Syena membuka pintu apartemennya setelah menghabiskan harinya di luar untuk mengurus pekerjaan dan juga bermain dengan teman-temannya seperti biasa. Gadis yang menggunakan jeans putih dan atasan hitam itu merebahkan tubuhnya di atas sofa sambil menghidupkan televisi untuk sekedar mengusir kesunyian di dalam apartemennya ini.
Mata bulat gadis itu memperhatikan layar televisi dengan tatapan tak bersemangat, beginilah hari-hari Syena yang saat berada di luar terlihat tertawa kian kemari, namun saat sudah sendirian seperti ini ia merasakan kehampaan. Tapi ini terasa jauh lebih baik ketimbang tinggal di rumah bersama orang tuanya.
Kaki wanita itu kini bermain-main di udara sambil berdendang kecil menatap layar ponselnya, tiba-tiba saja ia teringat sesuatu yang membuatnya segera ingin menelpon seseorang.
"Halo pa?" Syena masih dalam posisi rebahan menelpon sang papa.
"Iya Syena, ada apa?"
"Papa sedang sibuk?"
"Ah tidak, papa sedang dalam perjalanan pulang dari kantor. Kenapa?"
Syena menggigit ibu jarinya, "apa papa sudah bicara dengan orang tua Bara?"
"Maksudmu tentang perjodohan?"
"Iya, bukankah ini sudah lebih seminggu dari pembicaraan kita malam itu? Papa tak memberiku kabar apapun."
"Papa sudah langsung bicara dengan Pak Prima, tapi sepertinya kamu perlu bersabar."
"Bersabar?? Maksudnya?? Papanya Bara tak menerimaku?" Syena langsung duduk tak percaya dengan dugaannya sendiri.
"Tidak tidak, tidak seperti itu."
"Terus?"
"Ada banyak yang mau menjodohkan anaknya dengan Bara, jadi kamu perlu mengambil nomor antrian untuk bisa bertemu dengan Bara, itu pun kalau Bara masih belum menemukan wanita yang cocok dengannya."
"Apa!?" Syena ternganga kaget atas apa yang papa katakan padanya.
"Kamu bisa mundur saja kalau nggak sabar. Lagipula kalau kamu memang ingin sebuah perjodohan, papa akan coba carikan pria lain."
Syena masih diam dengan dahi mengerut masih belum bisa percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Syena? Bagaimana?" tanya papa lagi karena gadis itu tak kunjung memberikan jawaban.
"Eum, itu pa. Nggak usah dulu deh."
"Maksudnya??"
"Papa udah ambil nomor antrian aku untuk ketemu Bara kan?"
"Udah sih, nanti papanya Bara akan kabari lagi."
Syena menarik ujung bibirnya sambil mengangguk, "yaudah deh pa. Telfonnya ku matiin ya pa."
"Iya, kamu baik-baik saja kan? Sudah pulang?"
Syena mengangguk, "udah kok pa, titip salam untuk mami."
"Oke."
Syena mematikan panggilan tersebut dengan wajah yang masih heran, "apa memang sebegitu idealnya Bara sampai untuk ketemu aja aku butuh sabar ngantri? Padahal aku sedang gabut dan pengen main jodoh-jodohan."
Syena memperbaiki posisi duduknya, "ah aku tidak begitu ingat lagi bagaimana wajah pria itu, aku hanya ingat sifatnya yang sok baik. Bagaimana bentuknya sekarang ya?"
Jari Syena kini mulai sibuk di atas layar ponsel pintarnya membuka sosial media coba mencari akun milik Bara agar ia bisa tahu seperti apa sosok teman kuliahnya dulu itu.
"Adibara Narendra, apa ini benar-benar dia?" Syena menemukan sebuah akun dan coba mengetuk akun tersebut untuk bisa memastikan apa ini benar-benar akun media sosial milik Bara.
Mata Syena memperhatikan satu persatu foto di akun tersebut dengan tatapan tajam, mulutnya menganga membentuk o menyadari ini sepertinya benar-benar adalah Bara yang tengah ia cari.
"Apa ini benar-benar Bara? Dia tampan sekali. Kenapa aku tidak menyadarinya dulu saat kuliah? Hm, mungkin dia baru saja glow up. Wah, pantas saja..."
Jari Syena tampak terus bergerak mengetuk satu per satu foto di media sosial Bara dengan mulutnya yang tanpa sadar sering mengeluarkan kata 'woah' setiap menyadari betapa kerennya sosok Bara.
"Eh? Siapa ini?" Syena merasa janggal karena di beberapa momen ia sering menemukan sesosok wanita ada bersama Bara.
Jiwa stalker Syena langsung keluar dan dengan sangat bersemangat mencari tahu siapa wanita itu. Bahkan tanpa disadari Syena menghabiskan waktu yang cukup lama hanya untuk sekedar mencari tahu siapa wanita itu dan apa hubungannya dengan Bara.
Akhirnya Syena menyandarkan tubuhnya di punggung sofa sambil menarik napas dalam, ia kini mencoba menyusun semua petunjuk dan informasi yang ia dapat dari sekian lama mencari tahu melalui berbagai cara lewat ponsel dan akun fake nya yang khusus untuk misi mencari informasi secara tersembunyi.
"Alina? Sepertinya mereka sangat dekat, bukan selaku saudara atau sejenisnya, melainkan seperti pasangan. Tapi kalau mereka memang pasangan, kenapa orang tua Bara sibuk untuk menjodohkan Bara??" Syena mengetuk-ngetuk pelan dahinya dengan telunjuknya coba berpikir.
"Apa itu hubungan yang tak direstui? Tapi kenapa bisa tak direstui? Alina sepertinya anak yang baik dan keluarga mereka tampak dekat."
Syena terus menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan saat ia tidak bisa menemukan jawaban jelas atas teka-teki hubungan Bara dan Alina.
Mendadak saja gadis itu menepuk pahanya dengan keras, "aku tidak akan bisa menemukan jawaban jelas jika hanya duduk disini. Lebih baik aku langsung menemui Bara sekaligus melihat apakah dia benar-benar sekeren di media sosialnya. Ini adalah hal yang menarik."
Gadis itu tertawa senang membayangkan dia akan melakukan hal yang menarik.
***
Seperti rencana yang telah Syena pikirkan sebelumnya, kini gadis yang memakai blouse merah maroon itu telah berada di sebuah kafe disekitaran kantor Bara. Hanya dalam beberapa waktu Syena sudah berhasil mengumpulkan cukup banyak info tentang Bara, termasuk dimana tempat makan siang yang biasa Bara datangi.
Gadis itu memainkan sedotan jus apel miliknya sambil melihat ke sekitar mencari sosok Bara, "harusnya Bara ada disini, aku kan dapatin info dari orang yang udah kerja lama di kantor Bara. Hidupku sangat sial jika mendadak siang ini dia malah pergi ke tempat lain."
Wajah Syena kini sudah mulai memperlihatkan rasa bosan karena apa yang ia cari tak kunjung ia dapatkan. Bahkan ia rela-rela datang jauh-jauh hanya untuk melihat Bara.
Hampir di titik Syena hendak menyerah, tiba-tiba saja Syena terkejut melihat sesosok pria yang kini baru masuk sendirian ke dalam kafe langsung menuju arah kasir sekaligus tempat memesan.
Tanpa pikir panjang Syena langsung berdiri dan menghampiri Bara karena ia rasa sudah cukup lama untuk menunggu dan terlalu sia-sia jika harus mencari cara halus untuk bertemu dengan lelaki itu.
"Hei!" Syena langsung menyapa santai.
Bara yang tadinya sibuk memperhatikan menu sambil menunggu pesanannya melirik wanita yang kini berdiri di sebelahnya itu dengan wajah bingung. Siapa wanita asing yang tiba-tiba saja menyapanya ini?
"Kamu tidak mengenalku?" tanya Syena lagi karena Bara tak kunjung memberi respon.
Bara melihat ke sekitar untuk memastikan bahwa dirinya lah yang tengah di ajak berbincang oleh wanita ini, "saya??" Bara menunjuk dirinya ragu.
Syena tertawa melihat wajah bingung Bara, "Syena, kamu tidak mengingatku? Bahkan dulu kamu yang meleraiku bertengkar dengan bule menyebalkan saat di kampus."
Untuk beberapa detik Bara terdiam hingga akhirnya menunjukkan ekspresi kalau kini ia sudah mengingat semuanya, "owh..., ternyata si gadis keras kepala..."
Syena langsung menunjukkan wajah tak senang mendengar apa ingatan pertama Bara tentang dirinya, "gadis keras kepala!?"
"Tampaknya itu benar-benar kamu, bagaimana bisa kita bertemu lagi?"
"Kamu tampaknya tidak senang bertemu denganku." Syena menebak dari cara Bara menatapnya.
"Biasa saja. Aku hanya tidak ingin melihat ada keributan. Bukankah dimana ada Syena disana ada keributan?"
Ingin sekali kini tangan Syena memukul Bara kalau saja ia tidak ingin membangun citra yang lebih baik setelah sekian lama tak berjumpa dengan Bara.
"Permisi pak, ini pesanannya." disaat itu pesanan Bara berupa sebuah minuman telah selesai.
Bara mengangguk mengambil minumannya sambil memberikan kartu kreditnya untuk membayar, namun kartunya malah diambil oleh Syena yang membuat Bara kaget.
"Saya bayar meja delapan sekalian minuman bapak ini ya mbak," Syena memberikan kartu kredit miliknya dan menahan kartu milik Bara.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Bara mengerutkan dahi.
Syena hanya tersenyum miring dan mengambil kembali kartu miliknya setelah menyelesaikan p********n.
"Kamu bekerja di sekitaran sini?" tanya Syena pada Bara yang kini berjalan beriringan dengannya keluar dari kafe tersebut.
Bara mengeluarkan dompet miliknya, "mana kartuku, aku akan mengganti uangmu yang terpakai tadi untuk minumanku."
Syena menghentikan langkahnya menatap Bara, "apa kamu tidak mengenal basa-basi orang yang telah sekian lama tak bertemu? Itu tanda ucapan lama tak bertemuku padamu."
Bara menghembuskan napas pendek, "baiklah kalau begitu terima kasih dan tolong kembalikan kartu kreditku."
"Aku sebelumnya bertanya apa kantormu berada di sekitar sini?"
"Ya, kantorku memang berada di sekitar sini. Memangnya ada apa?"
"Kalau begitu biarkan aku ikut bersamamu ke kantor."
Mata Bara menatap heran wanita di depannya itu, "untuk apa?"
"Ya karena aku temanmu. Apa itu salah?"
"Sejak kapan kita berteman?"
"Hei! Kamu tidak ramah sama sekali padaku! Aku mengenalmu dan kamu juga mengenalku, itu artinya kita teman!"
Bara memutar bola matanya malas dan memajukan tangannya lagi ke hadapan Syena, "kembalikan kartu kreditku."
"Biarkan aku ikut ke kantormu atau aku tak akan berikan ini padamu." Syena menunjukkan kartu milik Bara yang ada di tangannya.
"Jangan bermain-main, aku harus kembali ke kantor secepatnya. Kamu tidak lihat bahkan aku hanya bisa membeli sebuah minuman di saat makan siang?" Bara sudah sangat tak ingin bertele-tele lagi meladeni Syena.
"Kalau begitu biarkan aku ikut ke kantormu. Aku juga akan belikan makan siang untukmu."
"Ada apa denganmu? Kamu ingin mencari masalah denganku saat kita baru saja bertemu setelah sekian lama? Bahkan kita tidak pernah dekat sebelumnya." Bara tidak habis pikir dengan manusia jenis apa saat ini ia berhadapan.
"Kalau begitu sekarang ayo menjadi dekat."
"Aku sudah bilang aku terburu-buru."
"Bawa aku atau kartu ini tidak akan selamat."
Bara tampaknya mulai malas dan langsung bergerak hendak mengambil kartu itu dari tangan Syena, namun gadis itu jauh lebih gesit dari apa yang ia kira.
"Kalau begitu setidaknya berikan aku nomor telponmu agar aku bisa menanyakan kapan aku bisa menghampirimu ke kantor." Syena memberikan penawaran lain yang membuat Bara makin kesal.
"Cepat berikan!"
"Benar-benar tak bisa diajak kompromi!"
Mata Bara membelalak saat mendapati kini kartu kredit miliknya sudah terbagi menjadi dua bagian di tangan Syena. Gadis itu mematahkannya tanpa berpikir sedikitpun, "Syena!!"
Syena tersenyum santai memperlihatkan kartu kredit Bara yang sudah ia hancurkan, "aku sudah memperingatkanmu dari awal."
"Apa yang kamu inginkan hah!?" Bara tampaknya emosi sekali melihat tingkah Syena yang sangat menyulut emosi.
Syena hanya tersenyum memasukkan kartu kredit itu ke saku jas Bara, "sampai jumpa nanti."
Bara sudah menggeram kesal menatap Syena yang pergi begitu saja tanpa memperlihatkan rasa bersalah sama sekali, "wanita itu semakin menggila. Bahkan dia menggangguku tanpa alasan!"
Di sisi lain Syena sudah ada dalam mobilnya memperhatikan Bara yang kini berjalan menuju kantornya yang memang tidak jauh dengan wajah kesal sambil sesekali melihat kartu kreditnya yang tentu sudah tak bisa dipakai lagi. Gadis itu tertawa puas berhasil membuat kesal Bara, "Bara..., kurasa tidak ada yang berubah darinya. Mungkin aku saja yang dulu tidak melihat ketampanannya, ternyata dia benar-benar setampan itu."
Syena masih diam memperhatikan gedung tinggi milik perusahaan Bara sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di setir mobil yang ia pegang.
"Kenapa aku harus ambil nomor antrian untuk bertemu dengannya? Jika menunggu terlalu lama aku pasti sudah bosan duluan. Baiklah kita pakai cara lain. Wajah kesalnya membuatku bersemangat, sampai jumpa secepatnya Adibara!!"