Kacang Sakti

1216 Kata
08 Pagi-pagi sekali aku sudah muncul di depan rumah toko milik Pak Iwan. Tampak seorang pria muda tengah menyapu halaman yang banyak daun berguguran dari pohon besar di ujung kanan tempat ini, tepat di samping saung dan meneduhi tempat dengan dahan-dahan rimbun yang menjorok ke dalam. Isna keluar sambil mendorong motor maticnya. Aku mengerutkan dahi ketika dia menghampiri sambil memintaku turun dari Thunder. "Berangkatnya pakai motorku, Kang," ujar Isna. "Kenapa nggak pakai motorku?" sahutku. "Akang mau kita jadi bahan omongan orang sekampung? Motor mahal masuk jalan kampung bisa-bisa lecet." "Oh iya, oke deh. Tapi aku yang bonceng." "Iya, motor Akang parkirin di dekat saung aja, nanti diawasin Asep." Aku mengalah dan menuruti permintaan gadis itu. Harus mengakui bila ucapan Isna ada benarnya. Bila kami mengunjungi kampung sebelah dengan mengendarai Thunder, akan banyak orang yang penasaran dan ingin tahu tentangku. Bahaya! Nanti tambah famous! Aku mengangkat alis ketika Asep merantai ban depan Thunder sebelum memasang gembok panjang di rantai tersebut. Bertambah bingung ketika pria muda yang kukenal sebagai pegawai toko ayahnya Isna itu menghamparkan jas hujan hijau di atas jok Thunder. "Thunder jadi kayak leupeut," keluhku. "Biar aman dari tangan-tangan jahil, Kang. Belum lagi nanti daun-daun berguguran, pasti penuh," jelas Isna. "Ayok, kita berangkat sekarang. Kalau kesiangan takut A' Husni udah berangkat," imbuhnya. "Berangkat ke mana?" "Narik, Kang. Dia jadi ojek sekarang." Perjalanan menuju kampung sebelah ditempuh dengan sedikit lamban. Aku tidak berani mengebut karena jalannya banyak lubang di kedua sisi. Terpercik rasa kagum pada ketangkasan para tukang ojek yang begitu piawai menghindari lubang. Beberapa kali roda terperosok karena aku telat menarik tuas rem. Hal itu pulalah yang membuat pinggangku menjadi bulan-bulanan cubitan Isna yang kesal karena dirinya berulang kali harus menahan sakit di b****g. Aku tidak tahu sudah berapa lama berkendara. Namun, saat akhirnya kami tiba di tempat tujuan, aku benar-benar lega karena bisa meluruskan kaki dan mengistirahatkan tangan yang kebas. Aku membuka helm dan memandangi pekarangan yang cukup asri di hadapan. Beraneka ragam jenis tanaman disusun dengan rapi. Sepertinya sang pemilik rumah memiliki jiwa seni yang lumayan, karena bisa menyusun pot-pot tanaman sesuai tinggi besar pohon. Di sudut kanan pekarangan ada sebuah bangunan sederhana. Bagian dinding bawah dihiasi bebatuan hitam, sementara sisa dindingnya dibiarkan polos dengan cat gading yang tampak bersih. Pintu yang beberapa kali diketuk oleh Isna akhirnya terbuka. Seorang perempuan berjilbab cokelat muncul dan menyambut kedatangan Isna dengan senyuman dan pelukan hangat. Setelah mencium punggung tangan perempuan tersebut, Isna melambaikan tangan memanggilku yang masih berada di jok motor. Seusai memasang standar dan mengunci setang motor, aku bergerak turun dan meletakkan helm di gantungan, sebelum beranjak menghampiri kedua perempuan yang memandangiku dengan ekspresi berbeda-beda. "Kang, ini Bi Nyai, ibunya Aa' Husni," terang Isna. Aku merunduk dan menyalami perempuan tua tersebut dengan takzim. Terasa sentuhan lembut di kepala yang membuatku tiba-tiba merindukan sosok mami. "Masuk dulu, Neng Iis, Akang. Bentar, ya, bibi panggilin Husni dulu. Kayaknya lagi mandi dia." Aku mengikuti langkah Isna yang memasuki ruangan sederhana tetapi tampak sangat nyaman. Kursi tamu yang tidak terlalu empuk, aneka hiasan dinding yang sepertinya rajin dibersihkan, serta lemari kaca besar menjadi pengisi ruangan tersebut. Suara obrolan orang terdengar dari dalam rumah. Tak berselang lama seorang pria yang kutaksir usianya mungkin sama dengan kak Eza, keluar dan langsung menyalami kami. Sikap ramahnya membuatku tenang dan merasa senang karena akhirnya bisa mendapatkan teman baru. "Pokoknya hati-hati, Fai. Di pabrik itu banyak mata-mata," ujar Husni, sesaat setelah aku selesai mengungkapkan rasa keingintahuan tentang orang-orang di pabrik. "Aku dan beberapa teman menjadi korban pemecatan, karena orang-orang bermuka dua itu telah melaporkan dan memfitnah kami yang tidak-tidak," lanjutnya. "Siapa orang-orang bermuka dua itu, A'?" cecarku, tidak mau kehilangan kesempatan untuk mendapatkan informasi. "Aa' nggak tahu siapa-siapa aja mereka, cuma tau dua orang yang sejak awal juga ikut-ikutan dengan kami. Yaitu Didin dan Anwar," jelas Husni. "Kang Didin yang bagian pembukuan gudang?" "Iya, jangan terkecoh dengan sikap baiknya. Dia itu cuma pura-pura baik, tapi nusuk dari belakang." "Anwar ini yang supervisor QC, ya, A'?" sela Isna. "Oh, udah naik jabatan dia?" Husni terkekeh. "Dulu sih karyawan biasa aja kayak aa'," sambungnya. "Baru beberapa bulan sih, A'. Kayaknya nggak beda jauh sebelum Akang Fairel dan aa' Arman masuk," ungkap Isna. Husni manggut-manggut. "Pokoknya hati-hati, jangan terlalu percaya sama semua karyawan di sana. Yang aa' tau benar-benar baik itu cuma sedikit. Kayak Isan, teh Marni dan pak Rahman." "Teh Marni baik? Bukannya galak?" "Galak itu di depan doang, aslinya baik." "Ehm, A', teman-teman Aa' yang senasib, bisa nggak dikumpulin? Biar aku bisa tanya-tanya. Kali mereka bisa ngasih informasi," pintaku. "Aa' coba, ya. Tapi nggak janji nih, Fai." "Iya, A', nggak apa-apa." Suara panggilan Bi Nyai dari dalam rumah membuat kami serentak menoleh. Husni mengajak kami menuju ruang makan, tempat di mana ibunya telah menyiapkan nasi liwet dengan aneka lauk pauk yang menggugah selera. Selesai bersantap pagi menjelang siang, Husni mengajak kami memancing di kolam ikan yang berada di bagian kiri bangunan. Dua kolam berukuran sedang tampak cukup bersih. Tiga orang pria yang kata Husni merupakan pekerja paruh waktu, terlihat tengah membersihkan kebun berukuran besar yang berada tepat di belakang rumah. "Itu yang ngegantung-gantung, apaan, ya, A'?" tanyaku sambil menunjuk ke deretan bambu di sisi kiri kolam. "Kacang sakti," jawab Husni. Dia pun tergelak saat melihatku melongo. "Kacang panjang, Fai. Satu-satunya jenis kacang yang kalau udah dipotong pun tetap disebut kacang panjang," ungkapnya seusai tertawa. "Bener juga, ya." Aku melebarkan senyuman. Benar-benar tidak berpikir sampai sana. Kupikir kacang sakti itu karena benar-benar punya kemampuan khusus. Maklum, anak kota. "Kamu bisa mancing?" "Nggak. Dari dulu nggak tertarik buat mancing." "Kenapa?" "Wasting time. Belum tentu dapat." Husni mengulaskan senyuman, kemudian menepuk pundak kiri dan mengarahkanku ke arah kolam kedua, yang lebih besar dari kolam pertama. "Memancing itu seni melatih kesabaran. Gunakan waktu menunggu umpan kita dimakan ikan itu sangat mendebarkan. Di situlah seninya. Benar-benar harus sabar," jelasnya. "Kamu lihat gelembung-gelembung itu? Ikan-ikan pada ngumpul di situ. Mereka tahu bila memakan umpan kita maka mereka akan tertangkap. Tapi mereka tetap memakannya karena ingin. Meskipun nantinya jadi pengisi wajan." "Kesabaran dan keikhlasan. Dua hal ini yang bisa kita petik hikmahnya dari acara memancing. Tapi memancing yang model gini, ya. Bukan yang taruhan atau lomba," lanjutnya. Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan panjang lebar. Dalam hati harus mengakui, filosofi sederhana dari kehidupan santai yang sama sekali belum kuketahui, menjadi tambahan pesan moral dari orang-orang yang ditemui belakangan ini. Aku sedikit banyak telah mengubah sudut pandang, yang dulunya tidak peduli dengan kehidupan orang-orang yang hidupnya berada di level bawah, sekarang sangat salut dengan cara mereka berjuang untuk bertahan hidup. Hal-hal yang dulu tidak pernah terpikirkan sekarang juga menjadi keseharianku. Lebih karena terpaksa pada awalnya, tetapi akhirnya aku bisa menikmati kehidupan seperti ini, tentu saja setelah bisa ikhlas menerima takdir. Kaki diayun mengikuti langkah Husni yang telah lebih dulu jalan menuju deretan tumbuhan bernama kacang sakti. Dari kejauhan tampak Isna tengah mendekat sambil membawa boboko yang tampak mengepulkan uap di tangan kanan. Sementara tangan kirinya memegangi kantung plastik hitam yang tidak diketahui isinya. Setibanya gadis itu di dekat kami, tiba-tiba wajahnya tampak memucat. Aku memandanginya dengan sorot mata penuh tanya, bingung dengan maksud gerakan tangan kirinya yang menunjuk ke belakang. Rasa dingin yang tiba-tiba terasa di pundak membuat tubuh menegang. Juluran lidah yang disertai dengan desisan membuatku menelan ludah. Benar-benar mematikan diri saat kepala makhluk melata itu terus melewati pundak dan merayap ke d**a.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN