Bab 3 – Tanda Awal Suatu Perselingkuhan (2/2)
Itu adalah hari dimana semua pejabat dan saya berkumpul diruang konferensi untuk membahas persiapan Tahun Baru mendatang. Tenggorokan saya terasa tersumbat setelah banyak bicara terlalu lama, dan setelah meminum segelas air hangat, saya berjalan-jalan di taman istana pusat untuk bersantai. Artina, wakil komandan kesatria yang menemani saya, bersama dengan beberapa nona-nona dayang. Ketika berdiskusi dengan Artina tentang siapa yang akan direkomendasikan untuk upacara, saya mendengar bisikan dari suatu tempat yang berkata, “Apakah itu dia?”
Saya melihat sekeliling dan menangkap seorang wanita duduk dikursi roda dengan 2 wanita lain yang tampaknya menjadi pelayan disampingnya. Mata kami saling bertemu dan wanita dikursi roda itu berjuang untuk berdiri. Kedua pelayannya mencoba untuk menghentikannya, tetapi mereka menjatuhkan tangan mereka ketika melihat tatapan saya.
Sedangkan wanita itu dengan gemetar mencengkram pegangan kursi roda ketika dia hendak berdiri untuk membungkuk memberikan salam. Saya tidak yakin siapa wanita ini. Saya mulai berpikir apakah dia b.u.d.a.k wanita yang ditemukan oleh kaisar itu? Tetapi kami berada di dekat istana pusat dan ini bukanlah tempat bagi orang yang tak memiliki kepentingan untuk hadir. Wanita itu tetap saja dengan susah payah dia berusaha menyapa saya ketika kakinya terluka, jadi saya memberikannya anggukkan terimakasih. Saya berbalik untuk pergi ketika saya mendengar suara dari belakang saya ada yang berkata, “Hei!”
‘Hei?!’ Pikir saya dengan penuh keheranan. Apakah dia memanggil saya? Ini adalah pertama kalinya saya mendengar seseorang memanggil saya demikian di istana setelah saya di nobatkan menjadi permaisuri. Saya berbalik, bingung, dan melihat wanita dikursi roda itu mendorong dirinya ke arah saya. Para pelayannya nampak kebingungan dan mencoba memanggilnya, “Nona Rastha, jangan!” tapi dia mengabaikan mereka berdua.
Apakah ini ada hubungannya dengan saya? Jika dia melakukannya, maka pasti dia tahu bahwa saya adalah permaisuri. Namun dia berkata “Hei!” pada saya? Saya menatapnya dengan ekspresi bingung dan wanita yang bernama Rastha itu mendekat serta menyapa saya sekali lagi.
“Aku Rastha.” Katanya dengan penuh ceria.
“Ya, Rastha?”
Dia tersenyum seolah senang saya memanggil namanya. Apakah dia benar-benar ingin saya memanggilnya demikian? Tiba-tiba saya dikejutkan oleh rasa ingin tahu, tetapi itu tidak cukup untuk menanyakan mengapa. Waktu rapat telah berakhir dan otak saya rasanya seperti membusuk setelah mendengarkan kisah-kisah orang asing selama 3 jam. Jika ada keadaan darurat, maka dia akan meminta bantuan sesegera mungkin setelah dia melihat saya. Namun, dia malah tersenyum cerah ceria, jadi sepertinya dia tidak membutuhkan perhatian mendesak saya.
Saya berbalik lagi, berpikir bahwa tidak ada lagi yang bisa saya lihat darinya. Tapi saat saya berbalik dan mulai berjalan selangkah, dia mengulurkan tangan dan meraih rok gaun saya. Nona-nona dayang yang berdiri disebelah saya langsung terkejut dan menepis tangannya seolah-olah dia adalah monyet kebun binatang.
“Kasar sekali!” Ujar Laura.
“Apakah kamu tidak mengenali siapa bangsawan ini?!” Ujar nona dayang yang lain. Rastha tersentak kaget, dia pun tergagap.
“Ma... Maafkan aku... Aku seharusnya memanggilmu tapi aku tidak tahu siapa namamu...”
Dia benar-benar tidak tahu bahwa saya adalah permaisuri? Bukankah tadi saya mendengar bisikan kepada pelayannya, “Apakah itu dia?”
Laura melototi Rastha dan berteriak padanya,
“Ini Yang Mulia Permaisuri! Berhati-hatilah dengan tindakanmu!”
Mata Rastha melebar, “Apa?! Saya... Saya kenal permaisuri.” Katanya. Dia kenal permaisuri? Saya mengerutkan kening pada kata-katanya. Terdengar ambigu sekaligus membingungkan. Ini aneh sekali. Rastha menatap mata saya dan berbicara dengan lembut,
“Aku... Aku Rastha..”
Siapa itu Rastha? Nona-nona dayang saya dan saya juga sangat kebingungan. Apakah kita cukup mengenal satu sama lain untuk saling berbagi nama masing-masing? Dalam benak saya, saya mencoba mengingat-ingat para wanita seusianya yang mengunjungi negara ini dengan para pejabat asing. Saya tidak bertemu dengan setiap tamu. Ada tamu yang disambut oleh saya, tamu yang disambut oleh menteri luar negri, dan tamu yang bertemu dengan Sovieshu secara langsung.
Dan dia belum pernah terdaftar dalam list tamu saya sekalipun. Apakah menteri luar negri pernah bertemu dengan Rastha? Itu tidak mungkin. Jika dia berasal dari keluarga bangsawan yang hebat, bahkan para wanita dayang-dayang saya akan mengenali siapa dia bahkan jika saya tidak mengenalinya.
“Apakah Anda mengenali saya?” Tanyaku pada Rastha. Saya memutuskan untuk berterus terang padanya dan dia tampak terkejut.
“Anda tidak mengenali siapa aku?” Dia malah berbalik bertanya juga.
“Saya tidak yakin.” Jawab saya.
“Ah....” Rastha terlihat kebingungan dan dia berbisik kepada pelayannya, “Apa yang harus aku lakukan?” Tentu saja saya bisa mendengarnya. Tapi saya terlalu lelah. Saya bahkan tidak tahu siapa wanita ini, maka saya pun mengabaikannya dan pergi. Ketika Rastha memanggil lagi,
“Aku tinggal di istana timur dengan kebaikan hati Yang Mulia Kaisar!”
Kebaikan hati Sovieshu? Istana timur? Kaki yang terluka? Dan... Seorang wanita? Ah, saya akhirnya paham.
“Kamu b.u.d.a.k itu?” Tanyaku. Lalu mengapa dia berada didekat istana pusat? Sebelum saya bisa bertanya lebih, wajah Rastha memucat.
“Yang Mulia, maafkan atas kekasaran saya. Tapi Nona Rastha bukanlah b.u.d.a.k, Yang Mulia.” Seorang pelayan disamping Rastha maju dan mengoreksi saya. Apa? Bukan b.u.d.a.k? Tetapi para wanita dayang-dayang saya mengatakan bahwa dia adalah seorang b.u.d.a.k yang melarikan diri. Jika benar bahwa itu hanyalah rumor palsu, maka mereka pasti akan memberitahu saya bahwa itu bukan cerita yang kredibel. Tetapi tidak ada pernyataan itu satupun dari mereka.
B.u.d.a.k itu.... Lebih dari yang saya harapkan. Saya tidak berharap untuk bertemu dengannya seperti ini. Saya tidak peduli dengan gosip itu, tetapi dia memang secantik yang dikatakan rumor. Jenis kecantikannya tidak seperti kemewahan dan ke-anggunan seorang bangsawan seperti Duchess Tuvania, melainkan citra Rastha lembut dan halus. Matanya yang besar dan gelap membangkitkan naluri pelindung seseorang, dan rambutnya yang berwarna perak muda membuat pesonanya yang murni dan polos semakin misterius.
Tunggu, beberapa nona dayang saya memandikan dia, jadi seharusnya mereka mengenalinya kan? Saya melirik ke sekeliling dan melihat ada yang tidak bersama saya saat ini. Sayangnya, wanita dayang yang tidak bersama saya itulah yang memandikan Rastha pertama kali.
“Iya. Sekarang saya tahu siapa Anda.” Saya mengangguk dan Rastha makin berseri-seri.
“Untunglah. Sebenarnya aku sudah bertanya-tanya kapan kita akan bertemu satu sama lain.”
“Bertemu satu sama lain?” Saya mengulangi kata-katanya.
“Aku sudah bertanya pada kaisar, tapi dia terus memberitahuku bahwa aku tidak perlu repot-repot. Tapi ku pikir kita harus tetap bertemu.”
Bertemu satu sama lain? Mengapa?
Rastha : “Aku harus memanggilmu apa, Yang Mulia?”
Permaisuri : “Panggil saja saya ‘Yang Mulia’”
Rastha : “Hah?” Dia membulatkan matanya.
Permaisuri : “Ya seperti itulah kamu harus memanggil saya.”
Saya tidak tahu mengapa saya melakukan percakapan yang ramah dengan wanita ini dari semua orang. Rastha tampaknya merasa lelah dan ingin berbalik. Dia mendengus dengan sekuat tenaga saat menggerakkan kursi rodanya. Merasa bahwa suasana hati saya rusak, dayang-dayang saya memegang gagang kursi rodanya dan menariknya sedikit ke belakang.
“Menjauhlah.” Salah satu dayang saya memperingatkan Rastha.
“Perhatikan dirimu. Siapa kamu bersikap begitu ramah padanya?” Tangan Laura gemetar karena dia menarik wanita itu, dia mulai kesal.
“Kotor!” Umpat Laura.
“Apa maksudmu yang kotor?” Tiba-tiba Sovieshu muncul, suaranya seperti pecahan es.