HAPPY READING
***
Sepanjang meeting terakhir ia tidak bisa konsentrasi penuh, masalahnya Oscar akan menunggunya di lobby. Ia merasa was-was jika sudah seperti ini, entahlah ia merasa khawatir dengan dirinya sendiri. Ia tahu apa yang terjadi jika ia bertemu dengan Oscar lagi.
Ia tidak tahu bagaimana bisa Oscar dengan cepat tahu officenya. Meetingpun berakhir, Juliet keluar dari ruang, di susul dengan beberapa staff nya. Ia bersiap-siap untuk pulang, ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 16.01 menit.
Ia masuk ke ruang office, ia menatap sekretarisnya di sana. Ia mengambil tas Hermes nya di filling cabinet. Ia menenangkan hatinya sejenak, mempersiapkan diri, apa yang harus ia lakukan ketika bertemu dengan Oscar nanti.
Setelah tenang, Juliet melangkahkan kakinya menuju pintu utama, ia menatap sekretarisnya di sana masih di meja kerjanya.
“Mau pulang bu?” Tanyanya ramah.
“Iya. Saya pulang dulu ya.”
“Baik bu.”
Juliet melangkahkan kakinya menuju koridor, ia melihat para karyawan masih di meja kubikel. Ia menarik nafas beberapa detik lalu masuk ke dalam lift. Lift membawanya menuju lantai dasar. Ia harap-harap cemas, ketika ia berada di lobby.
Sejujurnya ada alasan kenapa ia suka tinggal di lingkungan ini, karena ia salah satu wanita penyuka gedung pencakar langit, ia selalu suka dengan trotoar SCBD. Setiap hari yang ia lihat di balik apartemen gedung-gedung pencakar langit memberikan pemandangan skyscrapers yang cukup indah, apalagi malam hari. Walau daerah Sudirman, Thamrin SCBD semacet apapun itu ia suka melihatnya.
Pintu lift terbuka, ia melangkahkan kakinya ke depan. Ia menatap beberapa orang pekerja yang keluar dari pintu lobby. Ia tidak tahu apa fungsinya ketika ia dan Oscar ngobrol bersama. Sejujurya ia takut memiliki keinginan untuk bersama kembali seperti dulu.
I know my self best, but when I love you. Ia tipikal wanita yang bucin, ia susah lupa kalau sudah terlanjur sayang dengan seseorang. Terlebih hubungannya dengan Oscar itu dulu baik-baik, tidak banyak drama dan lebih banyak manisnya, di banding marahnya. Bahkan suasana hatinya sangat baik ketika mereka bersama.
Mungkin menghindari bertemu adalah hal yang terbaik yang bisa ia lakukan. Dari pada bertemu dengan Oscar, itu hanya akan merusak dan menghancurkan semua proses move on yang sudah ia susun rapi. Lebih baik ia pura-pura tidak melihat, atau pura-pura tidak kenal. Yang pasti kesehatan mental dan hatinya jauh lebih tenang tanpa Oscar.
“Juliet.”
Juliet seketika menghentikan langkahnya ia menatap ke depan. Ia memandang seorang pria mengenakan kemeja putih dengan lengan yang sudah tergulung ke siku, dan calana hitam slimfit berwarna hitam. Rambutnya tertata rapi, senyum tampan itu meluluh lantahkan hatinya. Naomi bingung harus melakukan apa selain diam dan terpaku. Baru saja ia memikirkan bagaimana ia menghindar, pria itu kini sudah berada di depan daun pintu lobby. Kini berjalan mendekatinya.
Juliet menelan ludah, ia bingung akan melakukan apa dan ia berusaha setenang mungkin.
“Hai,” sapa Oscar.
Oscar tidak menyangka menemukan keberadaan Juliet sangat cepat. Ternyata jarak tower officenya tidak terlalu jauh dari tempatnya.
“Hai,” ucap Juliet.
“Office kita ternyata dekat ya dari sini,” gumam Oscar.
Juliet mengerutkan dahi, “Owh ya!”
“Iya, dekat. Gedung office saya di sana. Ke kantor kamu hanya perlu jalan kaki saja,” ucap Oscar.
Selama mengenal Oscar dua tahun lalu, ia sama sekali tidak pernah mengetahui keberadaan office pria itu. Karena konsentrasinya dulu hanya memikirkan bagaimana menyelesaikan perceraiannya, bukan mengenal siapa Oscar.
Juliet menarik nafas, ia memberanikan diri menatap iris mata Oscar, “Kamu sebenernya mau ngomongin apa?” Tanya Juliet to the point.
Oscar menyungging senyum, “Kita ke restoran sebelah aja yuk, enggak enak ngobrol di sini,” ucap Oscar.
Juliet mengangguk, “Oke.”
Juliet menyeimbangi langkah Oscar keluar dari lobby. Sementara Oscar melirik Juliet berada di sampingnya. Jujur ia suka melihat Juliet berpakaian seperti ini, dia terlihat sangat exclusive. Ia tahu bahwa daya tarik di mata lawan jenis itu relative, begitu juga dengan level pesona wanita yang menarik perhatian kaum adam seperti dirinya.
Ia sebagai pria cenderung memperhatikan mata, senyum dan rambut ketika memandang wanita. Pria seperti dirinya memang tergila-gila dengan p******a, tapi itu bukan pertama kali yang ia lihat, melainkan matalah buat mereka saling menatap.
“Kamu tinggal di daerah sini?” Tanya Oscar, membuka topik pembicaraan ketika mereka melangkah di trotoar.
“Iya.”
“Di District 8?”
Juliet menoleh memandang Oscar, ia mulai berpikir dan pria itu masih menatapnya, “Iya.”
Oscar tertawa, “Boleh saya main ke sana?” Tanya Oscar.
“Iya, buat apa?”
“Buat main aja.”
Juliet menatap Oscar, ia memperhatikan raut wajah itu cukup serius, “Kamu mau main apa di apartemen saya?”
“Apa saja.”
“No, saya nggak akan mengijinkan pria manapun masuk ke apartemen saya.”
“Really.”
“Yes.”
“Why?” Tanya Oscar, ia menghentikan langkahnya sebelum masuk ke restoran Orasa’s.
“Demi menjaga privasi saya,” ucap Juliet, ia sebenarnya tidak suka jika Oscar bertanya terlalu banyak kepadanya apalagi meminta bermain ke apartemennya, sungguh itu sangat menganggunya.
Oscar tersenyum, lalu tertawa ia melihat wajah cemberut Juliet, “Kamu cantik sekali saat marah seperti itu,” ucap Oscar.
Juliet yang mendengar itu terbelalak kaget, “Apaan sih, nggak lucu, tau.”
Oscar menarik nafas, ia sesenang ini bisa bertemu dengan Juliet, “Kita makan di restoran Thailand ya,” ucap Oscar.
Juliet menyeimbangi langkah Oscar masuk ke dalam. Mereka mengedarkan pandangan kesegela penjuru area restoran, interornya modern dan elegan. Mereka memilih duduk di table kosong.
Ketika mereka duduk, server datang. Oscar memesan tom yam goong, pad thai prawn, fish cake, pineapple fried rice dan thai iced tea. Oscar tahu bahwa nanti malam ia harus menghadiri ulang tahun di tempat Leon sudah dipastikan akan makan malam bersama sekeluarga, namun ia tetap memilih menghabiskan waktunya makan, makanan berat ini bersama Juliet.
Server meninggalkan table setelah mencatat pesanan mereka. Oscar memandang Juliet, wanita itu hanya diam dan meletakan tas di meja. Ia tahu tas yang dikenakan Juliet melambangkan status social wanita itu. Ia tahu bahwa tas merek itu dibuat oleh rumah mode yang didirikan oleh Thierry Hermes pada tahun 1837. Ia pernah menemani sang mama membeli tas itu, harganya membuatnya tercengang karena saking mahalnya.
Tidak butuh waktu lama minuman mereka datang. Juliet bersyukur bahwa ice tea nya datang, sehingga menghilangkan sedikit rasa nervous-nya menghadapi Oscar.
“Kamu selama ini ke mana?” Tanya Oscar membuka topik pembicaraan, inilah yang ada di dalam pikirannya.
“Untuk apa kamu tahu, saya ke mana?”
“Saya hanya penasaran Juliet. Saya dua tahun berharap menemukan kamu, namun kamu menghilang begitu saja, tanpa kejelasan apapun kepada saya. Nomor ponsel kamu juga tidak dapat dihubungi. Saya sungguh mengkhawatirkan kamu saat itu.”
“Saya sebenarnya tidak masalah jika kamu pergi move entah kemana. Jika itu membuat kamu bahagia. Percayalah saya hanya ingin tahu, bagaimana perjalanan hidup kamu selama dua tahun ini.”
Juliet menarik nafas beberapa detik, “Saya selama ini tinggal di Bali.”
“Good, Bali tempat healing terbaik menurut saya,” ucap Oscar.
“Di sana saya lebih tenang, yoga, meditasi, spiritual, ke tempat-tempat pelukatan untuk menengkan diri,” gumam Naomi menceritakan aktivitas apa yang ia lakukan.
“Tinggal di rumah sendiri?”
“Saya tinggal di vila sendiri.”
“Di mana?”
“Letaknya di Karangasem, suasana pantai di sana agak sepi dan membuat tenang. Kalau di Kuta dan Canggu masih ramai. Kebetulan di Bali juga ada beberapa vila milik papa, jadi sekalian kerja ngurusin kerjaan sana.”
“Apa sekarang sudah lebih baik?”
“Iya, tentu saja.”
“Good, saya lihat kamu juga sudah banyak berubah Juliet.”
Juliet menyungging senyum, “Sok tau banget kamu.”
“Kamu lebih positif sih. Cara berbicara juga lebih tenang.”
Juliet tahu kalau untuk urusan membuat wanita tenang Oscar lah juaranya. Dia sangat cerdas memainkan perasaan dan suasana. Beberapa menit kemudian makanan mereka datang. Berupa fish cake, yang di plating cantik, dan sayuran di tata rapi, di sajikan dengan sauce ala thai. Pad thai terlihat sangat menggugah selera, lalu nasi goreng nanas, dan tom yam goong yang diisi dengan udang lobster.
“Kamu sudah sering makan di sini?” Tanya Juliet, mengingat tadi pagi pria itu mengatakan mengajaknya lunch di restoran ini.
“Pernah sekali saat lunch beberapa bulan, so far enak semua. Katanya chef di sini orang Thailand aslli.”
“Pantes rasanya masih authentic sekali,” Juliet memakan masakan itu dengan tenang.
Oscar memasukan makanannya ke dalam mulut, “Kamu bisa nggak membedakan orang yang cerdas dan orang yang tidak?” Tanya Oscar ia mencari topik pembicaraan agar suasana hubungan mereka mencair.
Juliet menatap Oscar, “Sebenarnya saya nggak terlalu paham membedakan mana yang cerdas dan tidak. Tapi saya pernah mengalami itu saat di kampus saya dulu.”
“Saat kuliah dulu, ada seorang laki-laki tinggi kurus, mengenakan lengan panjang dan duduk di belakang meja saya. Dia tidak banyak bicara, bersinnya aneh dan kebanyakan menahan diri. Saya curiga dia cerdas atau sangat cerdas. Seharusnya saya saat itu tidak peduli, tetapi karena saya sangat kepo dan gemar mengamati orang-orang di sekitar saya. Sepertinya saya nggak punya bukti, seperti nilai ujian atau percakapan menarik yang mendukung kesimpulan saya. Saya hanya bukti bahasa tubuhnya saja.”
“Seperti apa bahasa tubuhnya?” Tanya Oscar.
“Biasa orang cerdas itu memiliki kepercayaan diri yang dingin, kurangnya tekanan pada wajahnya. Agak dingin dan slow, diimbangi dengan kepribadian yang malas. Dia memang fokus dengan materi yang di sampaikan dosen pada saat itu. Saya lihat dia jarang mencatat, hanya memegang pensil.”
“But, seolah-olah dia hanya dalam kendali nahkoda kapal, berlayar bersama. Sementara kami semua seperti mendayung kapal.”
