Pedas itu Apa?

1123 Kata
Andra menduduki salah satu sofa yang terletak di balkon kamarnya. Menikmati semilir angin yang menerpa wajah. Ia memang terbiasa menyendiri seperti ini. Memilih menjauh dari segala keramaian, seolah-olah telah menemukan titik bahagianya sendiri dalam suasana hening. Andra menikmatinya. Memilih untuk tidak membeberkan identitas aslinya, di sekolah, mungkin adalah keputusan terbaik sekaligus terburuk baginya. Terbaik, karena dengan begitu, Andra bisa menikmati hidup tanpa bayang-bayang 'teman karena uang'. Namun, terburuk karena dengan seperti itu, tidak ada yang mau berteman dengannya. Ia terus sendirian dan selalu menjadi korban keisengan mereka yang kelewat batas. Kejadian beberapa waktu lalu, sontak membuat Andra nyaris diskor. Untungnya, CCTV kelas masih berfungsi dengan baik, sehingga Andra dinyatakan tidak bersalah. Leon dan kedua temannyalah yang dikenai hukuman skorsing, selama tiga hari. Andra tidak apa-apa jika ia diejek miskin, cupu, atau apalah itu. Ia tak masalah. Hanya saja, ia paling benci jika orang-orang mulai menghujat papanya. Andra akan berusaha menjaga nama baik papanya itu, sebisanya. Salah satu faktor yang menyebabkan Andra tidak membeberkan jati dirinya, adalah karena ia tidak mau mengotori nama papanya. Mengingat perjuangan sang ayah tidak mudah, membuat Andra bertekat kuat, untuk mengharumkan nama sang ayah. Walaupun terkadang, Andra kesal dengan ayahnya itu, apalagi semenjak kehadiran ibu baru juga adik untuknya, tetapi Andra tetap menyayangi ayahnya itu. Dan, yeah. Siapa bilang, jika Andra membenci Alana—ibu tirinya? Andra tidak benci. Ia hanya takut. Takut memulai suatu hubungan, lalu ujung-ujungnya ditinggalkan. Takut terlalu menyayangi seseorang, tetapi pada akhirnya dilupakan. Andra trauma. Kepergian ibu kandungnya, sontak menancapkan belati ke dalam dadanya. Andra mengerti. Mungkin, dirinya memang tidak pernah pantas untuk terlahir ke dunia ini. Lihatlah! Ibu kandungnya saja tega meninggalkannya. Membuat Andra mematri tekad kokoh, untuk bersikeras mempertahankan egonya. "Ayla! Jangan lari-lari, Nak! Nanti jatuh!" Andra melongokkan kepalanya, ke bawah. Saat suara yang sangat familiar di telinganya terdengar. Sudut-sudut bibirnya, entahlah kenapa tiba-tiba terangkat begitu saja. Melihat Mama Alana dan Ayla, kontan membuat senyum di wajahnya terbit. Andra diam-diam selalu menyukai interaksi antara mama Alana dan Ayla. Ia jadi turut membayangkan, bagaimana jika Ayla adalah dirinya belasan tahun lalu? Pasti akan sangat menyenangkan. Memiliki ibu yang sangat menyayanginya. Mengajak bermain setiap hari dan tertawa bersama. Astaga. Andra bahkan baru ingat, jika semua itu tidak mungkin terjadi padanya. "Mama! Kejal Ayla!" Ayla terlihat berlari dari kejaran sang mama. Masih tidak lepas dari perhatian Andra, saat rambut bocah itu tertiup angin dengan lembutnya. Melambai-lambai seiring langkah kecilnya. Suara tawanya yang terdengar lucu, wajahnya, matanya, semuanya. Andra suka. "Ayla, ih! Awas kamu, ya!" Wajah ayu mamanya ituㅡum tidak. Ibu tirinya itu, terlihat sangat ayu dan teduh. Andra diam-diam mengagumi Alana. Ia tahu, Mama Alana adalah orang baik. Sangat baik malah. Namun, ia dengan bodohnya selalu bersikap acuh kepada wanita cantik itu. Andra ingin memulai semuanya kembali. Ia ingin bersikap baik kepada mama Alana. Hanya saja, ia terlalu takut memulai. "Kena kamu, ya!" Andra tertawa pelan, saat melihat Ayla yang tertawa terbahak, karena sang mama berhasil menangkap bocah itu. Lucu sekali. "Mama, Mama!" panggil Ayla. Bocah kecil itu, sontak mendongak ke atas. Menatap ke arah balkon kamar Andra yang memang tak seberapa tingginya, sehingga suara dari bawah bisa terdengar. Andra segera menyembunyikan dirinya. Merapatkan diri di sofa, agar tak terlihat dari bawah. "Apa, Nak?" tanya Alana. Andra berusaha menetralkan detak jantungnya yang memburu, karena hampir saja ia ketahuan. Mengintip dari sela-sela pagar pembatas balkonnya yang kokoh. Aman, batinnya. "Tata Ean ana?" tanya Ayla. Andra meneguk salivanya susah payah, saat Ayla terdengar menanyakan dirinya. "Kakak Andra, lagi belajar sayang. Biar pinter, ya kan?" Andra tiba-tiba merasa sesak, saat mama Alana, lagi-lagi membuat alasan untuk menutupi kesalahan yang ia buat. Mendadak, Andra jadi sedikit menyesal. Ia sudah salah. Berlaku tidak baik kepada ibu dan adiknya itu. "Tapi Ay au ain cama tata Ean!" Ayla mulai protes, karena Andra yakin, pasti adiknya itu butuh seorang teman untuk bermain. "Iya, nanti, kalo Kakak Andranya udah selesai belajarnya, bisa main deh, sama Ayla!" Andra diam. Ia mungkin, adalah kakak yang paling jahat sedunia. Andra yakin, ia tak akan termaafkan. "Celecainya kapan?" tanya Ayla. Andra tak mendengar jawaban dari Mama Alana, membuat Andra berpikir, mungkin ibu tirinya itu sudah bosan membuat alasan untuk melindungi dirinya. "Um, gimana gini aja, deh." Andra diam mendengarkan. "Ayla, belajar juga, yuk! Biar pinter kaya Kakak. Gimana?" Tanpa Andra duga, ternyata Ayla malah mengangguk. "Iya Ma! Ay au taya Ta Ean. Ay au belajal, bial pintel!" Astaga. Maafin Kakak, Ay, batin Andra. **** "Ta Ean, mamam yang anyak!" Andra hanya diam sejenak, saat Ayla bersuara. Bukannya ia tak mau menjawab dengan manis ucapan sang adik. Hanya sajaㅡyeah, begitulah. "Iya," jawab Andra seadanya. "Mama, Ayla au mamam itu!" Ayla nunjuk semangkuk sambal. Membuat Andra, Ardhian, dan Alana menatap bingung. "Eh, Sayang. Itu sambal, nak. Pedas!" ujar Ardhian. "Ayla makan yang lain aja, ya?" Namanya juga anak kecil. Ia belum bisa membedakan, mana makanan yang bisa ia makan, dan tidak. "Iya, Sayang itu pedas. Ayla makan yang lain aja, mau yang mana?" tambah Alana. "Ayam goreng, mau? Atau sayur?" Andra hanya diam, memperhatikan. Jauh dalam hatinya, Andra ingin mencium gemas pipi sang adik. Melihat wajah penuh tanda tanya, kedipan mata imut tanda ia bingung, sukses membuat Andra gemas berkali-kali. "Pedas itu apa, Pa?" tanya Ayla dengan polos. Andra menahan tawanya. Ingin tertawa, tapi gengsi. Ardhian dan Alana sendiri, terdiam karena tak tau harus menjawab apa. Pedas itu bukannya tidak bisa dijelaskan, sebelum merasakannya sendiri? Terlebih lagi yang bertanya 'pedas itu apa' adalah seorang balita yang akan sulit mencerna beberapa kalimat. "Pedas itu, apa?!" tanya Ayla gemas. Ia bahkan sudah mengulangi pertanyaannya, karena tak kunjung mendapat jawaban. Gigi susunya bergemeletuk menahan sebal. "Pedas itu ya ... pedas, Sayang. Jadi, Ayla makan yang lain aja ya?" Karena bingung harus menjawab apa, akhirnya Alana berusaha mengalihkan. Namun, gadis kecil itu tetap bersikeras. "Ay au coba, Mah." Tiba-tiba saja, telunjuk bocah cilik itu sudah dicelupkan ke dalam mangkuk berisi sambal. Membuat Andra yang melihatnya jadi gemas sendiri. Ia segera menarik tangan sang adik, lalu mengusapnya dengan tisu. Sontak, apa yang Andra lakukan, menjadi perhatian Ardhian dan Alana. "'Kan udah dibilangin, pedes!" ujar Andra kesal. Sementara Ayla hanya diam ketika kakaknya itu mengusap telunjuknya yang terkena sambal. Mengerjapkan matanya beberapa kali, "Pedes itu apa? Beda cama pedas?" Oke, cukup. Andra tidak kuasa menahan gemas. Ia segera berdiri dari duduknya. Meletakkan tisu yang ia gunakan tadi ke atas piring. Lalu beranjak menuju kamarnya. Mengabaikan teriakan Ayla, yang memanggil namanya. Intinya, Andra tidak kuat berada di sana, lama-lama. ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN