Lenyap

1031 Kata
04 "Eta kumaha caritana Iis jadi begini?" tanya Bu Neneng, ibunya Iis sembari memijat betis anaknya yang tengah terbaring di atas tempat tidur di kamarnya. "Ehm ... pas Iis lewat itu ... saya nggak sengaja teriak manggil," jelasku sambil menunduk, merasa bersalah karena telah mengakibatkan Iis terluka. "Masa manggil doang bikin luka gini?" Bu Neneng tampak bingung. "Iis kaget, Bu. Nggak nyadar jadi nekan rem depan ngedadak, taunya ban bergeser. Gubrak dah," timpal Iis sembari meringis. "Eleuh-eleuh, makanya jangan ngebut kalau bawa motor. Kebiasaan!" Bu Neneng menjewer telinga kiri putrinya yang seketika mengaduh, tetapi kemudian dia mengusap rambut Iis seraya tersenyum lebar. Kasih sayang seorang ibu sepanjang masa, mungkin hal seperti ini yang menyebabkan ada peribahasa seperti itu. Aku yang belum punya anak saja bisa mengerti, Bu Neneng hanya marah pura-pura. Hatinya pasti terenyuh ketika melihat kondisi kaki dan tangan putrinya yang dihiasi banyak luka. Tiga puluh menit kemudian aku dan Arman berpamitan pada Bu Neneng dan Pak Iwan. Aku menyempatkan diri untuk mengecek kondisi motor Iis di depan toko yang ternyata kerusakannya lumayan parah. Dalam hati berjanji akan segera mengganti kerusakan tersebut dengan uangku sendiri. Kami pulang ke mess pabrik dengan menumpang pada motor Wahyu dan Isan. Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam. Terbayang wajah manis Iis yang pucat kesi kala melihat luka menganga di lutut kanannya. Ternyata gadis itu takut melihat darah, dan hal tersebut menjadi salah satu kelemahannya. Sebetulnya tadi aku ingin membawa Iis ke klinik terdekat, tetapi Iis menolak dan hanya bersedia untuk diobati oleh karyawam perempuan lain di ruangan kecil. Saat tadi dibonceng Rahma, sahabatnya Iis menuju ke kediamannya, Iis pun tidak banyak bicara dan hanya menyandarkan tubuh ke punggung Rahma. Sedangkan motor Iis tadi dikendarai oleh Wahyu. Setibanya di mess ternyata senja sudah menggelap. Tubuh yang letih dan jiwa yang lelah membuatku mengantuk dan memutuskan untuk merebahkan diri sesaat sambil menunggu azan Magrib. Akan tetapi, ternyata kantuk yang mendera sangat dahsyat. Aku terlelap dalam tidur nyenyak hingga terbangun karena ingin menuntaskan panggilan alam. Mata membulat ketika menyadari bahwa saat ini sudah pukul 11 malam dan perut pun sudah berdemo minta diisi. Setelah menuntaskan hajat dan menunaikan salat, aku menuju dapur dan memasak menu andalan para pejuang rantau. Mie instan tanpa telur dan sayur tetap terasa nikmat disantap. Aromanya yang khas ternyata memancing Arman untuk bangun. Tanpa mengetuk pintu, sahabatku itu langsung saja masuk dan merebahkan diri di kasur. Matanya mengerjap-ngerjap, kemudian merebut sendokku dan dengan santainya mengambil mie dari mangkuk. "Enak, lagi dong," pintanya ketika aku merebut kembali sendok dan cepat-cepat menghabiskan makanan. "Bikin sendirilah, manja!" sungutku. "Ngantuk, pengen tinggal makan aja dan nggak harus buat." "Dikata punya bibik di sini!" "Aku kangen rumah," lirihnya. "Aku juga," timpalku. Sesaat hening, kami sama-sama merenungi nasib yang dialami saat ini. Terbiasa hidup serba berkecukupan membuat kami cukup kesulitan beradaptasi dengan keadaan sederhana seperti sekarang. "Besok pagi aku mau nelepon mami," ucapku memecah kesunyian. "Ngapain? Minta duit?" "Bukan, mau minta dikirimin si Thunder." "Hmm, apa nanti nggak bakal jadi pertanyaan kalau kamu pake Thunder?" Aku tertegun sejenak, kemudian mengangguk mengiakan. "Iya, sih. Bakal aneh karyawan pabrik pake motor mahal, ya." "Itu dia maksudku." "Terus gimana? Kita beli motor di sini?" Arman termenung sesaat. "Tapi kita kan nggak punya KTP sini, Fai." Aku menepuk dahi, benar-benar tidak berpikir bahwa urusan domisili akan merumitkan hidup. "Jadi gimana dong? Aku capek jalan kaki mulu. Mau ke mana-mana juga susah. Ngandelin orang mulu, aku kagok." Arman menggaruk-garuk dahi, gaya khasnya bila tengah berpikir keras. Tiba-tiba pria yang mengaku wajahnya mirip dengan Pasha Ungu itu menjentikkan jari seraya tersenyum lebar. Aku sedikit khawatir melihat reaksinya tersebut, karena kali terakhir dia bergaya seperti itu, keesokan harinya kami bangun di tempat tidur hotel dengan pasangan kencan satu malam masing-masing. *** Keesokan harinya, aku berangkat kerja dengan tubuh lesu. Keinginan untuk membeli motor sendiri kandas ketika tadi mami mengabarkan lewat telepon bila dua rekening atas namaku dibekukan oleh papi, yang tersisa hanya satu rekening yang saldonya minim. Hal ini sengaja dilakukan oleh papi agar aku benar-benar harus pandai berhemat dari penghasilan sendiri. Demikian pula dengan Arman, om Bayu pun telah membekukan rekeningnya. Kami jalan dengan separuh hati. Setibanya di depan pabrik kami menyempatkan diri untuk membeli nasi uduk dengan lauk ala kadarnya. Duduk bersila di pinggir jalan dekat gedung kantor utama bersama rekan-rekan lain, dan menikmati makanan sembari mendengarkan obrolan mereka. "Masa sih?" tanya Beni, seorang karyawan bagian pengepakan yang kebetulan duduk dengan jarak tiga meter dariku. "Iya, ini juga udah pada tau sih. Cuma nggak ada yang berani ngomong ke pak Rahman," sahut Fuad, pria bertubuh kurus dan memelihara kumis tipis yang merupakan salah satu karyawan senior di bagian gudang. Aku menyikut lengan Arman yang balas menatap dengan bingung. Aku menyentuh telinga kiri, memberi kode agar dia turut mendengarkan obrolan kedua pria tersebut. Bunyi khas tanda jam kerja akan dimulai seketika membuyarkan rencana kami. Dengan terpaksa kami berdiri dan beranjak menuju gudang sambil berdoa dalam hati agar Teh Marni tidak akan mengomeli kami hari ini. Detik demi detik menjadi kuli panggul terasa sangat lama dan membosankan. Aku berulang kali memukul-mukul pundak, sementara Arman memijat betisnya. Sungguh, pekerjaan seperti ini sangat berat buat kami yang terbiasa hidup dengan kemewahan. Saat waktu istirahat tiba, aku dan Arman beradu makan cepat, kemudian menunaikan salat empat rakaat secara bergantian di musala kecil. Setelahnya kami bergabung bersama teman-teman lain untuk sekadar mengobrol melepas lelah. "Katanya sih gitu, pak Dahlan ada kerjasama dengan pihak luar," ujar Beni pada beberapa orang pria yang tengah duduk-duduk. "Nggak ditindak gitu?" tanya Isan. "Entah, mungkin nunggu ada yang berani ngomong ke pak Rahman," sahut Beni. "Mana ada yang berani, bisa-bisa malah dituduh sebagai penghasut, kayak Seno waktu itu," timpal Adi, seorang pria bertubuh besar tetapi tidak terlalu tinggi. "Kalian ngomongin apaan? Aku nggak paham," tukasku yang seketika membuat semua mata tertuju padaku. "Ehm, ini tentang ... gosip di sini, Fai. Sebetulnya udah lama sih, sekitar enam bulanan," jelas Isan. "Ada beberapa hal mencurigakan di sini, pada beberapa malam tertentu. Besoknya, di gudang yang ujung itu akan ada barang-barang baru," sambungnya sembari menunjuk tempat yang disebutkannya barusan. "Terus?" cecar Arman. Dia memajukan tubuh dan sangat antusias untuk mendengarkan penjelasan selanjutnya. "Hanya satu atau dua hari aja barang-barang itu di sana. Setelah itu ... lenyap," ungkap Beni.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN