Part 2 Mencintainya

1202 Kata
"Kamu kenapa harus bohong sama aku? Seenggaknya aku harus tau." "Maafin aku Bia, aku hanya main truth or dare dengan temanku, aku menjaga hati kamu, kalau kamu tahu pasti kamu mikirnya aneh-aneh." "Tapi aku sudah tau dari temanku Satria, dan aku udah mikirnya yang aneh. Kamu seharusnya nggak sembunyikan ini dari aku, kamu takut aku tahu kan, kenapa?” "Huh. Nggak gitu Bia. Oke, aku minta maaf, aku salah. Sekarang mau kamu apa?" "Aku? kamu, yang harus kamu tanya itu diri kamu sendiri maunya apa." "Aku mau kita baik-baik saja.” "Kalau kamu mau itu. Kenapa harus ada perempuan lain.” "Bia, kamu percaya sama aku, aku nggak ada hubungan apa-apa sama Lara itu. Aku janji aku akan segera mengakhirinya." "Berjanjilah Satria." "Iya." "Hum yaudah. Aku dipanggil sama Mamak, nanti chat aku kalau kamu nggak sibuk." "Iya. Aku mau tidur dulu ya, nanti malam aku hubungi kamu.” "Iya Satria." "Aku mencintaimu." "Aku juga mencintaimu." Bia meletakkan handphonenya di atas meja, ia berjalan menuju arah dapur untuk menemui Rosita, ibunya yang biasa ia panggil Mamak. Bia tersenyum ketika melihat Rosita yang sedang menggoreng ikan. Dengan pelan Bia mengambil spatula dan mengambil alih ikannya. Bia terkekeh saat Mamak nya yang terkejut karena melihatnya. "Kamu itu loh Bia, bikin kaget Mamak aja.” ucap Rosita sembari mengelus dadanya. Bia tersenyum lebar dan meminta maaf pada Mamak nya itu. "Mak?” "Iya..” "Bia mau ngomong.” "Ada apa, ngomong aja, biasanya langsung ngomong ini tumben pakai izin segala.” kekeh Rosita, Bia cemberut dan mendekati Rosita setelah ia selesai mengangkat ikan dan mematikan kompor. "Mak, menurut Mamak kalau Bia lanjutin kuliah tapi keluar kota gimana Mak?” "Memang kamu mau kuliah dimana?” "Di Jawa Tengah. Bia juga mau nemuin Satria disana, Bia udah lama pacaran tapi nggak pernah ketemu sama sekali.” ucap Bia seraya menundukkan kepalanya. "Memang kamu yakin Satria itu nerima kamu kalau kamu kesana, bisa dia menjamin kamu kembali ke sini dengan baik-baik aja, bisa dia menjamin kesetiaan dia dan menjaga kamu disana.” Rosita menghembuskan napasnya, ia lalu mendekati anak sulungnya itu. "Pikirkan lagi nak. Siapa yang menjaga adik-adik kamu kalau kamu kesana, yang bantuin mamak siapa. Kalau Satria serius sama kamu, seharusnya dia yang berjuang keras ke sini dan menemui kamu, bukan kamu yang menemui dia.” "Bia cinta Mak sama Satria, Bia takut kehilangan Satria.” ”Iya mamak paham nak. Tapi pikirkan lagi, apalagi kamu itu perempuan, Mamak tidak bisa izinkan kalau kamu sendirian kesana. Terpenting kamu sholat tahajud dulu nanti malam dan juga istikharah, berdoa sama sang maha kuasa, minta petunjuk-Nya, apakah benar-benar pilihan kamu ini yang terbaik, bukan Mamak meragukan Satria, tapi kalian sangat terpaut jarak yang jauh, dan juga kamu nggak pernah kan ngobrol sama keluarga dia selama lima tahun kalian pacaran.” Bia mengigit bibirnya, kata-kata Rosita benar adanya, bahkan setiap Bia meminta untuk berbicara dengan orangtuanya Satria, Satria selalu bilang bahwa orangtuanya sedang sibuk bekerja. "Mamak nggak mau liat kamu sedih dengan ketidak pastian Satria. Dia ngomong sama kamu memang serius tapi jujur, hati mamak ragu. Tapi semua pilihan ada di tangan kamu, Mamak cuman mau kamu bahagia. Udah itu saja.” "Iya Mak. Hehe, Bia jadi bikin mamak lama masaknya.” ”Nggak papa. Yaudah kamu panggil bapakmu sana sama itu Nunu juga, suruh bersih-bersih kayaknya mereka udah pulang dari keliling desa.” Bia mengangguk dan bergerak berlalu dari dapur. Bia melihat Ridho, bapaknya yang terlihat memasuki rumah. "Assalamu’alaikum pak.” ucap Bia lantas menyalami bapaknya. "Wa’alaikumsalam.” "Bapak, disuruh mamak langsung bersih-bersih.” "Iya ini juga mau ke kamar. Oh iya tuh si Nunu kamu suruh juga, sekalian bantuin dia beresin baju dia biar cepat, suruh dia juga siap-siap ikut bapak ke masjid sholat magrib.” Bia mengangguk kemudian berjalan menuju teras depan. Bia menghela napasnya, membuka handphone miliknya yang tadi sempat dia ambil dulu di kamar, Bia lalu mulai membangunkan Nunu yang ternyata tertidur duduk di kursi. "Nunu?” "Nunu, bangun, kamu harus ke masjid, sholat magrib dulu.” "Iya Bia, gua ngantuk banget Bia.” Bia menepuk keningnya, dan menggelengkan kepala. "Sholat itu nggak lama kok Nunu, nggak sampai 10 menit.” ucap Bia yang tiba-tiba tersentak kaget saat Nunu yang seketika berdiri menghadapnya, Bia mengernyit merasa sangat pendek berdiri di depan Nunu yang tinggi itu, dan dia hanya sebatas bahu Nunu. "Iya sayang.” ”Nunu..!” teriak Bia dengan wajah marah. "Haha..” Bia berdecak kesal mendengar tawa Nunu yang mengejeknya, dengan kesal Bia pun mengikuti Nunu ke kamar laki-laki itu. Bia melihat Nunu yang memasuki kamar mandi dengan tersenyum lebar dan tertawa. Bia yang tidak tahan lalu tertawa melihat tingkah konyol Nunu itu. Bia kemudian menarik koper milik Nunu dan membukanya, Bia membuka lemari pakaian, ia mulai melipat dengan rapi baju Nunu dan memasukkannya ke dalam lemari menata serapi mungkin. "Bia.” Bia tersentak karena suara dari belakangnya. Bia memegang dadanya lantas berbalik menatap Nunu dengan tajam. "Hum. Apa?” "Jangan pegang aset gua ya.” Bia mengernyit mengejek. "Nggak banget Nunu. Aku cuman rapihkan baju kamu, sisanya kamu rapihkan sendiri. Lagian tamu itu adalah raja.” kata Bia menunjukkan baju dan celana Nunu yang sudah ia lipat. "Iya, dan lo adalah ratunya, tuan rumah hati gua.” Nunu tertawa mengedipkan matanya, dan, Bia hanya diam menghiraukan Nunu, kembali merapikan baju-baju Nunu. Setelah selesai, Bia bangun dari duduknya dan meletakkan koper milik Nunu di sudut lemari, ia lalu melihat Nunu yang sudah memakai pakaiannya dari dalam kamar mandi, Bia terkekeh untung saja Nunu tidak macam-macam dengan tidak memakai baju, dan berakhir Bia melihat badan Nunu tanpa pakaian itu. Bia menggelengkan kepalanya, mengenyahkan pikiran tidak baik di otak sucinya itu. "Kenapa lo?” tanya Nunu yang melihat Bia menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Apa, udah buruan siap-siap, Bapak udah nungguin kamu di luar.” Nunu menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu tersenyum melihat Bia yang berlalu keluar dari kamarnya, Nunu tidak pernah merasa senang seperti ini, dia merasa sudah mempunyai istri saja yang selalu menyiapkan keperluannya, merapikan kamarnya, dan ketika dia ingin pergi Bia akan mencium punggung tangannya. Dan Nunu tahu bahwa itu semua hanya ada dalam imajinasinya. *** Bia membantu Rosita menyiapkan makan malam, menata piring serta masakan diatas meja makan. Bia dan Rosita serempak menjawab salam saat terdengar salam dari ruang depan. Rosita tersenyum dan mengambil sajadah di tangannya Ridho, dan suaminya itu lantas duduk di kursinya, diikuti oleh Nunu yang duduk di sebelahnya. "Bia, ambil dulu itu sajadah Nunu. Dia mau makan itu susah." Bia melihat bapaknya cemberut, lalu beralih pada Nunu yang diam-diam menatapnya dan tersenyum. "Sini sajadah kamu.” "Bia baik-baik mintanya, sayang. Sama tamu loh.” tegur Rosita pada Bia. Bia memejamkan matanya sebentar kemudian tersenyum pada Nunu. "Nunu, sini sajadah kamu, aku taruh di kamar.” dengan raut senang dan juga geli Nunu langsung menyerahkan sajadahnya pada Bia yang langsung diterima Bia dengan cepat. Bia berjalan menuju ke kamar Nunu sembari mengomel tidak jelas. Di meja makan, tiga orang itu hanya tertawa melihat tingkah Bia yang kesal karena disuruh bapaknya mengambil sajadah Nunu dan membawanya ke kamar. "Anak kamu itu Pak.” kata Rosita dengan tertawa kecil. "Anakmu juga Dek.” "Kakaknya Riska sama Nur.” kata Rosita lagi yang di balas tawa kecil dari Ridho. "Calon istri saya Pak, Ibu..”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN