Part 9 Tak Bisa Dipaksa

2136 Kata
Nunu terdiam menatap suasana rumah yang sudah seminggu lebih ini ia tinggali, suasana yang ramai sekarang, kedua orangtua Bia yang tengah sibuk entah sedang apa. Kedua adik Bia yang berlarian sambil tertawa, pembantu Bia yang sibuk dengan tugasnya, dan Bia. Perempuan itu tengah duduk di sofa sambil memegang handphonenya yang ia tempelkan pada daun telinganya. Terlihat senyumnya mengembang sempurna, dia kemudian bangun berdiri dan berjalan menuju keluar rumah masih dengan handphone yang berada di telinganya itu, entah siapa yang sedang ia telpon. Bia berhenti tepat di depan pintu. Nunu yang sedari tadi menatap Bia dengan rasa penasarannya yang semakin besar ketika melihat sebuah mobil yang, tampaknya sangat mewah berhenti di halaman rumah Bia. Nunu pun berjalan mendekati pintu, menatap kepada Bia yang sudah memeluk handphonenya dan matanya memandang ke depan. "Bia..” "Satria..!” teriak Bia dengan nyaring dan nadanya yang senang akan kedatangan laki-laki itu. Nunu terdiam, ia mengurungkan panggilannya pada Bia, Bia lalu berlari menuju mobil tersebut dan langsung memeluk badan kokoh, tinggi semampai, gaya formal, dan wajah yang cukup tampan tersebut. "Aku rindu..” kata Bia dengan memeluk erat Satria. Nunu yang melihat adegan tersebut berada di belakang bersama keluarga Bia. Nunu merasakan rasa sesak di dadanya. Tapi kalau dia pergi sekarang, maka artinya Nunu mengalah dan menyerah atas semua yang sudah ia mulai. Tidak, Nunu tidak akan kalah dengan Satria. Nunu yakin dan percaya bahwa ia bisa membuktikan pada Bia bahwa ia lebih pantas daripada Satria, dimana ia lebih bisa untuk memberikan tawa di dalam hidup Bia, dan kebahagiaan di sepanjang siang dan malamnya. Setelah acara rindu merindu itu, Satria pun disambut hangat oleh orangtua Bia dan jaga adiknya sama seperti mereka menyambut Nunu saat datang pertama kali di rumah mereka. Nunu hanya diam sedari tadi, mendengar dan enggan ikut bicara saat semua orang menyapa Satria, entah kenapa hatinya begitu ogah menyapa laki-laki itu, terasa semua kata-katanya itu palsu belaka. Nunu memalingkan wajahnya pada Bia saat ia merasakan cubitan kuat pada pinggangnya, siapa lagi kalau bukan Bia yang berulah karena perempuan itu duduk di samping Nunu. Dan Satria yang duduk di samping bapaknya Bia. Nunu diam-diam tersenyum, sepertinya Bapak Bia lebih percaya padanya daripada Satria, iya meskipun dari penampilan lebih keren Satria, dan jelas Satria adalah laki-laki kaya dibandingkan Nunu yang penuh dengan kesederhanaan. Tapi, kaya tidak menjamin semuanya kan, intinya kalau orangtua Bia lebih milih Nunu, Nunu juga bisa tenang dan memikirkan cara bagaimana meluluhkan hati Bia supaya hatinya dan perasaannya berpaling kepada Nunu. "Sakit Bia.” ucap Nunu dengan pura-pura. Bia memutar matanya, dan memajukan wajahnya menunjuk ke arah Satria. Nunu dengan malas menolehkan wajahnya dan melihat Satria yang lantas tersenyum kepada laki-laki itu. "Hai. Aku Satria, kamu Nunu bukan, sahabat pacar saya?” Nunu terkekeh, jelas sekali Nunu menekan kata-kata pacarnya. Dengan masih ada rasa sopan Nunu pun menyambut sapa Satria. "Hai juga, iya gua Nunu. Sahabat Bia dan nanti bakal berubah status jadi suami Bia.” ucap Nunu dan tersenyum di dalam hati saat Satria yang nampak tersentak dan langsung melihat Bia. "Nunu.” Nunu tersenyum mendapat tatapan tajam dan marah dari Bia. "Maaf Bia, gua cuman