Perginya Calon Mertua

1042 Kata
"Mira belum datang, Bell?" Aku menengok sisi Bella yang masih kosong sejak pagi tadi. Jika biasanya Mira juga berada di sana, kali ini aku hanya menemukan Bella sejauh mata memandang. Bella hampir saja menyuap makanan pada mulutnya, namun urung. "Bentar, Pak." Dia mengambil ponsel di dalam tasnya, dan mengecek sesuatu di sana, mungkin aplikasi perpesanan. "Enggak ada ngabarin saya, Pak," ucapnya sambil menunjukkan layar ponsel ke arahku. Aku reflek berkacak pinggang dan mendengkus perlahan, tanpa beralih dari hadapan Bella. Memikirkan berbagai kemungkinan alasan Mira tidak hadir hari ini. Mira sendiri, seolah tidak mau lagi berkomunikasi denganku semenjak kejadian kepergoknya aku menyetujui pertaruhan yang ditawarkan Evan waktu di rumah sakit satu minggu yang lalu. Aku memang sesekali memperhatikannya dari dinding kaca, ketika dia duduk di samping Bella seperi biasanya. Namun tidak ada satupun dari kami yang memulai untuk saling tegur sapa, seolah tak tersisa sedikitpun kenangan di antara kami. "Mau, Pak?" tanya Bella. Dia menyodorkan mangkuk bening dengan berbagai potongan sayur, dengan saus putih kenal di sana. Aku baru menyadari jika ini sudah jam makan siang, dan cacing dalam perutku langsung bergeliat mencium aromanya. Sejenak pikiranku teralihkan dengan urusan perut yang mulai meminta pajak, namun aku belum berminat mengisinya. "Makasih, Bell. Tapi nanti aja aku makannya." Pinggangku memutar, berjalan kembali menuju ruanganku tanpa pedulikan raut kecewa yang Bella tampilkan. Tentu bukan saat yang tepat untuk memikirkan urusan perut, disaat Mira enggak ada kabar seperti ini. Aku hanya menghabiskan jam makan siang dengan merenung dan memikirkan berbagai banyak hal yang terjadi di luar sana. Mulai dari perjanjian gila yang dibuat Evan dan Mira, sampai masalah keuangan yang terjadi sama papa. Namun, ucapan Tante Linda semakin terngiang ketika aku berkeinginan membatalkan rencana pernikahanku dengan Mira. "Ibu bersyukur kalau calonnya Mira terlihat baik dan mapan." Hanya kalimat itu yang terus berkeliaran dalan otak sejak tadi. Kuraih ponsel di meja, mencari kontak Mira di sana, dan berharap mendapat jawaban dari seberang ketika nada sambung memenuhi pendengaran. "Mira?" Langsung kusebut namanya, ketika panggilan diangkat. "Barra!" Mira mengangkat telepon disertai isak tangis yang mengiringi suaranya. Khawatir, aku pun reflek berdiri dan menjawab, "Ada apa, Mir? Kamu di mana?" "Rumah sakit. Di depan ruang ICCU." "Aku akan ke sana, Mir." Tanpa menunggu persetujuannya, aku langsung berlari keluar ruangan, menghubungi Pak Tono, untuk mencari kendaraanku. Pak Tono ternyata sudah berada lebih dulu di loby utama, ketika aku sampai di sana. "Biar aku bawa sendiri aja, Pak. Pak Tono tinggal di sini aja." Kuambil kunci pengendali dari tangan Pak Tono dan langsung menekan gas kuat-kuat ketika berhasil menghidupkan mesin. *** "Mir?" Kurengkuh tubuhnya hingga ia menenggelamkan kepala di dadaku. Isakannya masih saja terdengar keras. "Sudah, sudah." Aku berusaha menenangkannya, dan mengusap belakang kepalanya selembut mungkin. "Ibu, Barra." Dia melebarkan jarak. Berusaha menjelaskan kepadaku dengan mengusap pipi yang basah. "Tadi drop lagi. Aku enggak tahu harus gimana." Isakannya pun kembali tedengar. Aku tidak akan membiarkanya menciptakan jarak kembali. Berdiri di sisinya, kugapai lengannya yang tidak tertutupi kaos lengaan. "Tanganmu dingin, Mir." Apa Mira cukup makan? Apa Mira cukup tidur? Pergelangan tangannya saja memperlihatkan tulang yang menonjol. Sikunya teraba menajam. Kulepaskan jas yang masih melekat di tubuh, dan memakaikannya pada Mira. "Maaf, Barra. Aku lagi-lagi ngrepotin kamu." Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Aku sendiri juga enggak tahu apa yang membuatku begitu tidak nyaman, tiap kali melihat Mira mengalami kesulitan seperti ini. Meski tahu Mira telah berkali-kali menyakitiku, aku tetap tidak bisa melepasnya. Dari urusan ban mobilku yang dikempeskannya dahulu, sampai perjanjiannya dengan Evan yang membuatku terus menggeleng-gelengkan kepala. "Ibu kamu... maksudku Tante Linda kenapa bisa drop?" Kualihkan pikiran dan memlilih tidak menanyakan masalah itu dahulu. Jawaban atas alasan Mira melakukannya, kemungkinan bisa lebih menyakitiku. Dia tampak menundukkan kepalanya. "Tadi aku bilang ke Ibu, kalau mau batalin lamaran kamu." Helaan nafasnya menjeda ucapan lain yang akan dikeluarkannya lagi. "Ibu terus-terusan nanyain kamu, Bar." Boleh aku tersenyum? Melompat setinggi-tingginya, karena calon mertua yang ternyata mencariku? Enggak, dong. Aku harus nahan diri. Tapi kalau udah seperti ini, aku enggak bisa jauh-jauh dari Mira. Seketika menjadi bucin dadakan. Sulit mengalihkan pandangan, kalau wajah Mira yang masih sembab itu semakin terlihat seksi. "Kamu belum dengar penjelasanku, Mir. Jangan memutus kontak seperti ini lagi, ya?" Aku kembali merengkuhnya, dan bisa merasakan anggukan kepalanya. Suara pintu yang terbuka dari dalam ruang ICCU, seketika melebarkan jarak antara aku dan Mira. Dia langsung bertanya secara mendetail kepada dokter yang baru saja menangani ibunya. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku belum berani mendekat. Bisa kulihat Mira menutup mulutnya dengan tangan kirinya, ketika dokter berbicara panjang lebar. Dan Mira segera berlari memasuki ruangan dengan raut ketakutan yang mendominasi. "Ibu!" Aku mengikuti Mira. "Nak Barra?" Tante Linda ternyata menyadari keberadaanku. Aku menghampiri keberadaannya. Berdiri di samping ranjang tante Linda dirawat. "Ya, Tante." Tante Linda masih dibantu selang pernafasan. Suara serak terputus itu seolah berkata, "Ibu mau lihat kalian menikah sebelum pergi." Apa tadi katanya? Menikah? Pergi? "Ibu ngomong apa, sih? Ibu mau pergi ke mana?" Mira memegangi tangan Tante Linda, dan menempelkannya pada pipinya. Dia kembali terisak dan menggeleng kuat-kuat. "Ibu enggak boleh tinggalin Mira." "Ibu sudah tidak tahan, Amira. Rasanya sakit." Suara serak itu kembali terdengar di telingaku, meski tolehannya ditujukan pada Mira. "Tante pasti sembuh. Barra akan lakuin apapun." Bodohnya, aku kembali menjanjikn sesuatu yang mungkin suli tercapai. Wajah Tante Linda jauh lebih pucat dari yang terakhir kali kulihat. "Iya, Mira akan nikah sama Barra. Tapi Ibu janji sembuh dulu, ya." Diciuminya pipi yang hampir keriput itu berkali-kali beserta air mata yang terus mengalir. "Sudah saatnya Ibu pergi, Mir. Ibu sudah lelah bertahan." "Enggak, Bu. Ibu gak boleh ngomong gitu." Aku, enggak tega lihatnya. Dadaku terlanjur sesak mendengar kalimat perpisahan yang diucapkan Tante Linda. Mundur selangkah dan membelakangi mereka pun, tetap membuat d**a semakin sesak. "Nak, Barra?" Suara serak itu kembali menyebutkan namaku. Seketika aku membalikkan badan, dan segera menggenggam jemari rentanya. "Iya, Tante," jawabku dan mendekatkan telinga ke indra pengecapnya, karena suara tante Linda merendah. "Ibu titip Mira ke kamu ya. Ibu sudah tidak kuat." Ucapan Tante Linda reflek mendapat anggukan dariku. Sementara Mira di seberang ranjang sana, masih saja terisak mendengar permintaan-permintaan ibunya. Lalu suara monitor meninggi, dan suasana berubah menjadi kepanikan. Perawat yang masih berada di dalam ruangan, langsung memeriksa sisa nafas yang tersisa dari tante Linda. Perawat itu memastikan waktu dan tanggal wafatnya tante Linda. "Ibu! Jangan tinggalin Mira, Bu!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN