“Afifah pergi dulu ya, Bu! Assalamu’alaikum.”
Perempuan dengan seragam putih abu-abu itu mengayuh sepedanya dengan semangat, semilir angin sejuk di pagi hari menerpa wajahnya dengan lembut, kicau burung mengiringi putaran demi putaran roda sepedanya. Afifah Camilla, seseorang yang penuh mimpi, tidak peduli terasa bagaimana mustahilnya mimpi itu terwujud dengan keterbatasan dari tempatnya tinggal, ia hanya yakin jika ia mau, maka semuanya bisa!
Sebuah truk melaju dari arah depan, membuat Afifah terpaksa berhenti mengayuh lalu membawa sepedanya menepi ke pinggir jalan, kemudian ia menutup hidungnya dengan jilbabnya agar abu yang bertebaran tak masuk ke paru-parunya.
Ya, jalanan tak beraspal itu hanya jalanan kecil yang hanya cukup untuk satu kendaaran roda empat saja, belum lagi abu bercampur pasir yang timbul karena kendaraan-kendaraan besar itu, mampu mengubah warna bunga yang tadinya merah menjadi coklat. Udara yang tadi segar dihirup oleh Afifah juga menjadi kotor.
“Assalamu’alaikum Afifah! Belajar yang rajin ya, nanti besar sama abang!” seru seseorang dari dalam kepala truk.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Afifah menggelengkan kepalanya pelan lalu Kembali naik dan mengayuh sepedanya begitu truk tadi berlalu dari hadapannya.
“Heh, Asep! Anak orang kamu gituiin, gak boleh!” Seorang ibu yang sedang menyapu di depan rumahnya berteriak dengan mengangkat sapunya tinggi-tinggi.
“Yah, bu, Cuma bercanda,” jawab Asep yang masih bisa di dengar oleh Afifah.
Namun Afifah tidak terlalu mempedulikan dan terus mengayuh sepedanya menjauh dari sana. Beberapa kali Afifah berpapasan dengan orang-orang yang ia kenal dan ia menyapa sekaligus memberi salam. Hal itu sudah semacam kebiasaan di sana.
Beberapa kayuhan lagi, Afifah sampai di satu tempat yang rimbun dan tidak terlalu luas di mana sekolah kecilnya berdiri. Sekolah Al-Azhar, Afifah tidak peduli bagaimana orang lain menilai sekolah ini, yang terpenting ialah dari tempat mulia ini, ia dan teman-temannya bisa menuntut ilmu dan pengetahuan dari para guru.
“Afifah!”
Afifah menoleh ketika seseorang memanggilnya. “Salsa? Kenapa kamu di luar? Bukannya jam ini udah bel dari tadi, ya?”
Salsa berlari mendekat ke arah Afifah, ia terlihat kewalahan. “Bukan itu,” ujar Salsa mengatur nafasnya. “Sekolah ini di tutup, Fah, bu Jihan yang kasih tau aku tadi.”
Afifah mengernyit. “Kamu ngada-ngada, gak mungkin lah, siswa di sini masih banyak, Sal.”
Salsa menggelengkan kepalanya sembari menghela nafas. “Banyak? Hanya kita bertiga, banyak?” Salsa menunjuk seorang siswa laki-laki yang lebih muda dari mereka yang duduk di sebuah bangku, lalu Afifah dan terakhir dirinya.
Afifah terdiam, populasi manusia di desa ini memang tidak banyak, sebab itu pula kenapa siswa yang ada hanya beberapa.
“Jadi, kita Cuma sampai sini aja?” sahut Afifah setelahnya. “Aku masih gak percaya, aku mau tanya ke Bu Jihan langsung,” sambungnya lalu berjalan melalui Salsa.
“Afifah! Jangan ganggu Bu Jihan!” teriak Salsa ke Afifah yang sudah jauh darinya namun tak di gubris oleh perempuan itu.
“Aku pergi dulu.”
Laki-laki yang duduk tadi bangkit, menatap Salsa sesaat sebelum berbalik lalu berjalan meninggalkan sekolah.
“Denis, mau kemana kamu!?” Salsa Kembali berteriak, ia cukup khawatir, pasalnya orang tua Denis yang notabenenya adalah tetangganya meminta Salsa untuk menjaga anak mereka itu.
“Mau kerja!”
Salsa menghela nafas kesal sebelum mengambil ranselnya kemudian berjalan mengikuti Denis dari belakang sembari berceloteh Panjang lebar jika anak itu harus segera pulang.
Sementara itu, di dalam ruangan salah satu kelas, Afifah berhadapan dengan seorang guru berhijab, mereka berdua saling tatap cukup lama hingga akhirnya sang guru lah yang terlebih dahulu memutuskan tatapan mereka.
“Maaf, Afifah. Memang benar yang di bilang Salsa,” ujar bu Jihan dengan berat hati serta air muka yang tak enak.
“Ta-tapi kenapa, bu?”
Bu Jihan menghela nafas, ia Menyusun buku-buku yang akan di bawanya bersamanya. “Tidak ada bantuan apapun ke kita, Afifah. Pak Said mengundurkan diri, siswa juga banyak yang putus sekolah, dan ibu … tidak bisa melanjutkan ini semua sendirian.”
Afifah ingin berbicara sesuatu, namun semuanya urung ketika ia melihat bu Jihan tersenyum ke arahnya.
“Kamu anak yang pintar, Afifah, kamu juga punya kemauan dan tekad, kamu bisa menuntut ilmu di satu tempat yang lebih baik dari sekolah ini. Kejarlah.”
Afifah merasa suatu cahaya sangat terang ada di hadapannya. Hatinya bergejolak mendengar ucapan itu, ada sesuatu di dalam dirinya yang bergemuruh.
“Kamu pulanglah, bicarakan ke orang tua kamu, kalau kamu di ijinkan, dating ke rumah bu Minah, ya? Ibu ada di sana, kamu bisa berangkat dengan ibu, tapi ibu Cuma bisa mengantar kamu ke kota, ibu tidak bisa bersama kamu karena ibu punya pekerjaan yang lain,” ujar bu Jihan dengan lembut, sebelah tangannya berada di pundak Afifah.
“I-iya, bu, kalau gitu Afifah pulang dulu, Assalamu’alaikum.” Setelah mendapat anggukan dari bu Jihan, Afifah bergegas pulang.
Di jalan, Afifah yang tadinya merasa jika ruang lingkup dunianya sudah berakhir dan mencapai batas maksimal, kini merasa sesuatu yang terang menunjukkan kemana ia akan melangkah selanjutnya. Jangan di tanya bagaiamana perasaannya saat ini, amat sangat tak bisa di ungkapkan maupun di deskripsikan oleh kata-kata.
“Salsa!”
Afifah menghentikan kayuhannya pada sepedanya ketika ia melihat Salsa berjalan menyebrang jalan.
“Hah? Afifah? Udah ketemu bu Jihan?” sahut Salsa yang tampak kelelahan.
“Hmm.” Afifah mengangguk, dahinya lalu mengerut melihat Salsa yang keringatan padahal masih pagi dan matahari belum terlalu terik. “Kamu kenapa?”
“Denis hilang! Aku harus jawab apa kalau nanti di tanya-tanya sama ibunya?!” panik Salsa.
Afifah menyahut dengan terkekeh, hal ini sudah sering terjadi, pada akhirnya Denis akan pulang dengan pakaian yang berlumpur dan basah, entah apa yang di lakukan anak itu di parit sana.
“Salsa,” panggil Afifah lagi, kali ini serius. “Bu Jihan bilang masih ada kesempatan buat kita untuk lebih maju, kita bisa nuntut ilmu lebih banyak sebanyak yang kita mau,” katanya antusias.
Salsa juga kali ini lebih serius menanggapi. “Alhamdulillah kalau gitu, tapi aku enggak bisa, Fah,” jawabnya merasa tak enak ke Afifah.
“Kenapa? Menuntut ilmu itu hal yang wajib di agama kita, Sal.”
Salsa menghela nafas, ia menunduk. “Aku gak bisa, orang tua aku gak dukung, Fah.” Salsa mengangkat kepalanya dan tersenyum. “Raihlah ilmu yang banyak, ya. Biar kamu bisa memajukan desa ini.”
“Sal ….”
“Kalau gitu aku duluan, ya, Fah, aku harus cari Denis! Assalamu’alaikum!” Salsa berlari begitu saja meninggalkan Afifah yang baru saja hendak berbicara lagi.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Afifah seadanya.
Memang benar, jangankan Salsa, Afifah sendiri saja khawatir kalau ia tak mendapat ijin itu, namun ia tak boleh menyerah begitu saja tanpa berjuang sedikitpun, ia bisa berbicara pada orang tuanya dengan pelan dan menjelaskannya.
Tak lama kemudian, Afifah sampai di rumahnya, ibunya yang sedang menyapu halaman terheran-heran melihatnya yang pulang Kembali.
“Loh kenapa udah pulang, Fah?” tanya ibunya berjalan mendekat ke arahnya.
Afifah juga berjalan kea rah ibunya, mengecup tangannya lalu menjawab pertanyaan ibunya itu. “Iya, Bu, sekolahnya udah tutup,” ujar Afifah.
Ibu tak terkejut sama sekali karena sudah menduga jika hal ini akan terjadi suatu saat nanti, dan sekarang sudah waktunya. “Kamu sabar, ya, mungkin memang udah takdirnya.”
“Tapi Afifah masih bisa belajar, ‘kan, Bu?”
Ibu tersenyum dan mengangguk. “Bisa, nanti ibu belikan buku ya kalau gaji ayah kamu udah keluar.”
Afifah senang, namun tidak maksimal, bukan itu jawaban ibu yang di harapkannya. “Maksud Afifah—“
“Kak Fifah! Udah pulang? Ajarin Ara gambar.”
Seorang perempuan kecil keluar dari dalam rumah, berlarian ke arah Afifah lalu mengangkat tinggi-tinggi buku gambarnya.
Ibu tersenyum melihat anak bungsunya itu, ia lalu menoleh ke arah Afifah. “Ajarin Ara gambar sana, ibu mau lanjutin kerjaan ini dulu,” perintah ibunya yang diangguki oleh Afifah.
“Ayo, Ara,” ajak Afifah menggandeng jemari mungil adiknya.
Afifah pikir ibunya akan bereaksi berbalik dari reaksi yang tadi, ia cukup terkejut melihat ibunya yang menampilkan ekspresi biasa saja, seolah sudah mengantisipasi hal ini akan terjadi, tapi memang seperti itu, bukan?
Tetap saja, Afifah harus menyampaikan niatnya ke ibunya, dan juga ayahnya. Afifah memang belum mencoba sama sekali, tapi ia yakin akan mendapat penolakan besar. Afifah memang belum mencoba, tapi ia sudah memprediksi kalau hal ini akan berjalan sulit.
“Kak Fifah? Kenapa diem aja?” Ara mendekatkan wajahnya ke wajah Afifah.
“Oh enggak kok.” Afifah buru-buru tersadar. “Ara mau gambar apa tadi?”
“Ara mau gambar gajah!”
“Oke, tapi kakak ganti baju dulu, ya.”
Bertepatan dengan Afifah yang masuk ke dalam kamar. Ayahnya pulang dengan keadaan cukup kotor dan sempat terjadi tanya jawab yang Panjang antara ayahnya dengan ibunya.
Ketika Afifah keluar, ayahnya masuk ke dalam rumah dengan berjinjit kaki.
“Loh, Afifah? Kok udah pulang?” tanya ayahnya heran.
“Sekolahnya udah tutup, Yah.”
Ayah mengangguk paham, ia tersenyum kecil ke Afifah. “Yauda gak papa, kamu belajar sendiri aja sekalian bantu ibu kamu beres-beres rumah sama buat kue,” ujar ayah yang kemudian melanjutkan langkahnya ke kamar mandi.
Afifah mencelos, hatinya semakin mengempis mendengar jawaban itu, sejujurnya ia takut mendengar penolakan nantinya,ia tahu ridho Allah terletak pada ridho orang tuanya, namun salahkah ia jika memilih suatu jalan yang ia Yakini adalah yang terbaik bagi dirinya? Allah juga mengetahui segala isi hati, jadi Allah pasti tahu apa yang Afifah rasakan. Ya, Afifah dapat berpegang teguh pada kalimat itu.
“Ibu? Ayah kenapa, ya?” tanya Afifah begitu ibu masuk ke dalam rumah.
“Oh itu, tadi ayah kamu nolong Denis yang kejebak di parit.”
Afifah mengernyit sesaat sebelum terkekeh pelan.
“Udah jangan ketawa, itu adik kamu dari tadi ngeliatin kamu aja, Fah,” ujar ibu menunjuk ke arah Ara yang memang menatap Afifah dengan mulut sedikit terbuka.
“Oh iya, Ya Allah maafin kakak ya, Ra,” ucap Afifah segera duduk di samping adiknya dan mulai membimbing tangan mungilnya untuk menorehkan garis di atas kertas putih itu.
***
“Bu Jihan, di minum teh nya.”
“Oh iya, bu, makasih, maaf repot-repot nih, bu.”
Bu Minah tersenyum, ia lalu duduk di samping bu Jihan.
“Jadi, gimana nasib anak-anak itu, bu Jihan? Apalagi Afifah, anak itu nampaknya semangat banget sekolah.”
Bu Jihan menyeruput tehnya lalu meletakkannya Kembali ke atas meja. “Iya, bu, memang. Makanya saya rekomendasikan dia untuk sekolah di kota aja, Afifah juga murid yang cerdas, kita tidak tahu potensi apa aja yang dia punya selama dia tidak mengasah dirinya, bukan, bu?”
Bu Minah mengangguk menyetujui perkataan itu, Afifah memang berbeda dan bedanya mengarah ke hal yang baik.
“Tapi, rasa-rasanya Amar gak bakal ijinin Afifah untuk keluar terlalu jauh, apalagi sampai menginap yang pastinya tidak akan sebentar, bu Jihan,” ujar bu Minah mengutarakan pendapatnya.
“Ayahnya Afifah ya, bu?” bu Minah mengangguk. “Em gitu, tapi kenapa ya, bu?”
“Amar itu orangnya keras, semua orang tahu kalau ia mencintai keluarganya, namun terkadang, dia terlalu membatasi pergerakan dari setiap anggota keluarganya.”
Bu Jihan berdeham, ia menyeruput teh Kembali, jangan sampai pembicaraan ini mengarah ke hal yang tidak baik.
“Yauda lihat nanti aja deh, bu, mudah-mudahan di ijinkan.”
Bu Minah mengangguk. “Yauda ibu lanjut kerjaan ibu dulu ya.”
“Oh iya bu silakan, maaf saya ngerepotin,” ujar bu Jihan tidak enak, walaupun bu Minah secara terbuka bahkan memintanya menginap di rumahnya, ia tetap merasa segan.
“Enggak kok, bu Jihan, anggap rumah sendiri aja.”
Bu Jihan tersenyum lebar, ia suka dengan keramah-tamahan orang-orang di sini yang cukup jarang ia temukan di kota, ingin rasanya tinggal lebih lama, namun ia tak bisa lagi.
***
Malam pun tiba, sejak pagi Afifah sudah menyiapkan mentalnya untuk hal ini, ia tahu apa jawaban yang akan ia dapat pertama kali, namun ia akan mencoba mengubahnya dengan pelan tanpa membantah kedua orang tuanya.
“Ayah, Ibu,” panggil Afifah. “Ada yang Afifah mau bicarain,’’ sambungnya ketika melihat orang tuanya menoleh ke arahnya.
“Kenapa, Afifah?’’ tanya sang ibu.
“Begini, Yah, Bu. Bu Jihan kasih saran ke Afifah supaya ngelanjutin sekolah di kota.” Afifah melirik bagaimana ekspresi ayah dan ibunya. “Afifah masih mau belajar, ngelanjutkan sekolah Afifah, bahkan sampai kuliah, Afifah pengen—”
“Enggak, Afifah.”
Jawaban itu begitu telak, singkat namun mampu menjawab semua perkataan Afifah, baik yang sudah muncul ataupun belum.
“Tapi, kenapa, Yah?” tanya Afifah pelan, mencoba selembut mungkin agar tak terdengar sangat membantah ucapan orang tuanya, ia juga takut akan hal itu.
“Dunia luar gak kayak yang kamu bayangin, Afifah. Percaya ke ayah, banyak hal berbahaya bertebaran di sana, bahkan kamu yang seperti ini bisa jadi seperti itu ketika bergaul dengan mereka.”
Afifah tahu dan sadar dengan jelas jika ayahnya hanya melihat dari sisi buruknya saja yang padahal juga bisa salah. Afifah tahu ia seharusnya membalas perkataan ayahnya dengan apa-apa saja yang sudah ada di dalam kepalanya, namun entah kenapa hal itu sangat susah di lakukan olehnya, mulutnya terasa berat untuk bersuara.
“Tapi, Yah—”
“Udahlah, Fah, kamu bisa kok belajar sendiri, nanti Ayah beliin buku yang banyak, ya,” kata ayahnya lalu menenggak air di gelas.
