Ruang tamu seluas sepuluh meter persegi yang didominasi oleh warna hijau muda itu seketika hening. Perihal masa iddah yang baru saja dipertanyakan oleh Jatayu, telah berhasil membuat Mahesa terdiam dan tak melanjutkan kata-katanya. Padahal, sejak beberapa hari yang lalu, sebuah rencana telah dirancang dengan sedemikian matang oleh lelaki tampan, mantan suami Kinanti tersebut. Sebuah rencana yang membuat semangat dan gairah hidupnya seperti beregenerasi, terlahir kembali.
Persahabatan yang dimulai sejak mereka berdua—Mahesa dan Jatayu—baru masuk perguruan tinggi itu memang masih terjaga dengan baik, bahkan belum berkurang sedikit pun kekentalannya, meskipun kini, keduanya bukan lagi teman kuliah yang setiap hari bisa berjumpa dan ke mana-mana runtang-runtung bersama. Mahesa dan Jatayu telah menjadi dua lelaki tiga puluhan yang memiliki karier sendiri-sendiri. Mahesa menjabat sebagai manager operasional di sebuah perusahaan mesin berat berskala internasional, sementara Jatayu adalah teknisi di sebuah perusahaan tekstil.
Sebenarnya, Mahesa bukanlah orang yang kesulitan untuk mendapatkan teman. Sebaliknya, ia justru orang yang supel dan mudah bergaul. Kawannya banyak dan ada di mana-mana. Dengan karier bagus yang dimilikinya, tak ada orang yang tak ingin kenal dengannya dan menjalin relasi. Namun demikian, baginya, sahabat cukuplah satu, yang terpenting ia bisa dipercaya dan bisa diajak bersama-sama dalam segala kondisi, baik dalam keadaan suka maupun duka.
Jatayu Surya Kelana benar-benar memenuhi kriteria itu. Mahesa selalu merasa ‘klik’ dengan teknisi berkulit sawo matang tersebut. Lebih dari itu semua, bagi Mahesa, Jatayu adalah seorang yang bijak dalam berpikir dan solutif. Hampir tidak ada masalah yang tak bisa terpecahkan, jika ia membahasnya dengan lelaki asli Malang yang memilih untuk tinggal di rumah sendiri daripada bersama kedua orangtuanya tersebut. Meski tak pernah mengatakannya, namun dalam hati kecilnya, Mahesa Lintang Kelana sangat mengagumi Jatayu dan merasa sangat beruntung memilikinya sebagai sahabat karib. Ia bersyukur, persahabatan mereka tak menjadi rusak atau renggang manakala ujian kesetiaan berkali-kali menerjang. Tak sedikit, dulu, teman-teman semasa kuliah mereka, merasa iri dan berusaha agar mereka menjadi renggang.
Sebagai anak semata wayang yang tak memiliki saudara, sementara orangtuanya berada jauh di pulau lain, Mahesa benar-benar menganggap Jatayulah tempatnya untuk berbagi. Seperti pagi jelang siang ini, Mahesa tak bisa menahan dirinya untuk tak datang ke rumah Jatayu yang berlokasi di kawasan Pulosari tersebut. Padahal, sesuai perjanjian, ia tak akan datang ke rumah asri itu dulu, sebelum masa pernikahan Jatayu dan Kinanti berakhir.
Kemunculan mantan suami Kinanti itu tak lain dan tak bukan, karena ia sudah tak sabar hendak mengabarkan perihal rencana yang ingin segera direalisasikannya tersebut kepada Jatayu. Padahal, batas waktu pernikahan sela yang telah mereka bertiga sepakati, tinggal menghitung hari saja. Akan tetapi, Mahesa benar-benar tak bisa menunggu lagi. Dadanya sudah serasa hendak meledak karena mengerami semangat yang meletup-letup itu sendirian. Ia butuh segera mengungkapkannya pada seseorang.
Sepanjang jalan menuju rumah Jatayu, tak terhitung lagi, berapa kali Mahesa tersenyum-senyum sendiri di dalam mobil, sembari menyetir. Bahkan, ia bersenandung kecil. Sebab, ia sudah membayangkan akan segera membahas dan mendiskusikan rencana brilian-nya dengan seru bersama sahabatnya tersebut. Apalagi, di rumah Jatayu ada Kinanti, mantan istri yang juga merupakan bagian terpenting dalam rencana itu.
“Bukankah, setelah bercerai, perempuan akan masuk pada masa iddah?” tanya Jatayu lagi. Sebuah pertanyaan yang tak dimaksudkannya untuk mendapatkan jawaban dari orang yang ada di hadapannya. Namun, justru bermaksud untuk mengingatkan. “Seperti dulu, Sa, setelah Pengadilan Agama mengetuk palu untuk keputusan cerai bagi kalian berdua, Kinanti mesti menjalani masa iddah atau masa penantian selama tiga bulan terlebih dahulu, sebelum pernikahan kami berlangsung.”
Mahesa tercenung. Seketika, ia teringat pada masa itu, bagaimana dirinya yang menginginkan Kinanti dan Jatayu segera menikah—agar persyaratan rujuk baginya segera terpenuhi—terpaksa harus menahan diri dan setuju untuk menundanya.
“Huuufth …” Mahesa melepas napas berat. “Iya juga, ya,” keluhnya, lirih. “Aku sampai tak ingat sama sekali tentang itu!” Laki-laki berwajah oval itu menepuk dahi. “Karena terlalu excited!” pungkasnya, seraya menyungging senyum yang sedikit miring.
Ruang tamu kembali hening. Masing-masing terdiam dan sibuk dengan pikirannya masig-masing. Kekecewaan melanda hati Mahesa. Namun, ia tak tahu harus mengalamatkan kepada siapa kekecewaan itu. Kepada Jatayu, jelas tidak mungkin! Sebab sahabatnya tersebut hanya menyampaikan kebenaran yang memang berlaku.
“Jadi, menurutku, menjemput Kinanti di sini pada hari berakhirnya pernikahan kami, itu sama sekali bukan ide yang bagus!” Jatayu kembali bersuara. Pandangannya lekat tertuju pada wajah Mahesa. Ia berharap, sahabatnya itu bisa mengerti dan menerima apa yang disampaikannya tersebut.
Mahesa tak menyahut. Kecerahan di wajahnya yang masih terlihat beberapa saat lalu, raib dengan serta-merta. Berganti dengan kemuraman, seperti langit bulan Desember yang selalu dibayangi oleh mendung tebal. Demikian pula dengan semangat yang semula menguasai dirinya hingga membuat dadanya seperti hendak meledak. Setelah mendengar kata-kata Jatayu itu, berangsur-angsur menjadi padam. Lelaki muda yang selalu tampil rapi dan tergolong dandy tersebut mengubah posisi duduk. Ia merapatkan punggungnya ke sandaran sofa hijau lumut dengan gestur yang lesu.
“Jadi, kamu harus bersabar. Menunggu sampai Kinanti menyelesaikan masa iddah-nya terlebih dahulu, Sa, baru bisa merujukinya.” Sambil menuturkannya, Jatayu mencuri pandang pada Kinanti. Pada saat itulah, lelaki yang telah mengorbankan diri bagi dua orang yang ada di hadapannya tersebut menangkap ekspresi lega pada wajah perempuan itu.
Pandangan Mahesa menerawang jauh. Mulutnya terkatup rapat. Bahkan, kedua belah bibirnya saling menggepit. Lelaki itu mengetuk-ngetukkan jari telunjuk pada tempurung lututnya. Sebuah kebiasaan yang selalu ia lakukan tanpa sadar, setiap kali suasana hatinya sedang tidak bagus atau kala pikirannya sedang kacau.
“Tetapi … kalau hanya menjemput, lalu mengantar pulang kepada orangtuanya dan meminang ulang Kinanti kepada mereka, itu tidak apa-apa, kan, Jat?” Tiba-tiba, Mahesa melontar tanya. Lelaki muda itu benar-benar belum bisa merelakan, jika rencana yang telah dirancangnya harus benar-benar kandas seluruhnya. “Perkara nanti kapan waktunya untuk realisasi pernikahan ulang, tidak masalah jika harus menunggu hingga masa iddah-nya habis.”
Jatayu tak langsung menjawab. Ia kembali mencuri pandang pada Kinanti. Tepat seperti dugaannya, mimik muka perempuan itu kembali menegang. Rasa heran di dalam dadanya kian menebal, tentang apa yang sebenarnya terjadi di antara dua orang mantan suami-istri tersebut. Belakangan, ia amati, perempuan bermata jelita itu tampak tertekan dengan hal-hal yang berkaitan dengan Mahesa dan rencana rujuk. Padahal, setahu Jatayu, Mahesa adalah cinta pertama bagi Kinanti dan perempuan itu sangat mencintainya.
Karena alasan itu pulalah, lebih dari tiga bulan yang lalu, Jatayu menyanggupi permohonan Mahesa, agar dirinya mau menjadi muhalil atau suami sela bagi Kinanti. Sebab, hanya dengan cara itu, Mahesa dan Kinanti bisa kembali rujuk dan bersatu lagi setelah bercerai talaq tiga. Bagi Jatayu, kebahagiaan Kinanti adalah satu hal yang paling penting.