Setelah meninggalkan restoran tempat dimana ia sudah dijebak untuk bertemu dengan Syena dan tentunya setelah memastikan gadis menyebalkan itu pulang dengan aman, kini Bara melajukan mobilnya menuju jalan pulang dengan wajah lesu. Ia sudah sempat untuk coba menghubungi Alina lagi, tapi tak ada jawaban yang ia dapatkan.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku lakukan sekarang," gumam Bara pelan dan kini perhatiannya tercuri pada dering ponselnya.
Lelaki itu hanya diam melihat nama Alina tertera di layar ponselnya. Harusnya sekarang ia langsung mengangkat panggilan itu karena sejak siang ia selalu berusaha menghubungi gadis tersebut, tapi entah kenapa sekarang rasanya begitu malas. Bahkan kini dering ponselnya berhenti dan kembali berbunyi dari panggilan yang Alina buat.
"Halo," akhirnya Bara menerima panggilan tersebut dengan suara lesu.
"Mas Bara, aku minta maaf banget."
"Apa kamu baik-baik saja?"
"Aku nggak angkat panggilan mas sejak tadi. Aku seharian ini tidak begitu melihat ponsel. Aku baru saja sampai di rumah." Alina memberi tahu.
Bara tersenyum kecil, "syukurlah kalau memang baik-baik saja. Kenapa baru pulang?"
"Ada hal yang harus aku kerjakan mas."
"Kerjaan?"
Pertanyaan pendek Bara membuat Alina menjawab dengan sedikit berdehem, "eum, iya. Eh sekarang mas lagi dimana?"
"Benarkah?" spontan saja pertanyaan itu keluar dari bibir Bara yang masih saja menatap jalanan yang ia lewati dengan lesu. Ia tidak yakin dengan jawaban yang Alina berikan padanya.
"Mas aku tahu kamu kesal karena tak mengabarimu apa-apa hari ini. Aku tahu aku salah, aku minta maaf," Alina terdengar merasa bersalah pada Bara.
Bara hanya diam sambil menghela napas panjang, ia tidak tahu kenapa ia merasa sangat tidak nyaman sekarang. Entah memang karena hari ini ia kesulitan menghubungi Alina, entah karena hal lain.
"Dimana mas sekarang? Udah sampai rumah? Mas jadi pergi ke luar negeri besok? Udah selesai siap-siapnya?" Alina kembali berbicara karena tak ada suara apapun dari Bara.
"Mas kira kamu lupa."
"Mas, kamu marah ya??"
"Kamu pikir kenapa mas harus marah padamu?"
Untuk sejenak Alina dan Bara sama-sama hening yang membuat suasana terasa dingin walaupun mereka hanya bicara lewat telfon.
"Karena aku cuek?" Alina bertanya dengan nada ragu dan pelan.
Bara menghembuskan napas kasar, "mas udah bilang kalau perjalanan bisnis ke luar negeri seperti ini adalah hal yang tidak mas senangi. Apa salah kalau mas berharap setidaknya hari ini kita bertemu untuk sekedar berbincang-bincang atau semacamnya?"
"Mas Bara..."
Bara yang kesal segera tersadar dan memijat pelipisnya, "maaf, mas sedang dalam perjalanan pulang dan merasa lelah."
"Mas masih di jalan?" Alina terdengar kaget.
"Maaf, mas bicara asal karena lelah. Lebih baik matikan saja panggilannya."
"Tapi mas..."
"Saat sudah sampai nanti akan mas kabari lagi." dan tanpa mendengar jawaban dari Alina, Bara langsung mematikan panggilan tersebut dan menghembuskan napas panjang.
Bara menatap jalanan yang ia lewati dengan tatapan yang lagi-lagi kosong, ia merasa bingung dengan dirinya sendiri. Ia ingin memaki dirinya yang terus saja bertingkah bodoh.
Terus mengharapkan Alina hanya memperdulikannya seperti ia yang hanya memperdulikan gadis itu memang hal sia-sia yang tak bisa ia hentikan.
***
Setelah melewati malam penuh pemikiran yang tak bisa membuatnya tidur, kini Alina sudah berada di depan rumah Bara. Atas sikapnya semalam dan bagaimana Bara terdengar marah membuat gadis itu menarik napas dalam sebelum berjalan menuju pintu rumah Bara, namun detik itu juga pintu terbuka menunjukkan Bara yang keluar sambil membawa koper.
"Alina? Apa yang kamu lakukan disini?"
"Biar aku yang antar mas ke bandara ya?"
Bara mengerutkan dahinya, "kamu tidak kerja?"
Alina menggeleng, "untuk kemarin aku merasa bersalah. Aku ingin minta maaf dan bertemu sama mas sebelum mas pergi."
Bara diam sejenak sambil mengalihkan pandangan matanya dari Alina, ia seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu.
"Apa mas marah padaku? Semalam mas terdengar kesal dan..."
"Baiklah, temani mas ke bandara." Bara segera memberikan jawaban sambil menarik kopernya menuju mobil Alina.
Melihat itu Alina tersenyum senang dan coba membantu Bara memasukkan kopernya ke dalam mobil.
"Mana kunci?" tanya Bara dan dengan cepat Alina memberikan kunci mobil yang ia pegang pada Bara.
Kini Alina melirik Bara yang tengah mengendarai mobil menuju bandara, diam-diam Alina menenggak ludahnya susah payah karena menyadari ada yang berbeda dari Bara. Sejak tadi pria itu hanya diam tak banyak bicara dan wajahnya juga datar, padahal biasanya diantara mereka Bara lah yang sering memulai pembicaraan.
"Mau berapa hari rencananya disana mas?" Alina coba mencairkan suasana yang sejak tadi terasa sangat dingin.
"Kalau lancar satu minggu."
Alina mengangguk dan tak tahu harus bicara apa lagi, Bara hanya menjawab seadanya yang membuat Alina semakin bingung. Dan berakhirlah mereka dengan suasana yang saling dian lagi.
"Mas, mas marah ya?" Alina memberanikan diri bertanya terus terang.
"Tidak."
"Tapi dari gaya mas kelihatan kalau mas sedang tak senang padaku. Mas bicara sedikit sekali padaku, tidak seperti biasanya."
"Bukankah itu lebih baik?"
"Kenapa lebih baik? Ini terasa aneh sekali dan aku takut mas." jujur saja Alina memberi tahu kalau aura Bara saat ini memang sangat mengerikan.
"Bukankah mas hanya membicarakan hal yang membuatmu tidak nyaman dan malas?" Bara bersikukuh dengan nada datarnya tanpa melihat Alina sedikitpun.
"Diamnya mas yang bikin aku takut dan sangat terganggu."
"Kapan kita bicara pada orang tua kita tentang keseriusan kita?" Bara langsung to the point menatap Alina yang kini sudah mematung karena kaget.
"Aa..aap, apa?" Alina tergagap.
Bara tertawa miring sambil kembali menatap jalanan, "lihat? Bukankah lebih baik mas diam?"
"Mas marah karena itu?"
"Udahlah Lin, percuma kita membahas ini. Lagian mas ga tahu apa yang membuat mas merasa sangat tak nyaman sekarang."
Alina menatap Bara dengan kebingungan yang luar biasa, terlebih saat menyadari raut wajah Bara yang memang tampak tak baik.
"Kamu tahu? Beberapa waktu belakangan ini mas udah mikir untuk menyerah saja, tapi itu tak bisa dilakukan sampai detik ini. Bahkan saat mas merasa sangat membencimu, mas tidak ingin melepaskanmu."
Ucapan Bara membuat Alina kaku, "seperti sekarang?"
Bara mengangguk tanpa berpikir terlebih dahulu, "makin kesini mas sadar kalau ini tidak berguna."
"Ingin berpisah sekarang?"
Bara yang sejak tadi terus menatap kedepan kini menoleh menatap Alina tajam yang membuat bulu kuduk Alina berdiri, "berpisah di momen seperti ini? Kamu ingin menghancurkan konsentrasi mas yang akan pergi ke luar negeri untuk bekerja sendirian? Kamu benar-benar tidak menggunakan perasaanmu."
"Tapi..."
"Apa selama ini kamu tidak pernah memikirkan berada di posisi mas? Bahkan disaat seperti ini kamu tidak meminta maaf dan mencari cara agar mood mas membaik? Kamu memang keterlaluan Alina."
Walaupun nada bicara Bara tidak menunjukkan kemarahan yang menggebu-gebu, namun nada datar pria itu berhasil membuat Alina tersudut dan tak bisa berkata apa-apa lagi.
Bara menghentikan mobil karena mereka sudah sampai di bandara, tanpa berkata apapun ia keluar dan bergerak untuk mengambil kopernya dan pergi begitu saja.
"Mas Bara!!" Alina tentunya coba mengejar karena tidak mungkin mereka berpisah seperti ini.
"Mas, mas tunggu!" Alina kini berdiri tepat di depan Bara dan menahan Bara untuk tidak bergerak.
"Aku tahu aku salah dan egois. Aku juga udah bikin mas bingung dan selalu mencoba lari dari keputusan yang pasti, aku tahu kalau aku memang seburuk itu."
Bara tetap diam sambil menoleh ke arah lain, tak peduli dengan Alina yang bicara tepat di depannya. Sedangkan Alina sudah kebingungan harus melakukan dan bicara apa demi kebaikan dirinya dan Bara untuk sekarang.
"Minggirlah, mas harus segera check in. Mas tak ingin terburu-buru." Bara melepaskan tangan Alina yang menahannya lalu melewati Alina begitu saja.
Alina menghela napas panjang dan berbalik untuk menatap Bara yang benar-benar pergi begitu saja meninggalkannya.
*
Bara bersandar di kursi bandara dengan lesu, ia sudah tahu kalau penerbangannya sedikit terlambat namun ia tetap berlagak terburu-buru berpisah dengan Alina, alasannya adalah karena ia tak ingin terus bicara dengan wanita itu. Bara sadar kalau bicara dengan Alina hanya akan membuatnya terus kebingungan dan mengucapkan hal-hal tak berguna. Mungkin berpisah seperti ini merupakan momen yang tepat untuk saat sekarang.
Bara merogoh ponsel yang ada di sakunya yang terus bergetar untuk ia periksa. Mata sipit Bara semakin menyipit saat melihat beberapa pesan dari nomor tak dikenal kini masuk ke ponselnya.
"Siapa ini?" tanya Bara dengan suara pelan melihat pesan dipenuhi pertanyaan kapan ia akan naik pesawat.
Mata Bara pun membesar karena layar ponselnya berubah menunjukkan sebuah panggilan masuk dari nomor yang sama dengan pengirim pesan sebelumnya, dengan ragu Bara mengangkat panggilan tersebut dan meletakkan ponsel di telinga kirinya, "halo?"
"Bara!? Kamu dimana? Jam berapa penerbanganmu? Apa kamu jadi pergi hari ini?"
"Hah?" Bara terperangah dan coba menebak suara siapa yang rasanya tak begitu asing ini.
"Hari ini kamu akan ke Singapore kan?"
Bara pun tersadar dan langsung menghela napas malas, "dari mana kamu mendapatkan nomor telponku?"
"Selaku calon isterimu, tentu aku memilikinya."
Jawaban sangat percaya diri Syena membuat Bara tanpa ragu mematikan panggilan tersebut, ia sedang malas meladeni wanita yang menurutnya tidak waras itu.
Namun tentu saja Syena kembali membuat panggilan yang tentu saja juga ditolak oleh Bara, dan itu mereka lakukan berulang-ulang kali seolah tak ada yang mau mengalah diantara mereka.
Bara tertawa puas merasa menang saat mendapati kini Syena tak lagi membuat panggilan padanya, "tidak sia-sia aku harus menghabiskan energi menolak panggilannya berulang kali."
Namun saat merasa lega dan menyimpan ponselnya lagi ke dalam saku, Bara dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba duduk disampingnya sembari memukul lengannya dengan keras.
"Dasar pria tak berperasaan!"
Mulut Bara menganga kaget dengan mata melotot menatap wanita yang tak disangka-sangka sudah ada dihadapannya ini, "apa yang kamu lakukan disini!?"