“Saat dosen bertanya kepada kami semua, dosen memberi soal tingkat tinggi di papan dan bertanya siapa yang bisa jawab. Saya seakan tahu siapa yang bisa menjawab, saya lalu menoleh menatapnya. Saya bisa tahu dialah yang bisa menjawab. Dia duduk diam seolah-olah menunggu seseorang yang bisa menjawab.”
“Dosen saya bertanya, “Ada yang bisa?”
“Akhirnya hanya dialah yang mengangkat tangan. Hingga akhirnya saya paham bahwa orang yang cerdas itu, tenang, dingin dan santai.”
“Dia berdiri membacakan jawabannya seperti pembunuh terlatih.”
“Sebenarnya kita tidak perlu hasil ujian untuk menyadari seseorang itu cerdas apa tidak.”
“Itu saat kuliah dulu. Kalau sekarang saya bisa mendeteksi bahwa dia cerdas saat dia bicara. Orang cerdas itu terlihat dari pengetahuannya tentang apa yang dibicarakan. Biasa dia memiliki banyak opsi jawaban. Dia memiliki banyak informasi, dan mampu memecahkan masalah.”
Oscar menganguk paham, ia memasukan makanan ke dalam mulutnya, “Menurut saya kamu termasuk golongan cerdas itu.”
“Owh ya? Alasannya apa?”
“Dari kamu menjawab pertanyaan saya. Kamu menganalisisnya dengan sangat baik.”
Juliet lalu tertawa, “Kamu terlalu berlebihan. Bukannya kamu yang cerdas.”
Oscar ikut tertawa, “Terima kasih atas pujiannya.”
“Juliet.”
“Iya.”
“Kamu cantik sekali kalau tertawa.”
Seketika hati Juliet berdesir, ia menelan ludah menatap Oscar, dan Oscar menatapnya balik. Mereka saling berpandangan. Ia teringat dua tahun lalu, pria itu juga mengatakan hal yang sama, kalau ia cantik saat tertawa.
Jantungnya semakin berdebar, ketika mereka semakin lama menatap. Hormonnya seolah mengalir melalui darah dan menyebabkan jantung berdebar lebih kuat. Juliet lalu mengambil gelas berisi ice tea nya, ia menyesapnya secara perlahan dan mengalihkan tatapannya agar tidak melihat tatapan Oscar. Oh God, jantungnya tidak bisa diajak kompromi. Tidak hanya berdebar, namun lutut pun kadang terasa lemas dan tidak mampu bicara.
“Nanti malam kamu ada acara?” Tanya Oscar, ia makan dengan tenang, sambil memperhatikan Juliet, karena ia betah berlama-lama menatap wanita itu.
“Enggak, kenapa?”
“Kamu mau menjadi pendamping saya ke acara ulang tahun perusahaan saudara saya.”
Juliet menarik nafas, “Acara ulang tahun?”
“Iya. Acaranya di hotel Four Seasons, jam tujuh nanti.”
Juliet menelan ludah, “Apa di sana ada keluarga kamu?”
“Iya, semuanya ada.”
Juliet menggelengkan kepala, “Maaf, saya nggak bisa. Lain kali saja,” ucap Juliet.
Oscar tahu kalau Juliet belum siap akan hal ini, “Iya, tidak apa-apa. Saya mengerti, kenapa kamu enggan mendampingi saya.”
“Saya hanya belum siap, apalagi di sana ada orang tua dan keluaga kamu. Awalnya kamu bersama adik saya Rose. Tiba-tiba kamu datang membawa saya sebagai pendamping kamu, terlebih status saya seorang janda. Kamu pasti paham maksud saya,” ucap Juliet.
“Juliet.”
“Iya.”
“Sepertinya kamu harus stop membandingkan kamu dengan orang lain. Kamu juga jangan memikirkan apa yang belum tentu orang pikirkan. Rasa insecure kamu dibantuk oleh pikiran kamu sendiri. Bahkan kamu belum memulainya.”
“Berdamailah dengan kelemahan kamu. Terima bahwa itu memang kamu, i’ll be okay without something like that. Katakan pada diri kamu, kamu akan baik-baik saja tanpa hal semua itu. Jangan lagi memikirkan Rose dan status janda kamu.”
“Saya selalu ada di samping kamu, apapun keadaanya. Saya tidak tidak peduli kamu saudara mantan saya dan status kamu yang sudah menikah. Sekali lagi tetap tidak peduli,” ucap Oscar.
Kata-kata Oscar menusuk hingga hatinya. Hatinya semakin tidak bisa diajak kompromi. Pria itu tidak berubah, dia selalu paham dan mengerti tentang dirinya. Inilah kenapa ia enggan bertemu dengan Oscar, karena pria itu mampu meluluhkan hatinya. Jantungnya tidak bisa diajak kompromi dadanya semakin berdebar, hingga lidahnya kelu untuk mengeluarkan kata-kata.
“Habisin makan kamu.”
“Iya.”
***
Setelah makan Oscar mengantar Juliet hingga ke depan pintu lift tower apartemennya. Benar dugaanya bahwa Juliet tinggal di apartemen district delapan di infinity tower.
“Apartemen kamu lantai berapa?” Tanya Oscar.
“Lantai 21,” ucap Juliet.
Oscar melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 17.30 menit. Sebenarnya ia tidak rela berpisah dengan Juliet, karena pertemuan mereka sesingkat ini. Inginnya menghabiskan waktu berdua dan saling bercerita.
“Sampai di apartemen, kamu mandi dan istirahat.”
Juliet mengangguk, “Iya. Thank’s ya teraktirannya, saya baru tahu bahwa makanan di sana enak-enak.”
Oscar melangkah mendekati Juliet, ia pandangi iris mata bening itu, ia memberanikan diri menyentuh bahu Juliet, “Lain kali, kita cari makan yang enak enak lagi.”
“Jangan.”
“Jangan kenapa?”
“Nanti uang kamu habis.”
Oscar lalu tertawa, “Uang saya tidak akan pernah pernah habis, hanya untuk kita makan berdua.”
“Dasar sombong,” Juliet ikut tertawa.
Seketika tawa mereka menjadi diam, Oscar kembali menatapnya. Mereka saling memandang satu sama lain, terlihat sebuah kerinduan di sana.
“Boleh saya peluk kamu?” Tanya Oscar pada akhirnya, itulah yang ada dikepalanya saat ini, ia ingin memeluk wanitanya dengan erat penuh kerinduan.
Juliet menarik nafas beberapa detik, entah dorongan apa ia lalu mengangguk. Oscar tersenyum, dan mendekat menarik pinggang Juliet dan ia rapatkan tubuhnya ke tubuh Juliet, hingga tidak ada jarak diantara keduanya.
Oh Tuhan, betapa rindunya ia dengan wanita ini. Jangan salah kan dirinya, jika ia tidak ingin melepaskan pelukan ini. Oscar memejamkan mata, ia memeluk tubuh Juliet dengan erat. Tidak lupa ia mendaratkan bibirnya di puncak kepala Juliet.
“I miss you so much,” bisik Oscar.
Juliet membalas pelukan Oscar, ia tahu bahwa mereka dua orang yang saling merindukan satu sama lain. Matahari mungkin tidak pernah berharap untuk bertemu dengan rembulan, namun selalu saja ada gerhana sebagai perantara, agar mereka bisa bertemu walau sekejap mata. Ia merasakan ketenangan luar biasa. Inilah pelukan ternyaman yang pernah ia rasakan seumur hidupnya.
Ia tidak tahu berapa lama mereka saling memeluk, Oscar lalu melepaskan pelukannya. Ia menatap Juliet, dan ia merasakan lega luar biasa setelah memeluknya.
“Mandi, setelah itu istirahat.”
“Iya.”
“Nanti malam saya hubungi kamu.”
Juliet mengangguk, ia menatap pintu lift terbuka. Ia masuk ke dalam memandang Oscar masih menunggunya. Juliet menempelkan kartu akses di dekat pintu. Lalu pintu lift tertutup dan meninggalkan Oscar begitu saja. Ia berharap rindunya tidak sampai ke hatinya. Biarkan saja ia berlayar pada rindu ini agar semuanya baik-baik saja.
***