Part 7
Rasanya percuma terus berdebat dengan Mas Tiar. Dia takkan mau kalah, dia pun takkan mau pergi dari sini. Mungkin biar aku saja yang pergi. Dari awal tempatku memang bukan di sini.
Kuhela nafas dalam-dalam. Ah kenapa dadaku rasanya sesak sekali, sakiiit. Kulihat keluar, hari sudah mulai gelap. Akan kupikirkan caranya nanti malam. Gegas menutup jendela yang masih terbuka agar nyamuk tak masuk.
Aku masuk ke kamar ibu, beliau terlihat memejamkan matanya.
"Bu, bangun, Bu. Hampir maghrib, jangan tidur, Bu." Aku menggoyangkan tubuh ibu.
Ibu terkesiap kaget, dia menoleh ke kanan dan ke kiri mungkin belum sepenuhnya sadar. Dia beringsut untuk duduk. Aku hanya memandangnya saja. Rasanya tak rela meninggalkan ibu mertuaku dalam keadaan seperti ini. Aku sayang sama dia, tapi putranya hanya memanfaatkanku saja. Hidup memang sebuah pilihan, aku harus memilih walaupun itu berat.
"Ibu lapar? Aku ambilkan air minum dulu ya," ucapku memecah keheningan.
"Ibu habis pipis, Nak. Pampersnya udah penuh nih."
"Oh iya, biar saya ganti, Bu."
Pekerjaanku sebelumnya memang merawat para lansia, jadi sama sekali aku tak jijik dengan keadaan ini. Aku justru senang bila hidup bisa bermanfaat untuk orang lain.
Pelan kuganti pampers ibu, dan yang kotor segera kumasukkan ke dalam kresek, dan dibuang ke keranjang sampah yang tersedia. Sepertinya ibu sudah nyaman kembali.
Ibu tersenyum. "Terima kasih ya, Nak. Maaf merepotkanmu terus."
"Tidak apa-apa, Bu."
Terdengar suara kumandang adzan maghrib.
"Bu, aku mau sholat dulu. Makannya sehabis aku sholat ya, Bu."
"Iya, Nak."
Aku berbalik badan lalu mendapati Mas Tiar berdiri di ambang pintu. Entah sejak kapan dia berada di sana. Pandangannya pun terasa berbeda.
Aku melewatinya begitu saja. Lagi, dia mencekal pergelangan tanganku.
"Kita sholat sama-sama, Dek," ujarnya.
Astaghfirullah hal adzim, sabar Arini, sabar. Jangan biarkan emosi menguasai hatimu. Aku berlalu ke belakang untuk ambil air wudhu. Lagi-lagi Mas Tiar mengikutiku. Dia berdiri di ambang pintu kamar mandi. Dan terus memandangku, ia akan tersenyum bila aku menoleh ke arahnya.
"Kita sholat jamaah, Dek," ulangnya lagi.
Aku masih diam tak menjawabnya. Berlalu menuju ke ruang salat. Perasaanku benar-benar berkecamuk menjadi satu. Apa yang harus kulakukan untuk menghadapinya? Haruskah pergi atau bertahan?
Semua berputar-putar dalam pikiranku. Rasanya ingin mengulang masa lalu. Kalau menikah ternyata membuat hatiku sakit begini lebih baik aku tak menikah saja, dan lebih baik kuabdikan diri untuk orang-orang yang membutuhkanku.
Lagi, aku beristighfar untuk meredam amarah yang terus saja membuncah. Mas Tiar datang, lalu mengambil sajadah dan menggelarnya di depanku.
"Udah siap?"
Aku mengangguk. Kami pun sholat maghrib berjamaah bersama.
"Terima kasih ya, maaf aku sudah membuatmu marah-marah seperti tadi, aku tahu kok kamu hanya emosi sesaat."
Tak menanggapi ucapannya, aku berlalu ke dapur untuk menghangatkan makanan. Saat berbalik, aku melihat Mas Tiar bersandar di dinding dapur.
"Kenapa kamu ngikutin aku terus sih, Mas! Aku empet lihatnya tau!!" ketusku.
Dia justru tertawa. "Kamu makin cantik kalau lagi marah-marah begini."
Cih, aku berdecih kesal, muak sekali dengan sikapnya. Tapi aku tak boleh gegabah, aku harus memikirkan matang-matang keputusanku. Tunggu saja kejutan besok, Mas.
Kusiapkan makanan untuk ibu.
"Makanan untukku mana, Dek?" tanyanya. Ekspresinya sudah kembali seperti semula, seperti tak ada apapun yang terjadi.
"Kamu masih punya dua tangan kan? Ambil sendiri lah ..."
"Hahaha, kamu ini lucu banget kalau lagi marah."
Aku berlalu meninggalkannya menuju ke kamar ibu dan segera mengunci pintunya. Ini kesempatanku untuk berbicara serius pada ibu tanpa diganggu olehnya.
Ibu tersenyum saat aku datang membawa makanan.
"Ibu makan dulu ya."
"Kebetulan sekali ibu laper," jawabnya. Dia meraih piring yang ada di tanganku. "Biar ibu makan sendiri saja, tidak usah disuapin, Nak."
Dia memang tak pernah protes apapun yang kumasak, semua ia makan dan tak berpantang.
"Bu, kalau Arini pergi, ibu akan baik-baik saja kan?" ucapku setelah ibu selesai makan.
"Apa maksudmu, Nak?"
"Maafkan menantumu ini, Bu, yang tak sempurna untuk segala hal."
"Ada apa? Kau ada masalah dengan Tiar? Kalian tadi habis bertengkar ya? Masih belum baikan?"
Aku menggeleng pelan. "Maaf Bu, kami memang sedang bertengkar. Dan sepertinya perpisahan adalah jalan terbaik untuk kami."
"Lho kenapa? Kalian kan baru menikah, kamu juga sedang hamil, kenapa harus pisah? Apa tidak ada jalan lain untuk memperbaiki hubungan kalian?"
"Maka dari itu aku harus bilang pada ibu. Aku harus mengambil keputusan ini, Bu. Aku dan Mas Tiar sudah tak sejalan lagi."
"Masalahnya apa? Bisa kau ceritakan pada ibu?"
"Mas Tiar mengkhianatiku, Bu."
"Apa? Tiar selingkuh?" Ibu seolah tak percaya dengan apa yang kuucapkan. "Tidak, Nak. Tiar tidak mungkin selingkuh, mungkin kamu hanya salah paham saja. Dia tidak mungkin mengkhianatimu, Nak."
Akhirnya kubuka semuanya tentang Mas Tiar, biar ibunya tahu. Tentang kebersamaan Mas Tiar dan mantannya itu. Tentang Mas Tiar yang membelikan rumah untuk Elvina. Tentang Mas Tiar yang abai dan selalu menolak permintaanku. Tentang status WA dan kemesraan mereka di sosial media. Semuanya kuceritakan pada ibu.
"Terserah ibu mau percaya atau tidak dengan apa yang kuucapkan. Maaf kalau aku mengadukan semuanya, Bu. Aku sudah gak kuat lagi kalau harus selalu disakiti. Bukankah ikatan pernikahan seharusnya bisa saling membahagiakan pasangan bukan saling menyakiti?"
Ibu menangis mendengar ucapanku. Entah sedih karena apa.
Lega rasanya hatiku, ibu sudah tahu. Biar kalau aku pergi dia takkan mencegahku.
Yang jelas keputusanku sudah bulat. Berpisah dengannya. Meski aku harus berjuang kembali menghidupi diriku sendiri dan calon bayiku. Itu tak masalah.
"Jadi kamu ingin berpisah dengan Tiar?"
Aku mengangguk. "Maaf Bu, kalau aku mengambil jalan ini. Aku hanya berprinsip, kalau dia sudah menyakiti, lebih baik aku pergi."
"Tapi, Nak--"
"Ibu gak setuju kalian pisah, tapi ibu lebih gak setuju lagi kalau Tiar rujuk dengan Elvina, dia wanita yang tidak punya hati."
Aku terdiam.
"Maafkan ibu ya, Nak. Semua kekacauan bermula dari ibu. Ibu yang sudah tak bisa apa-apa, hanya bisa merepotkanmu saja. Kamu pasti bosan tiap hari harus--"
Tok ... Tok ... Tok ... Suara pintu kamar ibu diketuk dengan keras.
"Arini, kenapa kamu kunci pintu masuk ibu?" teriak suara dari luar.
Aku segera membuka pintunya.
"Arini, kenapa kamu kunci pintu kamar ibu? Kalian sedang membicarakan apa?" tanya Mas Tiar dengan tatapan penuh curiga.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Dia langsung mengambil ponselnya di saku celana. Sebelum mengangkat panggilan telepon itu, dia memandangku sejenak.
"Halo, El, da apa?" tanyanya begitu lembut. El, mungkin panggilan kesayangan untuk mantan istrinya.
"Iya, iya aku segera kesana. Siapin baju-bajunya ya, takutnya Aqilla disuruh rawat inap. Oke, aku langsung meluncur."
Dia mematikan panggilan teleponnya.
"El ... Eh sorry, maksudku Dek, aku harus ke rumah Elvina. Aqilla sakit. Aku harus mengantarnya ke RS. Nanti aku pulang lagi, kita bicarakan masalah kita lain kali ya!"
Mas Tiar terlihat khawatir, dia langsung pergi begitu saja.
Aku tersenyum masam. Hah, tetap saja kau lebih mementingkannya kan? Oke fix, kita pisah!