“Tapi, Afifah pengen punya guru, Yah, lagipula di luar sana Afifah bakal punya banyak temen. Enggak semua dari mereka yang berbahaya kayak yang Ayah bilang, pasti ada beberapa yang baik dan yang kayak gitu yang bakal Afifah deketin.”
Ayah tampak menghela nafas, membuat Afifah takut.
“Kamu jangan membantah, Afifah,” ujar ayah datar. “Ikuti aja apa kata orang tua, toh kamu di sana itu mau sama siapa, hm? Sama bu Jihan? Enggak mungkin, Fah.”
“Afifah ngekos, Yah.”
“Uangnya?”
Afifah terdiam, ia tahu keterbatasan ekonomi keluarganya.
“Udah, ya, enggak usah yang aneh-aneh, kamu tetep di sini aja.”
Afifah merasa matanya panas, ia merasa seolah ayahnya membatasi mimpi-mimpinya, merasa bahwa ayahnya menjadi penghalang padahal sudah ada jalan di depan mata.
“Fah, bener kata ayah, kamu di sini aja, ya. Enggak perlu ke luar sana,” tambah ibu yang membuat Afifah serasa terpojok.
“Afifah ke rumah bu Minah dulu, ngabarin bu Jihan, assalamu’alaikum,” pamitnya lalu berlalu dari sana.
“Wa’alaikumussalam, jangan lama-lama.”
Setelah Afifah pergi, ibu menatap ayah yang tampak biasa saja. Ibu adalah perempuan yang memiliki Pendidikan walau hanya sebatas SMA, ia sedikit banyak paham tentang perasaan anak sulungnya itu.
“Yah, kalau uang, Ibu rasa cukup dari penghasilan jual kue,” ujar ibu pelan ke ayah.
“Enggak, Bu. Dia enggak akan kemana-mana, bukan masalah uang sebenarnya, tapi Ayah enggak mau anak perempuan Ayah pergi jauh-jauh dari kita, anak perempuan ini berbahaya kalau di lepas gitu aja,” ujar ayah membantah.
“Tapi Afifah bukan anak yang kayak gitu, Yah. Ibu juga percaya kok sama dia.”
Ayah berdiri dari duduknya, ia menunduk menatap ibu lalu menggeleng. “Enggak, Ayah bilang enggak ya enggak, Bu. Tolong hargai keputusan Ayah,’’ ujarnya lalu berbalik pergi.
Sedangkan Afifah, ia berlari ke arah rumah bu Minah yang letaknya cukup jauh dari rumahnya, dari ujung ke ujung. Inginnya naik sepeda, tapi sepedanya sudah di rantai oleh ayahnya. Begitu terus setiap malamnya, katanya agar Afifah tidak keluar malam, berkeliaran kemana-mana.
“Afifah?”
Bu Jihan muncul dari dalam rumah, sangat kebetulan karena Afifah juga baru sampai di depan rumah itu.
“Bu Jihan, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam, ayo masuk dulu, Afifah,” ajak bu Jihan, sedangkan bu Minah tidak sedang berada di rumah.
Afifah masuk lalu di suguhkan segelas air putih yang ada dan sedikit makanan.
“Jadi gimana, Afifah? Kamu diijinkan?”
Afifah menunduk lalu menggeleng. “Enggak, Bu.”
“Kenapa?” bu Jihan terheran.
“Enggak diijinin ayah, juga karena ekonomi, bu,” jawab Afifah lirih. “Maaf ya, bu udah buat ibu nunggu di sini padahal Afifah gak diijinin pergi.”
Bu Jihan terlihat sedang memikirkan sesuatu. “Gini, Fah, di sana ada program beasiswa, kamu bisa ikut nanti, untuk biaya masuk biar Ibu yang bayar.”
Afifah menatap bu Jihan sesaat, bu Jihan terlalu bersemangat hingga mau melakukan hal seperti itu, padahal hasilnya akan tetap sama saja, ayahnya tak akan memberikannya ijin.
“Tapi, ayah enggak akan kasih ijin, bu, itu masalah utamanya,” ujar Afifah sedih, bayangkan jika kau ingin melakukan sesuatu yang sangat kau cintai dalam hidupmu, tapi di larang oleh orang yang harus kau hormati dan patuhi, dilemma pasti akan melandamu, begitupun yang di rasakan oleh Afifah.
Bu Jihan melipat bibirnya ke dalam, kalau sudah seperti itu pun, ia takt ahu harus bagaimana lagi. Ijin dari orang tua memang sangat penting.
“Afifah.”
Afifah dan bu Jihan menoleh bersamaan, sama-sama terkejut melihat ayah Afifah sudah berdiri di ambang pintu.
“Ayah dari tadi di sana?” tanya Afifah yang tidak di jawab oleh ayahnya.
“Ayo pulang, mau jam Sembilan malam, anak perempuan tidak boleh keluyuran di luar,” ujar ayah dengan isyarat agar Afifah mengikutinya.
Afifah pun dengan terpaksa bangkit berdiri, bu Jihan juga melakukan hal yang sama lalu berdiam diri melihat Afifah yang berjalan pelan ke arah ayahnya.
“Ayah ….” Afifah tiba-tiba terduduk di bawah, membuat semuanya terkejut. “Tolong, ijinin Afifah.”
“Afifah!” Ayah mengangkat paksa tubuh Afifah hingga ia berdiri kembali, ia juga memegang lengan atas Afifah dengan kuat. “Lihat, Cuma karena itu kamu bisa ngelakuin hal tadi?! Apa-apaan kamu, Fah?!”
“Pak, udah!” bu Jihan datang lalu menarik Afifah dari cengkraman keras ayah. Ia mendekap Afifah yang menangis tersedu. “Pak, Afifah juga punya mimpi yang ia capai, ia punya harapan, dan sebagai orang tua yang baik, bapak harusnya mendukung bukan menghalangi,” ujar bu Jihan yang terlanjur dikuasai sedikit emosi.
“Enggak—”
“Yah ….”
Ayah menoleh dan terkejut ibu Afifah sudah berdiri di belakangnya. “Ibu ngapain ke sini?”
“Bener kata bu Jihan. Sesekali kita harus mendengar apa kemauan Afifah, mungkin kali ini kita harus mengalah, biarkan Afifah meraih apapun yang ia suka selama masih di jalan yang benaar, Yah,” ujar ibu yang mendukung Afifah.
“Enggak, Bu! Kita gak tau kan apa-apa aja yang ada di kota itu? Banyak orang-orang berbahaya yang bisa aja nyakitin Afifah!”
“Bener kata Aminah, Amar,” bu Minah bersuara tiba-tiba. “Kamu gak boleh egois, ini sama aja kamu ngehalangin apa yang di impikan anak kamu sendiri, kasihlah dia kesempatan, kamu gak akan tau kan sebelum mencoba?”
Ayah merasa terpojokkan, semua orang mendukung Afifah! Tapi yang sebenarnya ayah rasakan adalah ia mencemaskan anaknya, itu saja!
“Yah ….”
Afifah di belakang menunduk sedih, mau sebanyak apapun orang yang berpihak padanya, ia yakin ayah akan tetap berpegang teguh pada pendapatnya.
“Afifah,” panggil ayah dan berbalik menghadap Afifah. “Ayah kasih kamu satu kesempatan, hanya satu. Kamu boleh sekolah di kota, tapi kamu harus janji tidak boleh mendekati bahkan melakukan sesuatu yang k**i, yang buat kamu jauh dari Allah, kamu paham?”
Bolehkah Afifah berteriak sekarang? Ia seolah melihat dinding besi di depannya sudah terbuka dan memperlihatkan jalanan bercahaya yang nantinya akan ia tempuh.
“A-ayah serius?”
Ayah tampak menghela nafas Panjang. “Iya, tapi kamu harus janji,” ujarnya. Sebenarnya ini berat, namun perkataan orang di sekelilingnya memang benar, setidaknya ia memberi satu kali kesempatan, toh sebelum ini, ia memang sudah pernah memikirkan hal ini.
“Afifah janji, Ayah!”
Afifah tak tanggung-tanggung menunjukkan rasa senangnya, ia memeluk semua orang yang ada di sana. Tangannya terkepal, ia berjanji kepada dirinya sendiri jika ia sudah sampai di sana, ia akan mencari dan menyimpan ilmu banyak-banyak di dalam kepalanya.
“Jangan juga pacar-pacaran, ayah bakalan pantau kamu, awas aja kalau ngelakuin hal yang enggak-enggak,” ujar ayah datar, setengah hatinya sejujurnya masih enggan.
Afifah menatap ayahnya dengan mata yang berkcca-kaca. “Pasti, Ayah! Makasih.”
***