06
Hari libur pun tiba. Aku bisa bebas bangun siang tanpa harus digedor-gedor oleh teman-teman satu mess. Menjelang tengah hari barulah aku bangun dan bergegas membersihkan diri. Perut yang berdemo minta diisi benar-benar sudah tidak bisa ditolerir lagi.
Alisku bertaut ketika baru menjejakkan kaki di lantai satu, kala menyaksikan teman-teman lain sudah berkumpul di teras sambil ber oh dan ah ria. Terdorong rasa penasaran, aku menyeruak kerumunan dan seketika melebarkan mata.
"Pacarmu udah datang," ucap Arman seraya tersenyum. Sahabatku itu tengah mengelus-elus Thunder, pacar kesayanganku.
"Kok Thunder bisa ada di sini?" tanyaku sembari memegangi setang motor tersebut dan tak mampu menutupi rasa bahagia dengan tersenyum lebar.
"Dianterin pak Iwan sama sopir kantor," jelas Arman. "Terus, mami Rida nitip ini." Arman mengulurkan satu paper bag besar yang langsung kuterima dan intip.
"Mami," lirihku, terharu melihat isi paper bag itu yang berisikan berbagai macam makanan kesukaan.
Rasa rindu yang menyeruak membuatku sempat termenung. Terbayang wajah Mami yang merupakan cinta pertama. Perempuan yang selalu menerimaku apa adanya dan sering kukecewakan dengan berbagai tingkah laku yang sedikit nakal.
"Woiii! Ngelamun!" omel Arman sambil menepuk pundakku.
Aku menoleh dan langsung mengembangkan senyuman. "Beli nasi, gih. Mami ngirim lauk. Kita makan sama-sama."
"Udah dibeli ama Wahyu," sela Indra yang ternyata sudah berdiri di belakang Arman. "Ternyata tebakanku nggak salah," lanjutnya sembari menatapku dengan lekat.
"Apaan?" tanyaku.
"Kamu sama Arman, pasti anak orang kaya."
"Emang kelihatan, ya?"
"Yoih, dari cara kalian makan, berpakaian, bahkan dari cara kerja pun udah jelas." Indra terkekeh.
"Aku pun nebak gitu, mana ada karyawan pabrik biasa kulitnya bersih gini," celetuk Jaka sambil menunjuk lenganku. "Fairel kulitnya bersih, Arman juga. Sedangkan aku, burik," lanjutnya.
Sesaat kami saling beradu pandang, lalu tertawa bersamaan. Tak lama kemudian Wahyu, Burhan dan Aji, teman-teman satu mess sudah tiba dengan membawa boboko ,tempat nasi dari anyaman, yang berisi nasi hangat dengan uap mengepul di bagian atas dan beraroma harum.
Kami bertujuh jalan menuju teras yang areanya lebih luas dari ruang tamu. Arman dan Burhan memasuki ruangan tersebut dan menyeret tikar serta menghamparkannya di lantai.
Tanpa perlu diminta, Indra dan Jaka melesat ke dapur dan kembali beberapa saat kemudian dengan membawa piring, sendok dan dua botol besar yang berisi air mineral. Meletakkan benda-benda itu ke tikar dan segera didistribusikan.
Dalam hitungan menit suasana sudah sunyi, yang terdengar hanya suara orang mengunyah tanpa henti. Aku sempat menyisihkan beberapa kantung plastik bening berisi kentang pedas dan daging semur, buat teman makan malam nanti. Sedangkan lauk lainnya sengaja disuguhkan secara penuh.
Mess belum ada kulkas, jadi kami tidak punya tempat untuk menyimpan aneka makanan. Supaya makanan tidak basi dan mubazir, lebih baik langsung disantap bersama.
***
Wajah Teh Marni tampak semringah ketika melihatku datang dengan mengendarai Thunder. Namun, raut wajah itu seketika berubah kala menyadari bila Amran, Iis alias Isna, dan Rahma menyusul dengan mengendarai dua buah motor.
"Udah siap, Teh?" tanyaku sambil merapikan jaket kulit hitam yang dikenakan.
"Iya, ehm, Fai, kenapa Iis sama temannya juga ikutan?" Teh Marni balik bertanya.
"Buat nemenin, Teh. Kan kata pak ustaz juga lelaki dan perempuan nggak boleh berdua-duaan, karena yang ketiganya itu pasti setan."
Teh Marni mendelik, tetapi kemudian menurut saat Arman memintanya naik ke motor Wahyu yang dipinjamnya. Hal itu sesuai dengan adu suit yang kami lakukan tadi dan disaksikan oleh Isna serta Rahma, di mana Arman memenangkan pertandingan itu dan berhak berkencan dengan perempuan berdandan cetar tersebut.
Aku memacu motor kesayangan menuju pusat kecamatan yang terdiri dari deretan rumah toko, masjid, alun-alun, warung kopi dan banyak tempat makan yang menyajikan aneka makanan.
"Mau makan apa, Teh?" tanyaku, sesaat setelah menghentikan kendaraan di depan sebuah rumah toko.
"Mau kwetiau, seblak sama jagung bakar," jawab Teh Marni yang telah turun dari motor Arman.
"Muat semua di perut?" seloroh Arman yang langsung dipelototi oleh Teh Marni.
"Jangan rese kamu!" ucap perempuan yang mengenakan jaket bahan rajut merah menyala itu dengan gemas.
Aku tersenyum tipis, sementara kedua gadis yang ikut bersama itu cekikikan. Setelah ketiga motor terparkir berderet rapi, kami berlima jalan menuju salah satu rumah toko yang menjual aneka makanan khas Chinese, dan menempati meja di bagian depan.
Saat seorang pegawai tempat itu menghampiri, Teh Marni dengan sigap memesan menu yang diinginkan. Aku hanya bisa pasrah saat dia menambahkan cumi asam manis serta kepiting saus lada hitam. Dalam hati menghitung jumlah uang yang ada di dompet dan berharap jumlahnya cukup.
"Sudah ada kemajuan penyelidikan kalian?" tanya Teh Marni, sesaat setelah pegawai itu pergi.
"Belum ada, Teh. Tapi kata Isan, gudang ujung ada yang ngebersihin, dan biasanya setelah itu akan ada barang masuk," jawabku dengan jujur.
"Harus tetap berhati-hati, jangan menyolok kalau kalian itu dalam misi penyamaran. Lihat motormu itu teteh takut rahasia kalian bakal kebongkar."
"Semoga nggak, Teh. Kalau kerja aku nggak bawa motor."
"Lagian, duitnya Fai bakal habis buat beli bensin kalau motornya dipake tiap hari," sela Arman.
Aku manggut-manggut membenarkan.
"Masa? Bukannya ortu kalian masih ngirim duit?"
"Nggak, Teh," imbuh Arman yang memasang raut wajah sedih.
"Wuah, jadi kalian ngidupin diri gimana?"
"Kayak karyawan lain, Teh. Hidup dari satu gaji ke gaji lain," jelasku.
"Dengan menu berbagai daerah di tiap akhir bulan," timpal Arman.
"Maksudnya?" celetuk Isna.
"Menu soto, rendang, ayam, dan kawan-kawan dalam bentuk mie instan," imbuhku.
Sesaat hening, kemudian ketiga perempuan itu kompak cekikikan. Obrolan kami berlanjut dengan pembahasan mengenai hal-hal ringan. Demikian pula saat pesanan tiba, obrolan tetap dilakukan meski dengan mulut penuh.
Isna yang duduk di sebelah kiri tiba-tiba menyiku lenganku. Dia menggerak-gerakkan kepala, seolah-olah menunjuk ke pintu masuk tempat itu.
Aku mengikuti arahannya dan memerhatikan keempat orang pria berpenampilan aneh. Kubilang aneh karena di malam yang dingin seperti saat ini, mereka tidak ada yang mengenakan jaket, dan hanya mengenakan rompi berbagai warna yang memiliki banyak saku.
"Itu adalah anak buahnya pak Nanang," bisik Isna.
"Siapa itu pak Nanang?" tanyaku dengan berbisik pula.
"Mantan jawara sekaligus pengusaha yang terkenal di sini," jelasnya.
"Tapi usahanya itu hampir semua ilegal," tukas Rahma yang duduk bersebelahan dengan Isna.
"Maksudnya?" Aku dan Arman bertanya nyaris bersamaan.
"Kata Ayah, pak Nanang itu punya banyak kebun. Nah di kebun-kebun itu dia punya rumah yang dijadikan tempat perjudian terselubung," ungkap Isna.
Aku yang hendak bertanya lagi akhirnya menahan ucapan, kala para pria tersebut bergerak mendekat sambil menatap kami dengan tajam.