01
HALO, AKU VANESSA FLO ABERNARTHY.
Ya, namaku panjang dan susah disebutkan dan artinya sangat tidak menyambung. Vanessa artinya kupu-kupu atau butterfly. Bagi sebagian orang, kupu-kupu itu hewan yang cantik dan lucu dan sangat estetik. Warnanya banyak dan tak pernah membosankan. Mereka selalu terlihat menawan dan tidak pernah terlihat buruk rupa. Tapi nyatanya, bahkan jika namaku saja terinspirasi dari hewan itu, tapi sayangnya penampilan aku tidak sebagus dan semenarik hewan itu sendiri. Sayangnya, aku tidak cantik dan lucu dan apa lagi estetik. Tidak, aku benar-benar kebalikan dari semua kata itu, dan aku sangat sadar akan hal itu.
Setelah Vanessa, ada Flo. Awalnya aku tidak mengerti kenapa nama tengahku berbentuk seperti itu. Sesungguhnya, aku pun masih tidak mengerti mengapa para orangtua masih repot-repot memberikan kami nama tengah padahal kami tidak pernah menggunakan nama tengah dalam keadaan apa pun. Satu-satunya orang yang tahu nama tengah kami, mungkin hanya petugas yang membuat akte kelahiran. By the way, Flo. Ya, itu nama tengahku. Flo itu ternyata singkatan dari Florence. Yang berarti mekar. Aku sempat berpikir, oh mungkin karena kupu-kupu senang menghinggap di bunga yang cantik dan wangi, maka orangtua aku memberikan nama Flo—kependekan dari Florence—yang berarti mekar. Karena bunga, sama dengan mekar. Aku tidak mengerti logika itu datang dari mana, tapi itu lebih baik dari pada memiliki nama yang tidak menyambung, ‘kan?
Sedangkan nama keluarga kami — Abernathy — tidak memiliki arti yang signifikan. Jika dicari, Abernathy itu berasal dari bahasa Skotlandia yang berarti mouth of the river Nethy. Sekali lagi aku katakan, namaku tidak ada sambungnya sama sekali. Tidak juga berarti satu kalimat yang pasti. Dan seperti yang aku katakan tadi, tidak berhubungan dengan aku yang satu, tidak cantik dan lucu dan menggemaskan. Dua, tidak seperti bunga bagus yang bermekar indah. Dan tiga, tidak seperti gadis Skotlandia yang semua wujudnya berbentuk model atau artis yang sangat menarik.
Jadi, yah, itulah aku.
Gadis delapan belas tahun dari kota Atlanta, Georgia. Aku bukan keturunan asli Amerika, melainkan gabungan dari Indonesia—ibuku, dan Amerika—ayahku. Keduanya bertemu di Paris saat sedang jalan-jalan. Lalu menikah di Seoul karena Ayah juga setengah Korea. Lalu kami sempat tinggal di sana selama lebih dari enam tahun sebelum akhirnya pindah ke Amerika untuk pekerjaan ayah. Sekarang kami sudah menjadi warga asli Amerika yang hidup lebih dari sepuluh tahun. Ibu bekerja sebagai instruktur tenis—berhubung dulu dia adalah seorang atlit tenis yang cukup tenar dan bergengsi. Sementara ayah adalah seorang duta besar.
Aku bungsu. Sial. Untuk keluar pun, aku paling bagian terakhir. Aku memiliki dua kaka lelaki yang tidak tahu diri. Satunya sudah berhasil aku singkirkan, alias memilih perguruan tinggi di luar kota dan akhirnya harus angkat kaki dari rumah. Yang satunya lagi masih di sini, tapi setidaknya aku berhasil membuat dia sibuk dengan urusan olahraga dan tidak lagi bisa mengganggu kehidupanku yang sudah tidak menyenangkan dari awal ini.
Kakak lelaki pertamaku, Valentino Finn Abernathy. Dia masuk ke perguruan tinggi bergensi di New York. Memang, dari dulu kerjaannya hanya belajar dan belajar dan belajar. Tapi jangan salah, walau sifatnya mementingkan pekerjaan sekolah begitu, tetapi dia tetap saja bukan anak remaja yang biasa dan tidak memiliki kekurangan. Tidak, sebaliknya, dia adalah salah satu remaja pembuat onar di sekolah menengah pertama kami. Dia dan kumpulan temannya itu terkenal nakal dan berani. Tidak pernah tunduk pada siapa pun dan juga sangat populer. Intinya, kakak lelaki paling pertama aku itu idaman sekolah kami. Pihak sekolah pun tidak bisa melakukan apa-apa karena, yah, seperti yang aku bilang, pekerjaan sekolahnya sangat rapih dan mengesankan. Mereka bingung harus mengeluarkan anak bermasalah sepertinya, atau harus bangga karena memiliki murid kebanggaan seperti dia.
Lalu yang kedua, Vincent Ford Abernathy. Ini dia kebalikan dari kakak pertamaku. Dia benar-benar pembuat onar. Tidak ada bagus-bagusnya, tidak ada prestasinya, dan tidak ada yang harus dibanggakan. Well, jika dilihat dari segi akademis. Tapi dari segi non-akademis? Atlit kebanggaan sekolah kami itu sudah tidak bisa lagi dihitung berapa kali telah mengharumkan nama sekolah kami. Di setiap pertandingan american football, pasti dia menang. Sebagai posisi quarterback, sudah tentu kakak kedua dari tiga bersaudara itu banyak dikejar penggemar wanita gila. Banyak waktu aku merasa sangat tidak nyaman dengan kepopulerannya itu. Masalahnya, hingga saat ini pun, teman sebayaku pun masih mencoba mendekatinya melalui aku. Dengan membuatku terkesan, dengan berpura-pura berteman denganku, atau mencoba mencari tahu tentangnya dari aku. Intinya, aku harus selalu kewalahan jika harus memikirkan tentangnya.
Mengapa aku bilang aku berhasil membuat mereka seperti itu? Nyatanya, tidak selamanya mereka sudah seperti itu. Oh, tidak. Valentino itu dulu anak bodoh yang tidak mengerti apa-apa. Baru ketika aku mulai membuatnya mengerti pelajaran, membuatnya menyadari pentingnya sekolah, dan membuatnya iri dengan prestasi akademis yang aku buat, dia mulai termotivasi dan menjadi nomor satu. Yah, dengan begitu, dia akan sibuk dengan dunianya sendiri dan berhenti mengganggu duniaku.
Lalu ada Vincent yang dulu hanya lelaki pemalas. Lari pagi pun tidak pernah. Dan sekarang menjadi posisi quarterback yang paling diidamkan? Berkat siapa? Aku tentu saja. Aku yang membuatnya jatuh cinta dengan olahraga yang disebut american football itu. Aku yang membuatnya terobsesi dengan segalanya yang berhubungan dengan american football, dan akhirnya dia ikut bergabung dengan tim sekolah. Nah, jadwal atlit itu sangat padat. Dia sibuk dan sibuk dan sibuk. Jadilah, aku berhasil menyingkirkan dua kakak sekaligus.
Aku akan melewati sekolah menengah pertama dengan tenang dan tanpa dua kakak yang sangat protektif dan, yah, terbilang posesif.
Tapi tentu saja, setiap rencana yang aku buat pasti gagal. Pasti ada saja kekurangannya. Pasti ada lobang yang tak aku pikirkan. Pasti saja ada sebuah penghalang yang membuat rencanaku selama bertahun-tahun berakhir begitu saja tanpa bisa aku cegah dan aku hentikan. Rencana yang sudah aku buat selama aku masih di bangku sekolah dasar.
Ketika aku pikir tahun belajar aku di sekolah menengah pertama akan setidaknya tenang dan bebas dari dua kakak yang protektif dan posesif, aku harus dihajar oleh realita kalau hidup tidak semudah itu. Hidup tidak akan membiarkan apa yang kau inginkan tercapai begitu saja tanpa adanya halangan dan masalah yang besar. Hidup tidak akan membiarkan kau bahagia begitu saja, tanpa ada rintangan yang harus kau lewati. Setiap hari.
Karena tahu-tahu saja, saat aku masuk ke sekolah menengah pertama bernama Ravenhall High, aku harus bertemu dengan pembuat onar lain. Pembuat onar yang lebih mengerikan dari dua kakak lelaki aku. Pembuat onar tanpa ampun yang entah mengapa, memilih aku sebagai targetnya semenjak kami bertemu pertama kali di hari pertama sekolah. Pembuat onar yang entah mengapa, bersumpah untuk membuat pengalamanku selama sekolah menengah atas menjadi di neraka.
Aku tidak mengerti kenapa dia bisa memiliki pemikiran seperti itu. Atau bagaimana bisa dia tidak berpikir bahwa apa yang dia lakukan itu tidak masuk akal dan sangat menyedihkan bagi seorang lelaki bertubuh besar dan mengerikan sepertinya. Aku juga tidak mengerti kenapa dari semua orang di Ravenhall High, harus aku yang menjadi target rundungan darinya. Kenapa harus aku?
Tiberius Florakis. Jangan tanyakan padaku apa arti nama lelaki itu. Ya ampun, mengucapkannya saja aku sudah sangat susah payah. Aku tidak mengerti kenapa orangtuanya bisa terpikirkan untuk memberikan nama seperti itu pada anaknya. Ternyata, usut punya usut, Tiberius itu masih memiliki darah Yunani atau semacamnya. Sesungguhnya, mereka masih keturunan orang Inggris dan Eropa sana, tapi entah sejak kapan keluarga mereka bisa berakhir di Amerika sini.
Laki-laki itu jika dilihat juga, yah, sejujurnya jika aku mau mengakui hal ini—walaupun berat rasanya mengakui hal yang tidak ingin aku pikirkan ini—Tiberius itu lelaki yang kelewat tampan. Aku tidak memiliki kata yang pasti untuk menggambarkan seperti apa wajah pria itu. Yang jelas, saat pertama kali aku melihatnya, lututku lemas bukan main. Setiap wanita ingin menjadi kekasihnya, setiap lelaki ingin menjadi temannya.
Rambutnya rapih, hitam dan gelap. Kontras dengan warna matanya yang berwarna biru terang. Warnanya bersih dan bening dan bersinar. Sering kali aku tersesar di sorot matanya saat sedang berbicara atau beradu mulut dengan lelaki itu—sudah jelas lebih banya adu mulut dan argumen yang tidak penting dengannya dibandingkan berbicara seperti orang normal. Di pipinya terdapat tiga titik kecil yang membuat wajah seperti memiliki konstelasi bintang yang menakjubkan. Rahangnya sangat tajam dan selalu terlalu dikatupkan. Tubuhnya tinggi dan atletis. Tidak perlu seorang jenius untuk tahu dia memiliki tubuh yang kekar dan tentu saja abs yang—mungkin ada delapan.
Dia selalu menaikkan satu alis dengan misterius, dan terlihat sangat dingin. Dia memang dingin. Jika kita bersekolah di kutub utara pun, aku yakin dia tidak akan merasa kedinginan. Tidak akan menggigil sama sekali. Tidak akan terganggu sama sekali. Yang ada, dia akan bangkit dan menjadi yang paling berkuasa di antara kami. Sementara kami harus menderita dari dingin yang datang dari es di kutub, juga dari wajah dan perilakunya.
Dia tidak pernah bicara lebih dari dua atau lima kata. Tidak pernah menggubris para gadis yang ingin mendekatinya, atau para pria yang dia anggap tidak pantas untuk menjadi temannya. Dia tidak pernah bersikap ramah, atau memalsukan perilaku yang baik pada orang lain. Guru pun sudah turun tangan, berhubung adalah anak dari salah satu orang yang memiliki saham terbesar di sekolah swasta ini. Sekolah yang, yah, bisa dibilang milik orangtuanya. Siapa yang akan berani berurusan dengan anak dari orang yang memiliki jabatan paling tinggi di sekolah?
Tidak ada. Eh, tapi ada. Aku. Aku yang paling berani di sekolah ini. Entah berani atau bodoh. Pernah seorang gadis mengatakan kalau dia bingung dengan diriku. Apa aku ini berani, atau sudah kelewat bodoh. Menurutnya, berani dan bodoh itu beda tipis. Hanya dijaraki dengan sehelai benang. Dan banyak orang yang mengira kalau tindakannya itu terhitung berani, padahal mereka hanya bertindak bodoh. Tidak bisa melihat situasi dan meneliti keadaan.
Gadis itu menjadi satu-satunya teman yang sudah naik jabatannya menjadi sahabatku di sekolah ini, tentu saja. Theressa Abby Smith. Dia satu-satunya orang yang, kalau menurutku, cukup bodoh bisa berteman denganku. Menurutnya, itu berani, karena aku dipikir sebuah tantangan yang harus ditolong dan dikembalikan ke jalan yang benar. Aku tidak mengerti maksudnya, tapi dia pernah bilang, itu maksudnya aku ini terlalu polos dan gampang disulut api. Sebuah kombinasi yang mematikan.
Tiga tahun sudah kami bersama, tapi hingga saat ini aku masih tidak mengerti maksudnya apa. Yang jelas, aku tidak keberatan. Toh karena itu, berkat satu alasan itu, aku jadi memiliki seorang teman yang baik dan perhatian.
“Vanny, apa kau sudah sarapan?” tanya ibu begitu dia muncul dari balik pintu dapur yang terbuka lebar. Aku menoleh, melihatnya masih mengenakan piyama tidur. Rambutnya berantakan, tapi dia masih terlihat cantik dan awet muda. Banyak orang yang mengatakan aku ini adiknya. Aku bingung harus merasa bangga atau bagaimana. Masalahnya, hanya ada dua kemungkinan. Ibu yang kelewat awet muda, atau wajahku yang boros dan terlihat sangat tua.
Aku mengangguk, lalu menyahut, “Sudah.”
“Apa kakakmu sudah bangun?”
“Aku rasa begitu,” jawabku sambil memainkan sendok sereal yang masih belum habis. Ibu melirik sereal itu, terseyum tipis, lalu kembali sibuk dengan pekerjaan dapur. “Hari ini dia ada latihan penting.”
“Latihan penting untuk apa?” tanya ibu penasaran.
Aku mengunyah untuk beberapa detik sebelum akhirnya menjawab dengan mulut yang masih setengah penuh. “Kata Vinny, sebentar lagi akan ada pertandingan penting yang harus dia lakukan. Akan ada promotor yang datang dan melihat pertandingan itu. Katanya, kemungkinan besar promotor itu akan membawa satu atau dua murid yang pantas diberikan sponsor dan mendapat beasiswa.”
Ibu membelalakan matanya dengan lebar. Dia memegang dadanya, rasa bangga terpancarkan dari sorot mata abu-abu milik ibu. Sama seperti aku. Mata kami bening berwarna abu-abu yang mencolok.
“Itu berita yang bagus!” seru ibu tak bisa menahan rasa senangnya. “Mengapa dia tidak memberitahu aku dan ayah?”
Aku hanya mengedikkan bahu. “Mungkin dia akan memberitahu hari ini? Atau di saat yang tepat.”
“Oh, untuk apa saat yang tepat,” ibu mengibaskan satu tangan. “Memangnya dia pikir kami siapa? Kami orangtuanya!”
“Ya, ya, aku tahu itu. Tanyakan sendiri padanya jika dia sudah turun nanti.”
Sesungguhnya, aku mendadak merasa tak enak. Apa mungkin ada alasan tersendiri kenapa Vincent belum cerita ke ayah atau ibu? Ya ampun, apa aku sudah secara tidak sengaja membeberkan sesuatu? Ah, tapi untuk apa? Toh, ibu dan ayah akan segera tahu. Mereka selalu datang ke semua pertandingan. Selalu mendukung anak-anaknya dalam setiap aktivitas yang mereka lakukan.
Kecuali aku. Karena aku tidak memiliki apa pun yang bisa dibanggakan. Ha.
Panjang umur, Vincent, kakak nomor dua yang aku miliki turun dari tangga. Dia terlihat rapih dan semangat, lengkap dengan segala macam peralatan olahrag dan sepatu yang masih bersih. Menurut Vincent, untuk hari-hari besar dan penting, seperti sekarang ini, menggunakan sepatu bersih seperti jimat yang membuatnya lebih percaya diri.
Dia menghampiri aku terlebih dahulu, yang duduk manis sambil menela sereal di meja makan. Lalu dengan tanpa belas kasih, dia mengacak rambut dan terkekeh geli. Aku memberikannya tatapan mematikan, yang dibalas dengan uluran lidah yang panjang. Bagaimana caranya dia bisa menjadi atlit terkenal kebanggaan sekolah kita, aku tidak tahu. Setelah itu, dia menghampiri ibu yang sibuk membuat panekuk untuk sarapan. Dikecupnya pipi ibu dengan penuh kasih, kemudian dia melangkah ke lemari pendingin untuk mengambil minuman bervitaminnya.
“Vinny,” ibu memanggilnya dengan sebutan sayang kami. “Kapan kau akan memberitahu kami tentang pertandinganmu yang akan datang itu? Pertandingan yang akan dihadiri promotor?”
Vincent melirik aku yang mendadak sibuk dengan s**u di mangkuk. Aku menelan ludah, menunggu reaksi dari Vincent. Semoga aku tidak mengecewakannya atau apa. Melainkan marah, aku malah mendengar Vincent membuang napas panjang.
“Well, tadinya aku tidak ingin membuat kalian berharap banyak. Aku tidak ingin membuat kalian kecewa atau apa. Masih belum tentu promotor itu akan datang menyaksikan pertandingan kami, dan sudah jelas masih belum tentu aku yang akan terpilih.”
Ibu berdecak, tidak puas dengan jawaban itu. “Satu, kami tidak akan pernah kecewa padamu. Begitu juga Vanny, atau Vally. Dan dua, jika mereka tidak memilikmu, well, mereka yang rugi, karena sudah kehilangan seorang atlit berbakat yang bisa membawa bangga untuk semua orang.”
Vincent tersenyum lebar, lalu memeluk ibu. Aku akhirnya bernapas lega, merasa lebih baik karena tidak membuat Vincent marah atau semacamnya.
Saat kami sudah selesai sarapan, aku mengikuti Vincent ke mobil sedan sederhana yang diberikan ayah untuk Vincent dan aku pergi ke sekolah. Kami tidak sempat bertemu dengan ayah, mungkin sudah berangkat kerja dari pagi sekali. Selama perjalanan, kami hanya sibuk dengan pikiran masing-masing, dan musik yang mengalun dari pengeras suara mobil.
Begitu sampai di sekolah, aku turun dan disusul oleh Vincent yang memeluk aku sebentar, lalu pergi menghampiri segerombolan temannya di lapangan sekolah. Aku berjalan menyusuri koridor sekolah dengan kepala yang tertunduk, menghindari tatapan orang sekitar yang mungkin dipenuhi penghakiman.
Mendadak, begitu aku akan membuka lokerku di tengah lorong, pintu loker itu tertutup kembali dengan hentakan yang kuat. Mataku terbuka lebar, hatiku berdegup kencang. Aku melirik tangan besar dan kekar yang terjulur panjang tepat di sebelah kepalaku. Sebuah napas yang menderu sangat dekat dengan ujung kepalaku membuat aku membeku di tempat.
Lalu sebuh suara serak dan berat yang terdengar sangat dalam dan maskulin membuatku mengumpat di dalam hati.
“Selamat pagi, Vanessa.”