Hujan ringan masih berlangsung ketika Intan harus keluar dari taksinya. Di sore yang kelabu berselimut mendung dan membuat orang enggan melakukan aktivitas di luar, wanita berkulit kuning langsat itu beranjak dari taksi.
Intan setengah berlari sambil menutupi kepalanya menggunakan tas kerja yang sedari awal ia dekap dalam pangkuan, demi meredam rasa dingin yang telanjur menggerogoti tubuhnya. Wanita bertubuh kurus itu susah payah membuka gembok gerbang rumahnya menggunakan kunci serep yang ia simpan dan memang sudah menjadi kebiasaannya sekeluarga. Intan sekeluarga harus melakukannya mengingat di rumah sederhana mereka yang memiliki dua lantai, hanya memiliki seorang pekerja yang tentunya sudah sibuk mengurus segala sesuatunya.
Baru juga menggembok gerbang rumah dalam keadaan masih buru-buru demi menghindari terpaan hujan, Intan justru dibingungkan dengan keadaannya yang menjadi berdebar-debar, hanya karena indra penciumannya menangkap aroma maskulin yang sangat familier.
Dengan hati yang menjadi berbunga-bunga, berikut keantusiasan luar biasa, Intan segera memastikan suasana di depannya. Menggunakan matanya yang besar dengan bulu mata lentik yang membuat senyum di wajahnya semakin spesial, Intan menatap saksama ke ujung jalan seberang selaku sumber kedatangan. Ia melakukannya dari sela gerbang rumah bercat hitam yang sudah pudar dan cukup berkarat di hadapannya. Namun, semuanya masih sama. Tetap nihil karena tidak ada siapa-siapa di sana.
Tidak ada tanda-tanda jika pemilik parfum yang sangat Intan harapkan kehadirannya ada di sana. Bahkan meski semakin lama, aroma maskulin itu justru tercium sangat kuat.
Intan menunduk sedih bersama rasa kecewa yang mendadak mengolok-olok wanita berambut agak bergelombang dan panjangnya nyaris sepunggung itu. “Lupakan, Tan! Bertahan mencintainya hanya akan membuatmu semakin terluka!” Hati kecil Intan berusaha menyadarkan. Namun tetap saja, Intan tetap tidak bisa. Intan sungguh mengharapkan kehadiran dari pemilik parfum tersebut, meski baru mencium aroma parfum yang sama saja, wanita berusia dua puluh enam tahun itu sudah merasa sangat bahagia bahkan terharu.
Sambil mendekap tas kerjanya sebelum benar-benar berlalu dan masuk ke rumah, Intan kembali memastikan ke sumber kedatangan di perumahan kelas menengah keberadaannya dan memang jauh dari jalan raya. Namun, seperti sebelumnya. Semuanya masih sama. Tak ada tanda-tanda kehidupan lain apalagi kedatangan dari sana, termasuk dari pemilik parfum yang sukses membuat perasaan Intan campur aduk.
“Kamu hanya terlalu mengharapkannya. Kamu hanya terlalu merindukannya. Dan kamu harus berhenti dari sekarang sebelum kamu semakin terluka!”
“Mengharapkan milik orang lain yang jelas-jelas tidak bisa dibagi dan tidak ada duanya, sangat menyakitkan, Tan! Apalagi kamu tahu betul, apa yang kamu rasakan menyangkut hati dan perasaan. Tak hanya akan melibatkanmu, melainkan keluargamu dan juga keluarganya.”
Intan yang menunduk pasrah mencoba berlapang d**a. Tentunya, selain tubuhnya yang semakin kuyup, wanita itu juga kembali merapal doa agar semua rasa terlarang yang menguasai kehidupannya segera tiada. Ia berharap, Tuhan segera mengangkat semua rasa itu. Sebab, Intan sungguh ingin berdamai dengan kenyataan berikut hatinya. Lelah rasanya jika harus terus merasakan apa itu yang dinamakan “cinta sendiri”.
Akan tetapi, ketika Intan balik badan, semuanya sungguh berubah. Intan yang mendadak terdiam mematung menjadi tak beda dengan maneken-maneken yang didandani dengan berbagai aksesori, di setiap toko yang memajang.
Intan sungguh menjadi tidak baik-baik saja. Bukan karena dirinya menjadi kian kuyup karena terpaan hujan yang masih berlangsung, melainkan kehadiran seorang pria bertubuh bidang yang melangkah cepat sekaligus lebar di hadapannya.
Intan tak berkutik hanyut menatap pria gagah yang kiranya memiliki tinggi tubuh seratus delapan puluh senti meter tersebut, yang semakin lama semakin dekat dengannya. Iya, itu pemilik parfum yang sangat Intan hafal dan membuat wanita bertubuh kurus itu kacau sedari awal menciumnya.
Di mata Intan, pria bermata agak sipit itu tampak semakin memosana jika dalam keadaan cukup kuyup layaknya sekarang. Jantung Intan semakin berdetak kencang hanya karena rasa mengagumi kepada si pria yang kian tumbuh dengan liar.
Arden namanya. Pria bermanik mata kecokelatan dan memiliki ketampanan khas orang Asia itu merupakan kekasih sekaligus calon suami Inara selaku adik tunggal Intan. Keduanya akan melangsungkan pernikahan, lima hari lagi, mendahului Intan yang hingga kini masih berstatus lajang.
Meski gugup masih menyerang sekaligus menguasai, tapi Intan mencoba bersikap sebiasa mungkin. Apalagi wanita itu sadar, kini penampilannya pasti sudah terlihat sangat bodoh. Beruntung, Arden tipikal pria yang cuek dan hanya akan menatap Inara sebagai satu-satunya wanita yang Arden cinta, hingga meski Intan sampai bengong sambil menganga dan bahkan ngiler tak ubahnya orang bodoh hanya karena hanyut memandang Arden, pria itu tidak akan pernah mengetahuinya. Namun, setelah melipir dan melangkah pelan hingga membuatnya cukup berpapasan dengan Arden yang sengaja ia hindari demi menjaga kewarasan, Intan justru mendapati kedua mata Arden memerah. Selain itu, kedua tangan Arden juga mengepal kencang.
Otot berikut saraf-saraf pria bernama lengkap Arden Wicaksono itu tampak sangat tegang bahkan seolah akan keluar dari kulit yang membalut, khususnya di bagian pelipis, leher berikut kedua tangannya yang kekar. Sebuah keadaan yang membuat Intan yakin, Arden tidak baik-baik saja.
Pria yang memiliki kulit putih bersih itu sedang sangat marah. Namun, kenapa? Kenapa Arden semarah bahkan juga tampak kecewa layaknya sekarang? Bukankah seharusnya Arden sedang bahagia-bahagianya, karena sebentar lagi, pria itu dan Inara akan melangsungkan pernikahan?
“Mas, ... Arden?” Intan yang tak lagi menggunakan tasnya untuk menutupi kepala, menatap Arden dengan hati-hati. Sehati-hati nada berikut ucapan yang ia gunakan dalam menyapa pria itu.
Akan tetapi, Arden yang sempat terkejut ketika menatap Intan, seolah-olah pria itu tidak melihat dan mengetahui Intan ada di sana sebelumnya, hanya menatap Intan dengan tatapan tidak nyaman. Tatapan yang sebelumnya belum pernah Intan dapatkan, sebab biasanya, Arden akan sangat santun kepadanya, kendati pria itu memang pendiam sekaligus sangat irit bicara.
Meski sudah satu menit berlalu, Arden hanya menatap Intan dengan pandangan yang masih sama. Pandangan tidak nyaman yang seolah-olah, ketidaknyamanan yang menimpa pria berahang tegas itu juga berkaitan dengan Intan.
Meski kita berpijak di tempat yang sama, tapi semua ini makin terasa menyakitkan karena yang kamu lakukan hanyalah menatapku dengan ketidaknyamanan dan membuatmu terlihat sangat emosional, batin Intan yang kemudian berusaha tersenyum sesopan mungkin sebelum akhirnya menunduk dalam dan berlalu dari sana.
Arden melepas kepergian Intan yang mempercepat langkahnya dan Arden yakini, wanita pendiam itu sengaja melakukannya demi menghindari hujan. Sebuah kenyataan yang terjadi lantaran Intan justru menghindari Arden.
Kenapa Mas Arden ada di sini, tapi di depan enggak ada mobilnya? Apa dia ke sini naik taksi? batin Intan yang mulai menggigil karena kedinginan.
Bibir Intan sudah sampai gemetaran. Sedangkan kedua tangannya yang baru saja menutup pintu, mulai mati rasa karena kesemutan. Sebuah kenyataan yang langsung akan terjadi ketika Intan kedinginan. Sebab meski Intan berprofesi sebagai dokter spesialis anak, tapi Intan juga memiliki fisik sekaligus kesehatan yang lemah. Bahkan di saat-saat tertentu khususnya jika sampai kedinginan, Intan bisa terserang hipotermia, sebuah keadaan yang membuat Intan mati rasa bersama rasa kaku yang membuat wanita itu sulit menggerakkan tubuh.
Yang membuat Intan makin bingung dan refleks menghentikan helaan napasnya, di ruang tamu yang baru ia masuki sebagai ruang pertama setelah pintu masuk utama di rumah orang tuanya, Inara sang adik tengah menunduk sambil terisak-isak. Helai tisu yang sudah cukup kusut tampak memenuhi meja berikut lantai di sekitar sana.
Di ruang yang tidak begitu luas tersebut, Inara tampak begitu sedih seperti langit sore yang menjadi kelabu akibat dikuasai mendung. Belum lagi baru saja, Intan juga berpapasan dengan Arden yang terlihat sangat marah, selain Arden yang nyaris menangis.
Apa yang terjadi? Kenapa Inara dan Arden mendadak sama-sama bersedih? Apakah keduanya bertengkar? pikir Intan yang kemudian memberanikan diri untuk menanyakan penyebab kesedihan Inara.
Intan juga sampai menawari sang adik yang memiliki rupa jauh lebih cantik darinya, secangkir teh manis hangat. Intan berniat membuatkan teh manis hangat untuk Inara agar wanita berkulit putih bersih yang duduk di sofa berwarna abu-abu itu merasa jauh lebih tenang. Sebuah kenyataan yang juga sedang sangat Intan butuhkan. Akan tetapi, semua penawaran sekaligus bujuk rayu perhatian yang Intan lakukan sia-sia. Inara ya Inara, tetap mengabaikan Intan seperti biasa. Seolah-olah, mereka orang asing yang memang tidak perlu memiliki hubungan meski hanya bertukar sapa. Di mana yang ada, niat baik Intan justru membuat dirinya makin kedinginan.
Intan berlalu sambil mendekap dirinya sendiri demi meredam rasa dingin yang nyaris membuat tubuhnya kaku. Berulang kali ia menggigil dan nyaris membeku andai saja ia tidak menggosok-gosokan kedua telapak tangannya kemudian menempelkannya pada kedua pipi yang sudah berulang kali ia kembung kempiskan, selain ia yang kemudian mengempit tangannya di ketiak karena di sana jauh lebih hangat.
****
Malam harinya, Intan masih berlindung dalam gulungan selimut tebal, meski wanita itu juga sudah mengenakan pakaian hangat lengkap dengan topi hangat yang membungkus hampir keseluruhan kepalanya. Intan sengaja menutupi kedua telinganya demi mengurangi rasa dingin yang masih menyiksa.
Teh hangat berikut obat yang Intan konsumsi belum sepenuhnya bekerja. Intan masih kedinginan terlepas dari wanita itu yang juga masih mati rasa. Akan tetapi, karena seseorang mengetuk pintu kamarnya dari luar, mau tak mau Intan juga harus mengakhiri istirahatnya.
Intan segera beranjak dan membuka pintu. Tetunya, karena ia masih kedinginan, ia sengaja menyimpan kedua tangannya yang sudah mengenakan sarung tangan hangat, ke dalam saku sisi pakaian hangat yang dikenakan dan terbilang kedodoran. Ia dapati, Irma sang mamah yang langsung menatapnya dengan serius.
“Hipotermia-mu, kambuh lagi?” Irma mengernyit samar. Suaranya yang terdengar cukup ketus, tak hanya membuat Intan yakin, wanita berusia di akhir empat puluhan itu tak hanya heran, sebab Intan yang langsung menunduk dalam juga mendengar kemarahan dari suara sang mamah.
“Kamu sudah makan?” lanjut Irma masih di ambang pintu kamar Intan.
Intan menengadah kemudian mengangguk takut sambil mengulas senyum ramah kepada Irma. Apalagi, jika Irma sudah setegas sekarang, biasanya memang ada yang tidak beres dan harus Intan koreksi atau malah jalani. Jangan tanyakan kenapa Intan begitu takut kepada Irma, juga, kenapa Irma memperlakukan Intan dengan sangat tegas bahkan cenderung galak. Sebab, pemandangan layaknya sekarang sungguh sudah menjadi hal biasa.
Irma dan Andri sang suami sudah terbiasa memperlakukan Intan dengan penuh kedisiplinan khususnya semenjak Intan memutuskan membiarkan Inara menikah lebih dulu, kendati Intan anak pertama di keluarga mereka, selain Intan yang berusia dua tahun lebih tua dari Inara.
Irma dan Andri pernah berkilah, daripada Intan dan mereka menanggung malu lantaran Intan yang seorang wanita justru dilangkahi oleh adiknya sendiri, Intan lebih baik pergi atau bahasa halusnya mengasingkan diri dari keluarga mereka, jika memang Intan tidak mau menjalani perjodohan.
Semua itu terjadi satu tahun lalu ketika Inara mendapat lamaran dari Arden, sedangkan Intan masih adem ayem dengan statusnya yang lajang. Tentu, Intan sakit hati bahkan sangat bersedih atas kenyataan tersebut, terlebih semua itu justru ia dapatkan dari orang tuanya sendiri. Hanya saja, Intan memilih berlapang d**a terlebih apa yang orang tuanya katakan memang benar adanya.
“Mamah mau bicara,” lanjut Irma yang kemudian bergegas masuk menerobos Intan.
Intan segera menepi dan membuat tubuh kurusnya menghantam bibir pintu karena ulah Irma memang kasar.
Ada dua kemungkinan yang sudah meletup-letup di benak Intan mengenai maksud kehadiran mamahnya, sekarang. Daada Intan sampai sakit akibat jantungnya yang menjadi bekerja sangat keras, selain sekujur tubuh Intan juga mendadak seperti dididihkan dan terasa memanas. Intan yakin, masih mengenai hal yang sama dengan peringatan tegas yang ia terima satu tahun lalu, tak lama setelah Inara menerima lamaran dari Arden sekeluarga.
Lamaran akbar yang langsung membuat orang tua berikut keluarganya sangat bangga, lantaran orang biasa seperti mereka bisa menyelenggarakan pesta besar sangat mewah di sebuah hotel berbintang.
Dijodohkan, atau malah mengasingkan diri dari keluarganya sendiri, agar ia tak menjadi borok keluarga hanya statusnya yang sudah dicap sebagai perawan tua. Perawan tua yang bahkan sampai dilangkahi oleh adik perempuannya.
Intan yang melangkah pelan menyusul Irma sambil menunduk takut di tengah kedua tangannya yang sibuk saling remas di depan perut, sungguh akan mengatakan keputusannya.