Kaluna turun ke lantai satu dan berjalan cepat menuju ruang makan. Dengan air mata yang mengalir di pipi tanpa bisa ditahan, Kaluna mengambil piring lalu menyendokkan nasi serta lauk-pauk yang tersisa. Gadis itu bukan sedih karena merasa sakit hati dengan perlakuan papa dan juga kakaknya, itu sudah terlalu biasa untuknya. Kaluna jauh lebih sedih membayangkan tadi dia makan enak di penthouse Anggara. Sementara mamanya belum makan malam sampai jam segini. Diusapnya air mata di pipi, lalu segera menuju kamar sang mama. Entah karena terlalu lama menunggu, ternyata mamanya sudah terlelap tidur. Melihat itu, kembali jatuh air mata Kaluna. Namun dia tetap melangkah masuk lalu duduk di tepian tempat tidur. Disentuhnya dengan lembut bahu sang mama. “Ma, bangun yuk! Makan malam dulu, yuk.” Pe