“Hah?!”
“Dan dalam waktu dekat,” lanjut Anggara lagi masih dengan santainya.
“Hah?!”
Anggara kembali menegakkan punggungnya. “Dari tadi kayaknya kamu hah heh hah heh terus, memangnya saya kelomang?”
“Umm … bukan, Om. Tapi … menikah? Nggak salah, Om?”
“Nggak. Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu, jika tidak mau dituntut secara hukum. Dan saya yakin, papamu juga akan lebih setuju optional yang kedua ini ketimbang harus melihat putrinya mendekam di penjara. Iya, kan?”
“Ohh, ya ampun,” desis Kaluna pelan. Sekarang dia bersandar dengan lemas, menatap lurus ke depan, tapi pikirannya melayang kemana-mana.
Kaluna sangat bingung kenapa hanya karena berawal dari taruhan ciuman itu sampai bisa berujung pelik seperti ini. Menikah? Hah! Yang benar saja! Dia baru berusia 19 tahun ini. Dan juga baru kuliah semester 2. Cita-citanya setinggi bintang di langit, lalu sekarang … apakah semua itu harus kandas seketika? Hanya karena sebuah taruhan.
Tidak! Tiba-tiba sisi lain gadis itu memberontak. Dia tidak akan menyerah begitu saja pada Anggara. Dia tidak akan mengorbankan masa depannya untuk seorang pria yang lebih pantas sebagai om nya itu.
Kaluna kembali duduk tegak lalu memutar badannya hingga menghadap Anggara kembali. “Om Angga.”
“Hemm?”
“Om Angga pasti sudah punya pacar, kan? Seorang model internasional? Atau seorang anak pengusaha sukses? Atau … artis papan atas. Iya kan, Om?” Kaluna menilai, seorang kekasih dari seorang Anggara pastilah seorang wanita cantik sempurna yang sederajat dengannya.
Namun di luar dugaan, Anggara justru menggeleng pelan. “Saya belum punya pacar.”
“Duh, mati gue!” Batin Kaluna jedag jedug. Dia kembali berpikir keras, alasan apalagi yang paling masuk akal supaya bisa terlepas dari masalah dadakan ini.
“Om, please lah. Om itu nggak boleh menikah dengan anak di bawah umur. Aku bisa tuntut balik loh, Om!” Kaluna menatap tajam pada Anggara, sampai wajahnya sengaja dimiringkan.
“Cih.” Melihat itu justru membuat Anggara berdecih pelan lalu terkekeh mengejek pada Kaluna. “Memangnya kamu umur berapa tahun ini, heh?! Palingan sama dengan keponakan saya, 19 tahun, kan?”
“Iya! 19 tahun masih di bawah umur, kan?” Kaluna masih percaya diri dengan gertakannya.
“Kamu dengarkan baik-baik. Dalam Undang-Undang No 16 tahun 2019 mengatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Dalam UU No 35 tahun 2014 Pasal 1 ayat 1 dikatan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sampai di sini paham?”
Kaluna melongo. Dia mengedipkan matanya beberapa kali, lalu menggeleng pelan. Sungguh, dia pusing dengan semua ucapan Anggara sedari tadi, yang menyebutkan undang-undang dan semacamnya.”Maksudnya gimana sih, Om?”
“Maksudnya, kamu umur 19 tahun. Berarti sudah nggak termasuk anak di bawah umur lagi.”
“Lah! Memangnya Om Angga umur berapa?”
“Saya? 32 tahun, cukup matang untuk menikah,” jawab Anggara dengan begitu percaya diri.
Namun detik kemudian justru Kaluna tergelak. “Ya ampun Om, udah tua yah ternyata! Mukanya awet muda amat Om udah kayak vampire hahahaaa ….”
Tidak ikut tertawa, Anggara menghela napas dalam-dalam. Rasa-rasanya ingin dia jitak saja anak remaja di hadapannya ini. Dari tadi tingkahnya bikin gemas terus.
“Heh, anak kecil, saya dan kamu itu cuma terpaut selisih 13 tahun saja. Anang Hermansyah dan Ashanty saja selisih usia mereka 17 tahun dan bisa hidup bahagia sampai sekarang. Sampai punya anak cucu. Jadi, di mana salahnya?”
“Sebentar, sebentar.” Kaluna tidak mudah percaya begitu saja. Dia langsung mengambil handphone dari saku celana jeansnya, lalu mencari di google tentang kebenaran seputar pernikahan Anang dan Ashanty. Dan ternyata memang benar apa yang dikatakan oleh Anggara.
“Om nggak ada kerjaan, ya. Kok sampe update banget sih sama berita artis,” cibir Kaluna sambil mendelik tajam.
Anggara hanya tersenyum tipis. “Kalau saya nggak ada kerjaan, mana mungkin saya bisa punya perusahaan sebesar itu. Punya karyawan sebanyak itu.”
“Cih! Sombongnya!” cibir Kaluna lagi.
Oh, ya? Tiba-tiba Anggara seperti tersentak dengan kalimat pedas gadis remaja di sampingnya itu. Entah kenapa dia seperti disadarkan bahwa barusan tadi itu dia memang sedang menjadi orang yang sombong.
Padahal selama ini jangankan untuk menyombongkan segala yang ada pada dirinya, untuk sekadar membuka sedikit saja tentang jati dirinya, Anggara tidak akan melakukan itu. Jika ada orang yang disebut sangat introvert, sepertinya itu adalah dia.
Namun dengan anak kemarin sore di sampingnya ini, bahkan Anggara seperti ingin terlihat baik dan sempurna. Anggara ingin Kaluna melihat bahwa betapa dia adalah pria yang patut diperhitungkan sebagai seorang calon suami.
“Jangan suka menghina calon suami, dosa loh nanti kamu.”
“Idih idih! Siapa juga yang mau jadi istrinya Om, sih. Umm Om Angga, yuk kita mulai ngomong serius aja. Oke aku punya salah, jadi aku minta maaf, ya?”
Baru saja Anggara akan menjawab, tangan kanan Kaluna terangkat sebagai kode bahwa dia masih ingin bicara, jadi Anggara kembali dalam mode diam dan hanya mendengarkan.
Kaluna berdeham pelan sebelum dia melanjutkan ucapannya. “Begini ya Om, menurutku nih, hukuman menikah karena taruhan, itu sangat berlebihan loh, Om. Menikah itu kan harusnya atas dasar saling mencintai, bukannya atas dasar taruhan. Betul nggak, Om?”
“Hemm ….” Anggara tampak mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke dagu, lagaknya seperti orang yang sedang berpikir keras. Padahal dia justru sedang malas berpikir hal berat saat ini.
“Menurut saya sih, menikah atas dasar taruhan sah-sah saja, saling mencintainya bisa dipelajari nanti setelah menikah,” jawab Anggara dengan santai.
Kontan kedua bola mata Kaluna melotot. “Ish! Susah ya ngomong sama orang tua,” geramnya sudah hilang kesabaran menghadapi pria super tampan tapi keras kepala itu.
“Ehh pelanggaran bawa-bawa umur. Lagian aku baru 32 kok, belum orang tua loh itu, masih beranjak matang,” imbuh Anggara sekenanya. Lalu dia terkekeh kecil karena melihat raut wajah Kaluna yang kembali memberengut.
Lalu kedua bola mata Kaluna memicing. “Om Anggara cuma lagi gertak aku aja, kan? Om Angga mau permainkan aku, ya? Dosa loh Om bercandanya sampai bawa-bawa pernikahan segala!”
“Ohh, kamu ngira saya sedang bercanda? Oke, akan saya tunjukkan kalau saya sangat serius pada kamu. Ini semua demi masa depan perusahaan serta nama baik saya di mata masyarakat serta rekan bisnis!” ucap Anggara dengan gayanya yang jumawa.
Perasaan Kaluna mulai tidak enak. “Maksudnya, Om?”
“Sebentar.” Lalu Anggara merogoh handphone dari saku celananya. Dia terlihat sedang mencari nomor seseorang. Tidak butuh waktu lama, pria kelewat tampan itu menghubungi nama yang tertera di layar handphone.
“Hallo Pak Anggara.”
Anggara tersenyum mendengar sapaan seseroang di seberang telepon.
“Hallo, Pak Randi.”
Anggara melirik lewat ekor matanya pada Kaluna. Sesuai dengan harapannya, gadis itu tampak terkejut sampai mulutnya menganga lebar.
“Ah iya, Pak Anggara. Apa ada yang bisa saya bantu?”
“Sebentar, Pak.”
Kemudian Anggara mengaktifkan mode loudspeaker sehingga Kaluna dapat mendengar percakapan mereka.
“Pak Randi.”
“Iya, Pak Anggara? Apa ada tugas kantor yang urgent, Pak?”
Randi adalah papanya Kaluna. Pria berusia 49 tahun itu telah bekerja di perusahaan milik keluarga Anggara selama lebih dari 10 tahun. Dan jabatannya sekarang adalah sebagai Manager Marketing.
Kaluna terdiam dan fokus mendengarkan, dia tahu persis itu adalah suara papanya. Dalam hatinya bertanya, untuk apa pria sombong ini menelepon papanya sekarang?
Angga berdeham pelan. “Bukan, Pak. Bukan soal pekerjaan kantor. Tapi ini tentang putri Bapak.”
“Ohh? Putri saya, Pak? Maaf, tapi ada apa, ya?”
Randi tampaknya sama bingungnya dengan Kaluna saat ini. Sedangkan Anggara sendiri justru masih tetap bersikap tenang-tenang saja.
“Maksud saya menelepon Pak Randi adalah … saya ingin meminta izin untuk melamar putri Bapak, maafkan kalau saya tidak sopan karena meminta izin lewat telepon.”