mau mengetes calon mantan pacar lo ini." Bia berdecak lalu memandang Satria lembut, menjelaskan bahwa Nunu hanya bercanda dan dengan tertawa Satria pun mengangguk menerima penjelasan dari Bia. Hari ini cukup terik oleh cahaya matahari, Nunu duduk dibelakang rumah, disalah satu kursi didekat pohon samping pagar rumah. Nunu masih tidak menyangka kalau Bia segitunya mencintai Satria, Nunu pun tidak habis pikir bahwa Bia sangat buta melihat bahwa di setiap kata yang Satria ucapkan itu semua adalah kebohongan. Nunu sebagai laki-laki bisa tahu dari sorot mata Satria, saat dia bilang sayang dan serius dengan Bia. Nunu justru melihat yang sebaliknya ada kata lain di balik semua itu, kata yang tidak diinginkan oleh semua insan, kata yang menimbulkan air mata dan kebencian, kata yang rasanya ingin Nunu hapus dari kamus hidupnya. Yaitu kata perpisahan. Nunu selalu ingin mengatakan itu semua pada Bia, tetapi dia selalu terhalang dan Bia juga seperti tidak memperdulikannya, mungkin karena ada pacarnya. Makanya sekarang Nunu lebih baik menyendiri di sini, duduk memandang matahari, merasakan sengatan terik yang tidak lebih dari sengatan cemburu kalau ia melihat Bia yang begitu perhatian dengan Satria. Bahkan kini sudah sepuluh menit lebih ia berada di belakang rumah, tanpa ada yang tahu sekalipun itu Bia, karena dia sibuk sama bayi besarnya. Dan Nunu yang sibuk sama semua pikirannya. "Nunu.” Nunu yang memejamkan matanya, ia mengernyit saat merasakan cahaya matahari yang tertutupi oleh sesuatu. "Nggak usah pura-pura tidur deh kamu. Satria mau pulang, dan aku mau kamu ikut antar kepulangan dia.” Nunu lalu membuka matanya, lalu tersenyum melihat Bia yang sangat cantik hari ini. Tetapi, sayangnya cantiknya itu untuk Satria bukan untuknya. "Kepulangan dia ke alam kubur." ujar Nunu yang tentu mendapatkan pukulan pada bahunya dari Bia. "Sembarangan kamu ngomong, dijaga tuh mulut. Kalau nggak mau antar Satria ke depan nggak apa-apa juga. Malesin banget sih kamu.” marah Bia setelah memukul keras bahu Nunu itu. "Bia..” Nunu menahan lengan Bia saat perempuan itu hendak berbalik dan pasti meninggalkannya. "Maaf, gua salah ngomong.” kata Nunu dengan menunduk bersalah. Nunu kemudian berdiri dan menganggukkan kepalanya. "Ayo. Gua ikut ke depan antar Satria.” kata Nunu yang hanya dibalas dengan tatapan diam oleh Bia, tatapannya bukan hanya menatap wajah Nunu tapi juga menatap pada tangan Nunu dan masih memegang lengannya. Dan Nunu lalu tertawa kecil, modusnya ternyata ketahuan. Padahal ia berniat ingin menemui Satria sambil menggandeng tangan Bia, tetapi ternyata gagal. "Kamu sembarangan banget pegang tangan aku ya Nunu, kamu kalau kayak gini lagi aku nggak mau deket-deket sama kamu pokoknya.” Nunu menatap punggung Bia yang berlalu setelah menghempaskan tangannya. "Suatu hari nanti, Bia. Semoga suatu hari nanti, tangan ini akan selalu lo genggam dengan lembut tanpa hempasan lagi dan memberikan harapan pada angin untuk menggantikan posisi tangan lo.” Nunu mengusap tangannya dengan menguatkan lebih hatinya, dan ia lalu melangkah menyusul Bia. Sampai di depan rumah, Nunu tersenyum pada Satria, dia mendekati laki-laki itu dan lalu memeluk bahunya secara jantan lantas berbisik pelan. "Gua jamin, kalau ini terakhir kalinya lo datang ke desa ini. Berani lo datang dan nunjukin batang muka lo itu. Habis lo sama gua.” bisik Nunu sambil tersenyum tipis dan lalu melepaskan pelukannya pada Satria. Nunu terkekeh melihat Satria yang membalas senyumnya dan tatapannya yang seakan meremehkan Nunu. Satria lalu mendekati Bia, dan memeluk erat Bia, Nunu mengepalkan tangannya ketika Satria yang menghirup dengan jelas bagian leher Bia, lalu menatap Nunu dan tersenyum. "Sayang, aku pulang dulu. Kamu jangan nakal, jaga hati dan jaga mata kamu hanya buat aku. Aku bakal terus hubungi kamu dan chat kamu, dan aku akan kembali lagi ke desa ini, menemui orangtua kamu, bukan lagi sebagai pacar kamu tetapi sebagai, calon suami kamu.” Nunu yang mendengar ucapan Satria hanya mendesis dan menatap Satria yang sedang mengecup kening Bia. "Iya sayang. Terima kasih ya, aku bakal tunggu kamu selalu. Kamu juga jaga hati kamu buat aku. Oh iya, ini aku ada kado buat kamu. Semoga kamu suka ya, hehe. Walaupun kamu lagi nggak ulang tahun tapi itu buat kamu.” ucap Bia seraya memberikan bungkusan kado yang sudah ia bungkus rapi kepada Satria. Satria tersenyum menerima kado tersebut. "Iya sayang. Terima kasih ya, aku sayang sama kamu. Aku pulang dulu, maaf aku nggak bisa lama, kerjaan aku masih banyak. Aku sayang kamu dan akan selalu sayang. Aku mencintaimu.” "Aku juga mencintaimu.” balas Bia dengan senyuman manisnya. Lalu Satria memasuki mobilnya, dan melambaikan tangannya sembari mengucap salam kepada keluarga Bia, setelahnya mobil itu keluar dari halaman rumah Bia dan kini hanya tersisa butiran debu dari decitan ban mobil milik Satria. Keluarganya Bia sudah masuk ke dalam rumah, dan menyisakan Nunu dan Bia yang berdiri di teras rumah. Bia berbalik dan menatap Nunu mengernyit. Nunu menghiraukan tatapan Bia dan hanya berdiam diri. Nunu memalingkan wajahnya saat Bia yang semakin mendekatinya dan menatap Nunu dengan lurus. "Kamu kenapa. Oh, Nggak seneng kamu Satria nemuin aku. Nggak suka kalau aku lebih perhatian sama Satria. Nggak suka kalau aku nggak balas cinta kamu nggak suka..” "Nggak..!" Nunu menatap kedua mata Bia dengan serius dan dalam, kedua tangannya bahkan tanpa sadar memegang bahu Bia dengan kuat. "Gua nggak suka dan gua cemburu Bia. Sesak d**a gua lo tahu, sampai gua nggak bisa nangis buat lepasin semua rasa sakit hati gua. Gua gagal janjikan persahabatan kita, gua nggak mau dan nggak rela kalau ini cuman sebatas sahabat, gua mau lebih bahkan dari seorang pacar. Gua nggak bisa Bia, gua nggak bisa nahan lama rasa cemburu gua, gua kuat-kuat batin gua supaya gua nggak hajar Satria saat gua liat muka dia. Lo harus tahu Bia, Satria udah selingkuh dari lo, dia selingkuh di belakang lo, dia udah menduakan lo, lo harus liat Bia, lo jangan buta sama cinta lo buat dia, lo harus..” Belum selesai Nunu berbicara, dengan keras Bia melayangkan tangannya pada pipi Nunu sehingga laki-laki itu terdiam. "Ini alasan kenapa aku ragu sama kamu Nunu.” Nunu tersentak dan terdiam saat Bia yang menepis kuat tangannya dan menggelengkan kepalanya. "Aku hargain semua yang kamu kasih sama aku, sikap dan perhatian kamu buat aku, rasa kasih dan sayang kamu buat aku. Bahkan aku nggak bisa dan nggak mau kalau kamu pergi, aku udah nyaman sama kamu. Tapi sekarang kamu buat aku semakin ragu sama kamu, kamu udah janji sama aku dan kamu udah bilang bakal nerima semua yang ditakdirkan buat kamu, kalau aku nggak pernah cinta apalagi suka sama kamu. Kamu harus paham itu, Nunu.” kata Bia dengan suara bergetar nya. Nunu terdiam sadar bahwa kini ada sebuah tetesan yang mengalir di kedua matanya, Nunu menatap Bia yang mengusap pipinya dan sudah menangis menutup mulutnya. "Bia. Maafin gua Bia. Gua..” Bia menggeleng, lalu tertawa sumbang. "Kamu ternyata lebih parah buat aku sakit hati Nunu, lebih daripada Satria.” "Bia, gua ngomong yang sejujurnya. Satria udah.." "Diam Nunu. Kamu cuman liat Satria dari luarnya, kamu cuman liat Satria dari sisi buruk dia. Kamu nuduh dia macam-macam, padahal kamu baru kenal dia belum sebulan, bahkan baru bertemu dia hari ini. Tapi aku mengenal Satria, aku lebih mengenal siapa dia daripada kamu, dan nggak ada aku pernah berpikir bahwa Satria selingkuh dari aku, hubungan aku sama Satria baik-baik aja, sangat baik dan Satria serius sama aku sampai dia rela undur jadwal meeting dia buat kesini nemuin aku. Dan kamu, kamu bahkan seenaknya nuduh Satria, bilang ini dan itu tentang dia, kamu nggak mikirin perasaan aku Nunu, dan kamu adalah laki-laki paling b******k dan yang aku benci di dunia ini.” "Bia.” Nunu menahan tangan Bia, Nunu tahu dia pasti akan berlalu. Dan Nunu tidak mau itu terjadi. "Jangan benci gua Bia, gua mohon. Gua akui gua b******k, tapi jangan benci gua please..” Nunu menggelengkan kepalanya dengan memandang kedua mata Bia yang memerah. Dan Nunu sangat menyesal akan hal itu. "Nunu.” "Nggak Bia. Gua nggak akan bisa kalau lo benci gua, gua nggak akan bisa setiap hari liat lo tapi gua nggak bisa deket sama lo, gua tersiksa Bia. Maafkan gua. Gua nggak akan nuduh Satria kayak gini lagi, gua akan dukung hubungan lo sama Satria, gua akan buang perasaan gua ini, secepat mungkin.” kata Nunu masih berharap bahwa Bia mau mengeluarkan maafnya untuk dirinya dan masalah hari ini selesai secepat mungkin, Nunu juga tidak bisa menahan rasa sesak dadanya saat ia berkata ingin membuang rasa cintanya pada Bia. "Aku sudah maafin kamu, Nunu.” Nunu tersenyum dan bernapas lega, Nunu memejamkan matanya dan memeluk Bia bersamaan dengan itu Nunu membiarkan air matanya jatuh dengan semua tekanan di dadanya. Bisakah Nunu untuk membuang perasaannya pada Bia. Apa perasaan tersebut ia simpan secara diam-diam saja, dan berpura-pura bahwa ia tidak lagi mencintai Bia. Dan apakah Nunu akan menyerahkan semuanya pada waktu, seiring bergulirnya waktu akan hilang perasaannya. Nunu merasakan bahwa ia adalah laki-laki terlemah di dunia, air matanya bahkan semakin deras tanpa sepengetahuan Bia yang masih Nunu peluk tanpa penolakannya. Nunu semakin lemah saat tiba-tiba Bia menanyakan perihal keadaannya. "Nunu. Kamu baik-baik aja kan?” Nunu diam dan menatap lurus ke depan. "Nunu..” "Mungkin, Bia.” "Kamu serius." "Maafin gua. Gua.. mau ke kamar dulu.” dengan cepat Nunu membalikkan badannya, setelah melepaskan pelukannya pada Bia, Nunu berjalan menuju kamarnya. Nunu bahkan tidak bisa lagi untuk melihat wajah Bia, semakin ia melihatnya semakin membuat Nunu tidak bisa menahan sesak di dadanya. Nunu terlalu lemah untuk saat ini. Mungkin besok atau lusa, ia akan kembali kuat. Kepercayaan yang satu, percaya bahwa suatu saat nanti akan ada masa bahagia, dimana tawa dan sedih semua tentang gambaran bahagia. Tidak bisa melawan waktu, kekuatan kesabaran masih terlalu picik untuk ukuran memperjuangkan milik seseorang. Dan harus mempunyai s*****a yang lebih besar dan kuat melebihi kesabaran, agar bisa menang dan percaya bahwa benar apa yang telah ditakdirkan adalah yang terbaik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN