Tiara ikut membersihkan pakaian Afifah yang kotor. Amarah Afifah tadinya memang sudah reda. Tapi entah kenapa melihat noda di pakaiannya yang susah hilang membuat amarah itu muncul kembali. Ia bersungut-sungut sembari menggosok kuat agar noda itu cepat hilang. "Ih kenapa susah banget hilangnya Ya Allah."
"Afifah!"
Afifah menutup mulutnya. Ia lupa jika mereka berada di kamar mandi. "Astaghfirullah!"
"Afifah?!" Tiara berseru dengan wajah mengernyit.
Afifah menutup bibirnya rapat-rapat agar tak ada kalimat apapun lagi keluar dari mulutnya. Ya Allah, maaf, batinnya.
"Gak sengaja, Ra. Maaf, ya," ujar Afifah pelan. Ia merutuki dirinya sendiri yang berbicara kebablasan.
"Minta maafnya bukan sama aku, Fah."
"Iya udah minta maaf sama--"
"Ekhem."
"Iya udah kok," sahut Afifah lemas. Amarah membuatnya kehilangan kontrol hingga akhirnya memberinya beberapa dosa.
Tiara tersenyum kecil. Ia kembali menggosok jilbab Afifah dan ketika noda itu memudar, ia menghentikannya.
"Kayaknya ini emang susah banget deh, Fa. Mending kamu cuci di kos aja, pakai sabun. Percuma di gosok berapa kali juga enggak hilang," saran Tiara menunjuk ke arah noda bandel di jilbab Afifah.
Afifah pun menghela nafas. Apa boleh buat jika memang seperti itu kenyatannya. "Yauda deh. Gak papa. Makasih udah bantuin ilangin ya, Ra."
Tiara mengangguk-angguk sebelum melangkah mengikuti Afifah yang keluar kamar mandi lebih dulu.
"Fa."
"Hm?" Afifah menoleh ke arah Tiara dengan tangan yang memeras jilbabnya yang basah. "Kenapa, Ra?" tanyanya ke Tiara yang malah diam saja setelah memanggilnya.
"Em bukannya aku mau menggurui. Tapi sebagai teman, aku mau ingetin kamu kalau sebenernya amarah itu enggak baik," ujar Tiara masih melanjutkan langkahnya. "Kalau kamu ngerasa marah, sabar dan tahan diri aja. Ntar marahnya pasti ngilang dengan sendirinya," sambungnya dengan senyum lebar.
Afifah tahu itu. Tapi masalahnya Kila terlalu diluar batas. Kesabarannya langsung kandas berada di titik terbawah.
"Rasulullah pernah bersabda kepada seorang sahabat tentang keutamaan menahan amarah adalah memperoleh surga."
Afifah menatap Tiara penuh kagum. Teman barunya itu sangat paham agama. Ia tidak bisa bilang ia paham agama juga, tapi jika Afifah boleh jujur. Pemahamannya tentang agamanya paling hanya beberapa dan terkadang ia malu mendengar Tiara bisa berkata penuh wawasan seperti ini sedangkan ia tidak tahu apa-apa.
"Boleh aku sebutin haditsnya?"
Afifah mengangguk kuat. "Boleh banget. Sekaligus bisa nambah pengetahuan aku, Ra."
"Beliau bersabda : Laa ta'dhof walakal jannah. (Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga,)" ujar Tiara riang. "Ada beberapa hadits lain, sih. Tapi cuma hapal itu aja hehe."
Afifah terkekeh pelan. "Itu juga udah bagus banget, Ra. Aku malah enggak tau haditsnya."
"Gak papa. Kita belajar sama-sama!"
Afifah tersenyum lebar. Ya! Belajar bersama-sama bukanlah ide buruk. Malah ini akan menambah semangatnya karena bisa belajar bersama seorang teman yang bisa dikatakan memiliki ketertarikan yang kurang lebih sama dengannya.
"Fa," gumam Tiara berhenti melangkah dan mencekal lengan Afifah. Matanya menatap ke depan. Ke Kila yang berjalan ke arah mereka bersama teman-temannya.
Afifah yang tadinya melempar tatapan tanda tanya jadi menoleh mengikuti pandangan Tiara dan ia kini tahu apa yang menjadi penyebab Tiara berhenti melangkah.
"Gak papa, Ra. Tadi kan aku cekcok sama dia karena tempat tongkrongannya gak sengaja kita ambil," ujar Afifah melepaskan perlahan cekalan Tiara. "Kita bersikap biasa aja. Nanti mereka juga biasa aja ke kita."
Tiara terdiam sebelum mengangguk menyetujui ucapan Afifah. Benar, tadi kan mereka bermasalah karena ada alasannya. Yang padahal alasannya itu cukup tak masuk akal. Seluruh meja di kantin kan punya seluruh siswa, bukan khusus ke beberapa siswa saja, apalagi mengklaim seolah meja di sana adalah milik mereka.
"Yauda, kita lanjut jalan aja lagi."
Afifah dan Tiara melanjutkan langkah mereka. Berbicara santai seolah tidak ada hal lain yang menganggu mereka. Memang benar jika Kila tidak menganggu mereka. Perempuan itu juga bukan mendekat ke arah mereka sebenarnya. Tepatnya ia menghampiri seorang cowok dan berdiri dekat sekali dengannya.
Padahal, mereka kan bukan mahram.
Tak sengaja mata Afifah terpaku pada Kila dan cowok itu. Tiara yang menyadarinya pun memergoki Afifah agar segera fokus dengan jalan mereka. Namun sayangnya cowok Kila itu menyadari tatapan Afifah yang menatap ke arahnya lalu membalas tatapan itu. Mereka bersitatap dalam beberapa detik sebelum Tiara memergokinya.
"Eh liatin apa? Ntar dia marah lagi tau," sungut Tiara mengibaskan tangannya ke udara. Wajahnya tampak kesal. Jelas saja karena ia tak mau berurusan dengan Kila. Atau apapun yang membuat kehidupan sekolahnya jadi tidak nyaman.
"Maaf, Ra. Entah kenapa tadi aku penasaran sama mereka."
"Di sini udah gak jarang ya ada pemandangan orang lagi pacaran," gumam Tiara melihat ke sekeliling mereka di mana ada beberapa laki-laki dan perempuan sedang mengobrol dan tertawa bersama di berbagai tempat.
"Padahal itu di larang, ya."
Tiara mengangguk. "Kadang aku ngerasa aku gak cocok masuk di sekolah umum, Fa. Bukan bermaksud sok atau apapun. Tapi sebenarnya yang aku tahu, kalau kita lagi lihat orang yang bukan mahram berdekatan apalagi bersentuhan, kita harus bilangin mereka. Tapi, kalau kita lakuin itu, yang ada mereka malah sensi dan malah mandang jelek ke arah kita. Dan hal itu banyak terjadi di sekolah umum kayak gini," jelasnya panjang lebar, diakhiri dengan senyum getir yang tak dapat ia sembunyikan.
Afifah paham, ia pun mengelus pundak Tiara sesaat. "Kalau gitu kita hanya perlu ngehindarin yang terlarang aja, 'kan? Kita di sini buat nuntut ilmu. Itu yang perlu ditanemin dalam-dalam di dalam hati kita, Ra."
Tiara setuju dengan ucapan Afifah. Cuma ya memang tidak semudah itu juga. Akan lebih baik ia masuk ke pesantren yang jelas-jelas murid perempuan dan laki-lakinya di pisahkan. Hanya saja, ia ada suatu masalah tertentu yang mengharuskannya sekolah di sekolah umum.
"Ayo deh ke kelas. Kayaknya bentar lagi pelajaran di mulai nih," ajak Afifah dan melangkah cepat-cepat diikuti Tiara dari belakang.
Benar saja. Beberapa detik kemudian, bel berbunyi nyaring dan Afifah serta Tiara yang tak mau telat, jadi berlarian di koridor. Kejadian itu disaksikan oleh murid-murid lain. Sebagian dari mereka bahkan berseru kesal karena menurutnya Afifah dan Tiara terlihat berlebihan alias lebay. Padahal baru lonceng, tidak apa juga telat sedikit. Tapi mereka malah berlarian di koridor, sedikit mengganggu sebenarnya.
"Fa, kayaknya kita jalan aja deh," ujar Tiara dengan nafas tak beraturan. Ia berhenti berlari dan mengatur nafasnya.
Afifah yang menyadari Tiara berhenti pun ikut memberhentikan langkahnya. Ia menoleh ke belakang dan berjalan mundur.
"Kenapa emangnya?"
"Gak lihat kamu tadi mereka pada protes sama kita?" tanya Tiara menunjuk ke arah belakangnya.
"Enggak. Aku gak perhatiin."
Tiara menegakkan tubuhnya. Nafasnya sudah kembali normal. "Yauda jalan aja deh ya, lagian baru bel, gurunya juga gak secepet itu masuknya, kan?"
Afifah hanya mengangguk menurutinya. Soalnya jika di sekolahnya dulu di kampungnya, begitu bel bunyi, mereka harus segera masuk karena sang guru pasti akan melakukan hal yang sama. Sangat berbeda jauh dengan guru di sekolah ini yang hampir sebagian pengajarnya selalu tidak tepat waktu.
Masuk setelah puluhan menit sejak bel bunyi dan keluar sebelum puluhan menit bel bunyi. Sesuatu yang banyak di senangi murid tapi Afifah tidak salah satu di antaranya.
"Yauda jalan aja deh."
Tiara dan Afifah kembali berjalan. Kelas sepuluh IPA dua berada di kelas kedua dari ujung. Hanya beberapa meter lagi mereka sampai di kelas itu.
Jika dilihat-lihat. Memang semua siswa masih berada di luar ruangan dan berbincang-bincang seru seolah tidak mendengar bel sebelumnya. Afifah terkena culture shock dalam hal ini yang mana tidak pernah terjadi sebelumnya di hidupnya.
"Fa? Kok kamu bengong gitu?" Tiara melambaikan tangannya di depan wajah Afifah.
"Hah? O-oh enggak, kok," sahut Afifah terkekeh pelan. Ia menggaruk keningnya yang tak gatal. "Aku cuma heran aja, Ra. Situasi di sini beda banget sama situasi sekolah aku dulu."
Tiara tertawa. "Emang. Kita gak bisa sama-samain dua hal yang jelas-jelas udah beda dari awal, Fa. Lihat deh. SMA Pancasila ini deket banget sama SMA Tunas Bangsa. Sama-sama umum kok, tapi tetep aja ada perbedannya. Emang sih bedanya enggak keliatan banget, tapi pastii ada aja."
Afifah terkekeh, merutuki pemikiran kolotnya barusan. "Hehe iya, ya. Ya Allah aku kok gitu banget pikirannya."
Tiara hanya tersenyum membalasnya.
Mereka melanjutkan langkah bersama-sama. Beberapa orang memerhatikan dan tampak berbisik-bisik dengan temannya. Sepertinya mereka membicarakan Afifah karena hanya Afifah yang merasa mata-mata mereka mengarah ke dirinya.
"Mereka kenapa liatin aku gitu banget ya, Ra? Apa ada yang salah sama aku?" tanya Afifah penasaran menoleh ke arah Tiara.
"Em enggak kok, Fa. Paling cuma karena kita anak baru jadinya jadi pusat perhatian untuk sementara," jawab Tiara menurut logikanya. Ia tidak terlalu mencemaskan tatapan orang lain pada mereka karena ia yakin itu karena mereka anak baru di sana. Selebihnya, rasanya tidak ada alasan lagi.
"Apa karena jilbab aku yang kotor, ya? Pasti iya, Ra."
Afifah tidak pernah merasa minder sebelumnya karena ia selalu menjadi panutan di kampungnya. Perempuan yang di gadang-gadang akan menjadi seseorang pembawa cahaya bagi kampung mereka. Yang di ekspetasikan akan memiliki masa depan yang cerah.
Afifah selalu di perlakukan agaknya istimewa. Dan sekarang, ia merasa asing ketika orang-orang menatapnya dengan kernyitan di dahi seolah tak suka padanya. Ini adalah sesuatu yang baru bagi Afifah yang tak pernah keluar dari kampungnya.
"Enggak, Fa. Kamu gak boleh buruk gitu pikirannya. Positive thinking aja kalau mereka ngeliatin kita karena wajah-wajah kita asing di penglihatan mereka," ujar Tiara mencoba membangun kembali rasa percaya Afifah.
"Udah enggak usah di pikirin terlalu lama. Cuek aja. Kalau kita ngerasa gak ada yang salah sama kita. Ya ngapain di pikirin terus malah jadi beban tersendiri, 'kan?"
Tiara dan Afifah sampai di kelas mereka. Hanya ada sebagian murid di sana. Sebagiannya lagi pada di luar mengobrol riang. Mereka berdua kemudian duduk di bangku paling belakang, bersamaan dan bersebelahan,
"Gitu, ya, Ra. Makasih, ya."
"Eh kenapa makasih, Fa?" Tiara memasang tampang heran. Perasaan ia tidak mengatakan apapun yang ajaib. Kenapa Afifah berterima kasih seolah kalimatnya kalimat luar biasa baginya?
"Iya aku tau kamu mau semangatin aku. Makasih, ya. Dulu pas di kampung. Aku enggak ada ngerasain hal kayak gini. Jadinya asing aja gitu, Ra."
Tiara tersenyum. Ia mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. "Aman, Fa. Sebagai teman kita harus saling ingetin, ya," ujarnya sembari mengeluarkan buku pelajarannya.
Afifah mengangguk. "Okey!"
***