HAPPY READING
***
“Juliet.”
Oscar hampir tidak percaya bahwa wanita yang selama ini ia pikirakan kini ada di hadapannya. Ia sungguh tidak percaya dia adalah Juliet. Jujur ia tidak bisa melupakan masa lalu dirinya dan Juliet. Kaarena terlalu banyak kenangan yang ia rasakan antara dirinya dan Juliet. Itu masih ia rasakan sampai sekarang.
Rasa itu mulai menguat ketika ia memberi perhatian lebih kepada wanita itu. Beberapa kali Juliet menangis dalam pelukannya. Ia tahu bagaimana terpuruknya Juliet saat itu. Bahkan tidak jarang ia mengirim pesan pribadi, mengajak dia mengobrol dan bertanya tentangnya, apakah dia baik-baik saja. itu ia lakukan hampir sertiap hari.
Sekarang yang ia lihat, dia terlihat jauh lebih cantik dari yang dulu. Dia mengenakan dress biru dengan bahu terbuka. Tatapan mereka bertemu beberapa detik. Ada kerinduan yang diperlihatkan di antara keduanya.
Oscar memejamkan matanya beberapa detik, ia berusaha setenang mungkin. Ia menyungging senyum, ia tahu bahwa saat ini penggila rindu pada tatapan hangatnya. Sebab rindu yang ia rasakan mendera keseluruh hati. Ia melangkah mendekati wanita itu.
Ia tahu bahwa setiap malam ia ia terdampar diujung malam yang penuh kerinduan akan dirinya. Pilunya memang sederhana, hanya karena rindu yang menyapa dan ia mulai terlena dalam gelapnya malam, hanya memikirkannya.
Iris mata itulah selalu jadi bagian paling ia tunggu ketika bertemu. Baginya mata itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari dirinya. Ia tahu bahwa, ia berlebihan mengaguminya, ia tidak lepas memandangnya. Inginnya segera berlari dan memeluknya, lalu mengatakan ia sangat merindukannya.
Namun langkahnya tertahan, agar ia tidak membuat wanitanya terkejut dengan hadirnya yang sedang menggila. Yang ia inginkan, bisakah malam ini, mereka habiskan dengan pelukan dan berbagai cerita. Ia yakin pelukan itu membuatnya tenang, ia akan membiarkan peluk itu terus tenggelam dalam raganya.
“Hai,” ucap Oscar tenang.
Juliet menahan nafas, ia menatap Oscar dan ia berikan senyum kepada pria itu, “Hai, juga,” ucap Juliet.
Juliet masih ingat jelas bagaimana lengan kokoh itu sebagai tempatnya pulang dan melepaskan semua beban dalam hari-harinya. Bahkan mereka pernah berpelukan tanpa melakukan apa-apa. Pelukan yang sangat menenangkan. Ia sudah membatasi dirinya untuk bertahan, namun bisiskan lirihnya selalu tidak berhasil menenangkan pertaruhan dengan jarak dan waktu. Hingga saat ini, ia pun tidak bisa melupakan Oscar.
Tatapan keduanya seolah membiarkan mereka berbicara tentang sebuah arti kerinduan. Mereka ingin mengungkapkan seberapa besar genggaman harapan untuk saling merindu. Seberapa banyak rindu yang tertanam, dan seberapa kuat mendulang rindu-rindu umereka. Andai mereka bisa saling mendengar setiap alunan rindu yang dipikiran, mungkin saat ini mereka memeluk rindu dan saling mengungkapkan.
Haruskahh ia curahkan untuk siapa rindu ini? Apa ia perlu menjelaskan kepadanya tentang sebuah kerinduan? Sementara setiap menatapnya saja tumpukan rindu semakin dalam.
“Apa kabar?” Tanya Oscar.
Juliet memegang tasnya dengan erat menghilangkan rasa groginya, “Baik, kalau kamu apa kabarnya?” Tanya Juliet, karena tidak etis rasanya ia tidak balik bertanya.
“Baik juga,” ucap Oscar.
Oscar masih memperhatikan Juliet, “Kita sudah lama enggak bertemu.”
“Iya, sudah dua tahun.”
Juliet melirik Anjani di sampingnya, “Oiya, ini Anja sahabat saya. Anja ini Oscar,” ucap Juliet.
Anja tersenyum menatap pria berwajah tampan di sana, ia tidak menyangka bahwa Juliet memiliki circle setampan itu.
“Saya Anjani, panggil saja Anja,” ucap Anjani mengulurkan tangan kepada pria itu.
Oscar membalas uluran tangan Anjani. “Oscar.”
Oscar meliri beberapa sahabatnya di sana yang memandangnya, “Kalian baru datang?” Tanya Oscar.
“Iya, baru datang.”
“Mau gabung dengan kita?” Oscar menawarkan diri.
Anjani dan Juliet menatap sekumpulan beberapa pria di sana. Anjani tersenyum penuh arti lalu mengangguk.
“Boleh.”
Juliet melotot menatap Anjani, bisa-bisanya sahabatnya itu mengatakan oke begitu saja, padahal Oscar adalah pria yang paling ia hindari di Jakarta, “Maaf, kita duduk di table sebelah.”
Bibir Oscar terangkat, “Kebetulan kita bertiga kok, di sana ada sahabat saya, Taran, dan Bimo. Gabung aja, mereka asyik. Ayo, gabung, kita semua di sini juga melepas penat, pulang kerja juga macet di jalan.”
Senyum Anjani mengembang, ia menatap Juliet memohon untuk di sana bersama mereka, lagi pula jarang-jarang mereka bisa berkenalan dengan pria-pria kece.
Juliet tersenyum lalu menarik tangan Anjani, “Maaf, enggak dulu, kita ke table sebelah,” gumam Juliet, ia menarik paksa Anjani. Ia tidak habis pikir sahabatnya, berubah menjadi genit ketika berhadapan dengan pria tampan.
Anjani terseok-seok ditarik oleh Juliet, ia tersenyum kepada Oscar dan terpaksa ia duduk di table berbeda, padahal ini moment kesempatan langka ia bisa berkenalan dengan pria tampan dan berkualitas di sana.
“Ah, lo gitu deh. Ini kesempatan emas kita buat kenalan sama cowok.”
Juliet menghela nafas, “Udah, deh, jangan gatel. Circle mereka udah pada tua, liat aja di sana, udah bapak-bapak punya anak,” dengus Juliet.
“Really?”
“Enggak lihat itu mukanya, bapak-bapak. Entar di kira kita pelakor lagi, kalau duduk di dekat meraka.”
Anjani melirik ke arah table sebelah, “Ah, enggak deh. Oscar kayaknya single. Kalau yang dua itu kayaknya sih iya, mereka pakek cincin nikahan gitu.”
“Iya, cuma Oscar yang belum.”
“Lo kenal Oscar dari mana sih? Cool banget loh dia, keren banget tau,” ucap Anjani antusias, ia selalu senang jika berhubungan pria tampan .
Juliet memandang Anja, “Dia mantannya Rose.”
“Serius?” Anjani terbelalak kaget, dia tahu bahwa Rose itu adik kandunng Juliet.
“Iya, serius. Tapi katanya udah putus dua tahun lalu, yah makanya kenal-kenal gitu aja,” ujar Juliet menceritakan siapa Oscar, agar Anjani tahu, bahwa pria-pria di sana harus di hindari. Lagian ia tidak ingin terlibat lagi hubungan dengan pria yang berstatus mantan adiknya.
“Yah, sayang banget kalau gitu. Padahal cowok-cowok di sana semua kece abis.”
Tidak butuh waktu lama akhirnya pesanan mereka diantar ke table. Juliet dan Anja mengucapkan terima kasih kepada server. Hidangan cappuccino Toraja, café mocha, crispy dory sambal sereh dan pasta rendang sudah tersaji di table mereka.
“Lo masih tinggal di Setiabudi?” Tanya Anjani, membuka topik pembicaraan, ia menyesap kopi itu secara perlahan. Karena Anjani ingat kalau sahabatnya tinggal di apartemen Setiabudi.
“Enggak, udah pindah sih gue di sana.”
“Jadi apartemen lo yang di Setiabudi kosong?”
“Iya, kosong.”
“Jadi sekarang tinggal di mana?”
“Gue tinggal di District 8 SCBD,” ucap Juliet.
“Wah keren, sejak kapan pindah,” Tanya Anja, ia memandang Juliet.
“Sejak pindah ke sini, kemarin, kebetulan yang punya district 8 itu temen papa. Yaudah, gue bilang kalau ke Jakarta gue tinggal di apartemen sana. Sekalian ke tempat kerja tuh, enggak jauh-jauh banget.”
“Nanti gue main ke apartemen lo ya.”
“Iya, gampang.”
Anjani tahu bahwa District 8 merupakan gedung-gedung perkantoran premium, apartemen mewah, hotel kelas dunia dan lifestyle mall yang terletak di kawasan bergengsi SCBD Jakarta. Ia beberapa kali pernah ke sana, dan tempat kerjanyapun di sana. Banyak tempat makan dan tempat nongkrong. Ia bahkan pernah memimpikan kapan ia bisa tinggal di kawasan elit tersebut. Obrolan Anjani dan Juliet pun berlanjut ke hal-hal ringat, tentang fashion, keluarga, gossip terkini, ekonomi dan pekerjaan.
***
Sementara di sisi lain Oscar memperhatikan Juliet dari kejauhan. Ia menyesap kopinya lagi. Sejujurnya ia sangat bahagia akhirnya Juliet kembali ke Jakarta.
“Siapa?” Tanya Taran, memperhatikan Oscar, tadi ia melihhat Oscar menyapa dua wanita cantik yang baru masuk.
“Juliet dan Temannya,” ucap Oscar.
Bimo dan Taran menatap table sebelah, lalu mereka kembali memperhatikan Oscar.
“Kayaknya pernah lihat,” Taran memperhatikan.
“Dia saudaranya mantan gue Rose.”
“Owh, yang punya Trans Group. Yang dulu gosipnya cerai itu ya.”
Oscar mengangguk, “Iya, bener.”
Bimo memperhatikan Oscar, “Lo suka sama dia?”
Oscar lalu tertawa, ia lalu menepuk bahu Bimo, ia tidak menyangka bahwa insting Bimo sangat kuat.
“Sok tau banget,” ucap Oscar, ia meraih cangkirnya dan menyesap kopi itu secara perlahan.
“Enggak sok tau sih, kelihatan,” gumam Bimo menahan tawa.
Oscar kembali tertawa, “Emang kelihatan ya?”
“Come on, ngaku aja, kelihatan kok.”
“You know, what I was thinking,” ucap Oscar di selingi tawa.
Bimo lalu tertawa, “Of course I know, lo dari tadi liatin dia lama. Kalau kangen yah, ngapain di tahan. You just have to say, I miss you so much.”
“But it's not easy, man. Dia masih jaga jarak sama gue.”
“Tapi dia saudara Rose. Yah, wajar kalau dia jaga jarak sama lo.”
“I know, but I don't care. Dia alasan gue putus dari Rose.”
“Are you serious?” Tanya Taran, ia terbelalak kaget.
“Yah, seperti itulah. I have a reason why it happened.”
Bimo memandang sahabatnya, ia menepuk bahunya, “Kalau lo suka dia, kejar sampai dapat. Gue nggak mau lo nyesel nanti, kalau lo salah pilih pasangan.”
“I know.”
“Sekarang dia tinggal di mana?”
Bimo mengedikan bahu, “Gue nggak tau. Dulu sih dia tinggal di Setiabudi. Setelah gue cari tau dia nggak tinggal di situ lagi. Gue sekarang nggak tau nomor ponselnya dan di mana dia tinggal sekarang. Ini pertama kalinya gue bertemu dia lagi,” ucap Oscar.
“Sudah waktunya lo samper, minta nomor ponselnya, sebelum dia pulang.”
Oscar tersenyum, “Nanti gue samper lagi.”
Oscar memandang Bimo, “Gimana Anya?”
“Baik, sekarang lagi di rumah nyokap. Nyokap lagi kangen sama baby.”
“Enak nggak nikah?” Tanya Oscar.
Bimo tertawa, “Menurut gue, sekarang hidup gue udah perfect. Punya istri cantik, anak cantik, keluarga harmonis. Kuncinya ya, pada diri sendiri, punya toleransi yang tinggi sama istri, saling menghormati, kalau lagi marah cepet di selesaikan. Gue sebenernya kalau ada masalah sekecil apapun, harus diselesaikan hari itu juga. Enggak mau berlarut-larut.”
“Gue sama istri punya kebiasaan kalau malam itu, kita harus ngucapin terima kasih. Makasih ya, sayang buat hari ini, kamu sudah masak enak, sudah jagain anak kita. Yah, hal-hal kecil seperti itu, membuat rumah tangga selalu bahagia. Intinya istri bahagia, suasana rumah juga ikut bahagia.”
“Noted.”
Oscar kembali memandang Juliet di sana, ia memandang ekspresi naturalnya. Semakin ia melihat Juliet, rasa rindunya semakin bertambah. Dia terlihat jauh lebih tenang sekarang. Ia pastikan bahwa ia akan mengejar cintanya lagi, walau sesulit apapun itu.
***
Juliet melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 18.00, ia melihat langit yang sudah mulai menghitam. Makanan mereka juga sudah habis.
“Pulang, yuk,” ucap Juliet.
“Macet jam segini, tau kan jam pulang kerja kek gimana,” ucap Anjani, ia melihat ke arah google maps, ada beberapa titik merah di sana.
Anjani tahu betul macetnya Jakarta terjadi pada jam-jam sibuk seperti, pagi hari di jam berangkat kerja dan sore hari hingga jam tujuh malam. Bahkan ia sering memilih alternative pulang malam hari, agar menghindari macet. Jadi ia pilih menyewa apartemen di dekat kantor.
“Enggak apa-apa kok macet, pulang yuk.”
Anjani mengangguk, “Yaudah, hayuk.”
Anjani dan Juliet beranjak dari duduknya, dan meninggalkan table begitu saja. Sementara Oscar memandang Juliet, ia memperhatikan wanita itu dari kejauhan. Ia meletakan cangkirnya dan beranjak dari duduknya. Ia tidak ingin menunggu lama lagi, karena rasa rindunya tidak tertahan.
“Gue ke bawah dulu ya, ngejar Juliet,” ucap Oscar.
“Oke.”
Taran dan Bimo memandang Oscar meninggalkan table. Oscar mengejar ketertinggalan, ia bergegas menuruni tangga, sebelum Juliet hilang dari pandangannya. Ketika berada di lantai dasar, ia menatap Juliet di sana. Wanita itu hendak membuka pintu lobby.
“Juliet!”
Juliet otomatis menoleh ke belakang, ia menatap Oscar di sana. Padahal ia tadi sudah buru-buru pulang karena ingin menghindari Osscar. Namun justru pria itu mengejarnya lagi.
“Iya,” ucap Juliet.
Oscar melangkah mendekati Juliet, ia menyungging senyum kepada wanita itu, “Boleh minta nomor ponsel kamu.”
Alis Juliet terangkat, “Buat apa?”
Oscar lalu tertawa, “Buat menghubungi kamu.”
Oscar memandang Juliet, wanita itu sepertinya tidak rela memberikan nomor ponselnya.
“Saya lupa nomor ponsel saya sendiri. Ponsel saya juga ketinggalan di rumah,” oke itu mungkin alasan yang tidak masuk akal. Menurutnya manusia sekarang satu jam tidak memegang ponsel itu sangat mustahil.
Alis Oscar terangkat, “Owh ya?”
“Iya, serius. Next time aja ya.”
Oscar melirik Anjani, tangan wanita itu memegang ponsel, ia tahu bahwa itu hanya alasan Juliet saja, tidak ingin membagikan nomor ponsel kepadanya.
“Kamu pasti ada kan, nomor ponsel Juliet,” ucap Oscar kepada Anjani.
Anjani melirik ponsel di tangannya, ia menelan ludah melirik Juliet. Anjani dan Juliet saling berpandangan satu sama lain. Tatapan Juliet mengatakan kepada Anjani agar tidak memberikan nomor ponselnya. Saat ini Anjani tidak bisa mengelak, karena posisi iphone itu di tangan.
“Ada,” ucap Anjani pelan.
Oscar tersenyum penuh arti, “Barapa nomor ponselnya?” Tanya Oscar, ia merogoh ponsel di saku celananya.
Anjani menatap ke arah layar perseginya, ia lalu menyebutkan nomor ponsel, dan Oscar mencatat di ponselnya.
“Bener ini nomor ponsel Juliet,” tanya Oscar memastikan.
Anjani mengangguk, “Iya, bener kok.”
“Thanks ya,” ucap Oscar.
Oscar memandang Juliet, mereka kini saling berpandangan satu sama lain, “Nanti saya hubungi kamu.”
Hati Juliet berdesir ketika Oscar mengatakan itu kepadanya. Ia hanya bisa menatap Oscar pergi meninggalkannya mereka, setelah pria itu berhasil mendapatkan nomor ponselnya.
Juliet dan Anjani keluar dari pintu lobby, ia mendengar suara getaran dari ponselnya. Juliet merogoh ponselnya, memandang ke layar persegi.
0812xxx : “Hati-hati pulangnya.”
Juliet tahu siapa pemilik nomor ponsel itu, walau sang pemilik nomor tidak mengatakan siapa dia. Ia tahu bahwa dia adalah Oscar. Ternyata dia sama sekali tidak berubah. Ia memasukan ponsel ke dalam tas. Mereka melangkah menuju plataran mobil.
“Si Oscar?” Tanya Anjani.
“Iya.”
“Kayaknya dia suka sama lo deh,” ucap Anjani mencoba menyelidiki, ia duduk di kursi, tidak lupa memasang sabuk pengaman.
“Tapi aneh ya, mantan Rose, kok suka sama lo? Apa lo sama dia dulu pernah deket?” Tanya Anjani lagi.
“Panjang deh ceritanya, nanti gue ceritain siapa Oscar.”
“Cerita sekarang dong, penasaran banget soalnya.”
Juliet memanuver mobilnya dan meninggalkan area gerai Aroma. Ia melirik Anjani, ia mulai berpikir, apakah ia harus menceritakan ini kepada Anjani, karena ini merupakan masa lalu.
“Gue juga bingung sih, ceritain lo dari mana.”
“Intinya aja, biar gue paham. Siapa tau gue ada solusi buat lo.”
Juliet fokus dengan kemudi setir, ia melirik Anjani yang masih mengharapkan ia bercerita. Ia memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya.
Juliet menarik nafas, “Begini, dulu dua tahun lalu. Rose kenalin gue sama Oscar. Waktu itu gue ada di titik terendah, gue lagi down, karena perceraian gue. Oscar yang nguatin gue untuk tetap tegar, dia juga nggak segan-segan ngantar gue ke psikolog, alih-alih dia iba sama gue, untuk jaga kewarasan gue, agar emosi gue stabil.”
“Gue sebenernya nggak mau deket dia, karena dulu gue lagi quarter life crisis. Yang awalnya gue jaga jarak sama semua orang, termasuk semua cowok, gue lebih seneng sendiri sih dulu, karena gue anggap gue nggak sempurna, gue nggak bisa ini itu, gue nggak bisa apa-apa, kepercayaan diri gue nggak stabil.”
“Dia datang, beri semangat gue setiap saat, seolah ngerti siapa gue, apa yang gue mau, ngasih solusi apa yang harus gue lakuin, akhirnya nyaman, gue cerita apapun masalah gue sama dia. Banyak yang gue lewatin sama dia, bahkan hal-hal kecil sekalipun dia tau.”
“Lama kelamaan pasti ada rasa, dan dia tetap nggak ninggalin gue. Gue sadar, apa yang gue lakuin itu salah, Oscar itu pacarnya Rose. Gue bilang dari awal sama Oscar, jangan deketin dia, karena ini demi Rose. Namun Oscar nggak peduli. Gue berdebat dengan pikiran gue, gue nggak bisa lama-lama di Jakarta, tindakan gue itu salah. Gue habis cere, status gue janda. Gue nggak mau hubungan Oscar dan Rose retak karena gue.”
“Gue akhirnya mutusin move Bali, alasan gue cuma dua menghindari Oscar dan nenangin pikiran gue.”
“Enggak lama gue di Bali, nyokap nelfon. Katanya Rose dan Oscar breakup.”
“Insting gue kuat, mereka putus karena gue. Gue sampe sekarang merasa bersalah.”
“Emangnya status lo sama Oscar dulu udah pacaran?” Tanya Anjani.
“Enggak kita nggak pernah pacaran. Gue udah ngasih tau Oscar jangan pernah deketin dia lagi demi Rose.”
“Gue pikir dua tahun di Bali, dia bakalan berubah. Lupa sama gue, punya istri atau punya tunangan minimal. Tapi liat kan, baru sehari gue nginjakin kaki gue di Jakarta, gue udah ketemu dia lagi. Bahkan sekarang dia tahu nomor hp gue.”
Anjani memandang Juliet, ia tahu permasalahan Juliet seperti apa, “Lo enggak salah si Jul. Lo enggak salah kok. Lo jangan pernah bersalah, lo jangan menganggap kalau lo orang ketiga dalam hubungan Oscar dan Rose.”
“Hanya karena Oscar dulu pernah deket dangn Rose. Lalu mereka putus, dan lo nganggap mereka breakup karena lo. Mereka putus karena sejak awal mungkin, hubungan mereka ada yang salah, makanya putus.”
“Lagian, kalau ngomongin cinta. Cinta itu nggak bisa dipaksain, hati itu tau di mana pemiliknya.”
“Masalah lo sama Oscar itu, itu masalah hati sih. Oscar tahu dia udah dewasa juga, dia punya alasan kenapa dia masih stay sama lo.”
“Stay?”
“Gue liat dia, natap lo penuh cinta. Kalau lo, masih mempermasalahkkan Rose. Yah, itu keputusan lo lagi, Rose adik lo, lo jaga perasaan Rose. Oscar juga harusnya punya malu, udah macarin adiknya sekarang ngejar lo. Sakit sih tuh orang.”
“Setuju sama lo, dia emang sakit.”
“Rada-rada psikopat nggak sih.”
Juliet lalu tertawa, “Psikopat sih nggak, Oscar nggak kayak gitu kok. Gue tau dia kayak apa, dia orang paling dewasa, paling tenang, paling cerdas, yang pernah gue lihat.”
“Lo suka sama dia?”
“Ya nggak lah.”
“Yakin.”
“Itu tadi lo ngomong seolah-olah paling tau dia. Berarti hubungan lo sama dia, sedekat itu.”
“Yah, emang deket dulu.”
“Deketnya gue hanya sebatas ngobrol, curhat, jujur gue nggak pernah tidur ataupun mengarah hubungan s****l sama dia. Intinya hanya dekat, udah gitu aja.”
“Kalau dia mau deketin, lo lagi gimana?”
“Gue tetep jaga jarak lah.”
“Ok. Itu lebih baik.”
***