena belum juga menemukannya di sekitar sini. "Kamu pakai baju apa?" Mungkin lebih mudah menemukannya jika aku tahu warna pakaian apa yang ia kenakan, kan? "Di ujung timur," jawabnya cepat. Ngapain juga Mira ngajak ketemuan di tempat ramai kayak gini? Aku jadi kesulitan menemukannya, kan? Coba aja tadi dia mau nerima saranku untuk bertemu di tempat yang lebih tenang, misal Restoran yang lebih privat seperti tempo hari waktu aku dan dia bertemu. Yah, meskipun waktu itu Mira sama si kunyuk sialan, sih. Sial! Aku langsung badmood mengingat kejadian malam itu. "Barra?" Panggilan di seberang sana baru menyadarkanku jika aku masih terhubung dengan sambungan telepon. "Ini udah otewe," jawabku. "Bukan gitu. Kamu jangan ke sini dulu." Kali ini Mira sedikit berbisik saat berbicara melalui sambungan telepon. Aku bahkan perlu menempelkan ponsel pada telinga dan mendengarkan ucapannya dengan seksama. "Aku harus sembunyi. Nanti aku kabarin lagi ya." Lagi-lagi Mira menutup telepon secara sepihak. Ngapain sembunyi? Emang dia kenapa? Terus aku gimana? Nungguin dia gitu? Ah, pusing banget aku mikirnya. Semenit, dua menit, aku hanya berdiri di tempat dan sesekali menendang-nendang udara kayak orang bego. Aku jadi berpikir jika Mira sengaja mengerjaiku seperti ini. Ah, otak... selalu berpikir negatif. Arah tatapku yang tak sengaja bertemu dengan keberadaan Mira di ujung sana, sedikit memberi nafas lega jika memang Mira benar-benar berada di sini. Namun, sekelompok pria yang berada di sisi Mira cukup menarik atensiku. Dari banyaknya spot yang ramai di pasar malam ini, kenapa juga Mira berada di tempat sepi di ujung sana? Ditambah lagi, para pria berpawakan besar yang turut di sana. Aku segera berlari menghampiri keberadaan Mira, reflek karena aku melihat salah satu pria mendorong Mira hingga ia terjatuh. "Kenapa ini? Jangan beraninya sama cewek, dong!?" Bukan berlagak menjadi pahlawan, namun aku perlu melindungi Mira karena dia sekertarisku dan... wanita yang akhir-akhir ini membuat tidurku tidak nyenyak. "Siapa lo! Gak usah ikut campur!" Dan... aku langsung ambruk ke sisi kanan karena tinjuan besar yang bersarang pada rahangku. Gila! Kuat banget tinjuan pria ini. Aku bahkan tak bisa mengelak karena ternyata badanku langsung lemas mendapat tinjuan. Jadi nyesel tadi enggak makan apa-apa dulu sebelum ke sini. Samar-samar aku mendengar suara Mira yang menyerukan namaku dan mencoba menaikkan kepalaku pada pangkuannya. "Barra!" Berulang kali dia menyerukan namaku. "Hai, Mir." Sayup-sayup aku membuka mata dan langsung tersenyum mendapati kekhawatiran yang terpancar di wajah Mira. Dia... jelas mengkhawatirkan keadaanku. "Bisa-bisanya bercanda?" Mira meninju bahuku, meski pelan. Raut kesalnya, begitu menghiburku. Aku jelas menikmati setiap detik yang terlewat, meski para preman di hadapan kami masih mengancam keselamatan. "Udah, sesi romantisnya?" ucap salah satu pria yang turut berdiri di sana, mendekati keberadaan kami. Dia turut berjongkok dan tersenyum mengejek sebelum berkata, "Wanita ini punya hutang lima puluh juta sama gue. Gak usah sok jadi pahlawan lo!" Hah! Lima puluh juta? Aku jadi speechless sesaat mendengar pernyataan pria ini. Aku harus memutar otak cepat agar bisa selamat dari segerombolan preman ini. "Gue akan bayar hutangnya." "Barra! Apaan, sih!" protes Mira. Aku mencoba bangkit, melepaskan cengkraman Mira yang mencoba mencegahku berdiri. Mira masih saja mencegahku dan terus menarik tanganku. "Tenang, Mir. Aku bisa atasi ini, kok," bisikku padanya. Bisa kulihat raut Mira yang merah padam. Entah karena takut, atau tersanjung bantuanku, yang jelas aku berharap bisa menebus kesalahanku padanya dengan cara melindunginya. Setelah kuberikan kartu namaku dan bernegoisasi dengan para preman ini, akhirnya mereka setuju untuk meninggalkan kami dan uang p********n akan aku transfer. Tinggal aku dan Mira di tempat sepi ini, tanpa penganggu. "Barra! Maksud kamu apa, sih!?" Mira lebih dulu protes. "Maksud yang mana?" Aku berlagak merentangkan kedua tangan ke atas dan menguap sesekali. "Aku enggak mau punya utang sama kamu ya, Bar." Aku ingin sekali menertawakan cetolehnya. Ternyata dia bisa secerewet ini padaku. Padahal kalau di kantor, dia tidak akan bicara jika enggak penting-penting amat. "Eh Mir, utang itu kayak daleman yang kamu pakek bukan, sih?" "Barra!" Dia memukul pundakku tanpa ampun. Lalu menjauh satu langkah mungkin menyadari jarak kami yang terlalu dekat. Mira langsung membenarkan posisi pakaiannya. Padahal sih, enggak ada yang kelihatan. Ah, aku jadi penasaran sama isinya. Astaga! Barra! Pikiran kotor macam apa sih yang ada di otakmu? Aku reflek menggeleng dan memukul kepalaku tanpa ketahuan Mira. Lebih baik aku mengalihkan topik pembicaraan yang membuat kita semakin nyaman. "Katanya tadi ada yang pengen diomongin, Mir?" Mira mendongak padaku dengan mata yang sudah merah dan basah. Aku jadi mengingat kembali waktu itu jika melihat Mira seperti ini. Dia mengusap perlahan air bening yang telah membasahi pipinya. "Aku ingin mengundurkan diri dari perusahaan kamu, Barra." Sebuah pernyataan darinya yang membuatku langsung terpaku di tempat. Aku melangkah maju, mendekatkan diri pada Mira dan memikirkan beberapa hal yang masuk akal untuk alasan Mira. "Apa karena kejadian itu?" Pertanyaanku dijawab dengan anggukan ragu. Terlihat dari pergerakannya yang masih berdiri di tempat dengan anggukan perlahan. "Aku juga enggak nyangka bakal jadi kayak gini, Mir." "Tapi waktu itu kamu tetep melakukannya, Barra!" Aku langsung berusaha merengkuhnya, dan mengabaikan segala rasa nyeri yang tersisa. Tapi Mira menolak uluran tanganku dan memilih menjauhiku dengan berjalan cepat meninggalkanku. "Mir...." Aku segera mengejarnya dan mendekapnya dari belakang. Menerima pukulan-pukulan tak berartinya yang semakin menguat. Kata-kata yang menyakitkan kembali terucap dari bibirnya. "Kamu jahat, Barra."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN