4. Selalu Menyalahkan

1011 Kata
Part 4 Kalau tidak ingin tersakiti, jangan menyakiti. Hidup itu tabur tuai, siapa yang menanam dia yang akan menuai. Siapa yang menggali lubang, dia sendiri yang akan terjatuh. *** Mas Dewangga ... dia pulang ke rumah? Panggilan dari Mbak Jumiroh terputus begitu saja karena sinyal di kampung memang agak susah. "Siapa yang telepon? Ibu kenapa?" tanya Mas Ramdan. "Kita disuruh pulang sama ibu." "Kenapa? Apa terjadi sesuatu sama ibu? Kamu sih, kenapa ninggalin ibu sama orang lain? Ibu itu cocoknya dirawat sama kamu. Tuh lihat sendiri kan, belum satu hari kamu di sini, udah terjadi sesuatu pada ibu?!" Aku memutar bola mata menatap tajam ke arah lelaki yang bergelar suami. Dia menyalahkanku?! Egois sekali kau, Ramdaaan! Lelaki yang ada di hadapanku ini rasanya sudah tak pantas kuhormati lagi. "Kamu menyalahkanku?! Tidak sadar diri di sini siapa yang salah?! Berbulan-bulan kamu gak pulang, Mas! Bahkan ibu selalu menanyakan kabarmu! Tapi kau selalu saja sibuk, selalu saja menghindar? Ternyata ini alasannya? Kau senang-senang dengan istri barumu!" Mas Ramdan mengacak rambutnya dengan kesal. "Aku sudah bilang, aku minta maaf, Risna. Semua ini kulakukan karena aku butuh--" "Aku tahu, kau butuh pelampiasan nafsu!" "Ehemm!! Mohon maaf Pak, Bu, kalian jangan berdebat lagi. Mari kita bicarakan baik-baik di rumah saya, jangan kedepankan emosi, kita harus berdiskusi dengan kepala dingin. Saya mohon ya, Pak, Bu, ketentraman lingkungan ini adalah tanggung jawab saya, saya tidak mau terjadi sesuatu di sini," ujar Pak RT menengahi. Aku menghela nafas panjang. Emosi di dalam d**a masih saja terus berkobar. Sungguh aku tak sanggup kalau diinjak-injak seperti ini. Bisa dibayangkan sendiri, aku yang setia dia yang mendua. Kepercayaan dan janji-janji manisnya hanya membuatku kecewa. Kini kami berdua sudah duduk di ruang tamu rumah Pak RT. Aku duduk sembari menunduk. Sungguh, hancur sekali hatiku saat ini. Sampai aku tak bisa berpikir dengan jernih. Apa yang harus kulakukan sekarang? Biarpun meluapkan emosi tetap tak mengubah keadaan. Sepanjang obrolan Mas Ramdan dan Pak RT, aku diam, menyimak ucapan lelaki itu yang terkesan menyalahkanku. " ... Selayaknya laki-laki normal, saya ingin tiap pulang kerja ada istri di rumah, menyiapkan makan, pakaian saya hingga kebutuhan biologis, tapi Risna tidak pernah mau diajak kesini, Pak." "Mas!" "Bu Risna, tenang dulu, Bu. Biar saya mendengar alasan Pak Ramdan dulu," tukas Pak RT. Aku menghela nafas dalam-dalam, lalu meminum teh yang disediakan oleh Bu RT. Sedari tadi tenggorokkan ini terasa kering dan dahaga. Mas Ramdan tega sekali memutarbalikkan fakta. Kalau begini akhirnya, aku menyesal menyetujui keputusan awal menikah dulu. Ah sebenarnya, dulu Mas Ramdan pria yang baik. Sebulan sekali dia pulang ke rumah, membawa oleh-oleh dan juga perhatian seperti biasa. Entah kenapa tujuh bulan ini dia justru berubah. Bahkan tega menikah lagi diam-diam tanpa sepengetahuanku. "Saya tidak mau menceraikan keduanya, Pak. Baik Risna maupun Alya akan tetap jadi istri saya." "Kenapa begitu, Pak Ramdan?" "Bukankah lelaki boleh berpoligami? Saya mencintai Risna sejak dulu, apalagi dia sangat berjasa dalam hidup saya, jadi tak mungkin kalau saya meninggalkan dia. Sementara Alya ..." Lelaki itu menjeda ucapannya dan menghirup udara dalam-dalam. "Saya tidak akan menceraikannya karena dia sedang mengandung anak saya, Pak. Jujur, namanya berumah tangga, saya juga ingin punya keturunan, saya ingin sekali punya anak kandung. Dan itu tidak kudapat dari Risna." "Sebenarnya saya tidak mau ikut campur dengan urusan rumah tangga kalian berdua. Tapi berhubung tadi ada keributan, saya harus menengahi. Jadi semua keputusan kembali lagi pada kalian. Diskusikan dengan kepala dingin, jangan kedepankan emosi. Insyaallah nanti ketemu jalan keluarnya. Insyaallah nanti ada titik terangnya, tetaplah tenang. Memang, menyatukan dua pikiran itu sangat sulit, berbincanglah dengan keluarga kalian, atau seseorang yang kalian hormati dan segani, mintalah nasihat padanya. Bukan hanya itu, kalian juga perlu merenung, menanyakan pada hati kecil kalian, baiknya seperti apa." Hatiku sedikit lebih tenang mendengar nasehat Pak RT. Beliau benar, aku begitu tersulut emosi hingga tak mampu mengontrol diri. Namun sekarang, aku sudah mendapatkan gambaran, Mas Ramdan tak mungkin melepaskan Alya, maka biar aku saja yang mundur. Ponselku kembali berdering. Panggilan dari Mbak Jumiroh lagi. "Hallo, Mbak." "Ini aku," sahut suara lelaki dari seberang telepon. "Tadi aku hubungi nomor Ramdan tapi tidak aktif. Kau sedang bersamanya?" "I-iya, Mas." "Berikan telponmu padanya, aku mau bicara." Aku menoleh melihat Mas Ramdan yang sedari tadi menatapku. Kepo mungkin siapa yang bicara denganku saat ini. Kuserahkan panggilan itu padanya. "Hallo. Eh, i-iya, Mas." Kudengar nada suaranya berubah gugup, wajahnya pun terlihat pias. "Iya, iya, Mas. Baik. Iya." Panggilan itu terputus, Mas Ramdan mengembalikan ponselku. "Kenapa kamu tidak bilang kalau Mas Dewangga ada di rumah?" tanya Mas Ramdan. "Mana kutahu kalau dia akan pulang hari ini." Mas Ramdan meraup wajahnya dengan kasar dan mendesah pelan. "Aku siap-siap dulu. Kita akan pulang sama-sama. Aku tunggu di depan rumah." Pria itu bangkit berdiri dan berpamitan pulang lebih dulu. Akupun bangkit dan mengucapkan terima kasih pada Pak RT, serta meminta maaf kalau kehadiranku pertama kali justru membuat keributan. Aku berjalan menuju ke rumah tempat tinggal Mas Ramdan yang berjarak lima rumah dari rumah Pak RT. "Mbak!" panggil Awan. "Maaf kalau saya lancang. Tapi saya bisa bantuin Mbak untuk membalas perlakuan suamimu yang tidak menyenangkan itu, Mbak." Aku menoleh sejenak. Untuk apa pria yang baru kukenal ini peduli? Memangnya ada masalah apa pria ini dengan suamiku? Ah tidak, aku tak ingin masalahku nantinya bertambah runyam. "Saya punya bukti-bukti foto perselingkuhan suamimu. Siapa tahu mbak membutuhkannya," ucapnya lagi lalu tersenyum. Aku masih terdiam. Tetiba ia menyodorkan selembar kertas padaku. "Ini kartu nama saya, Mbak. Simpan saja barangkali sewaktu-waktu kau membutuhkannya." "Risnaaa!" panggil Mas Ramdan yang tengah berdiri di dekat mobilnya yang berwarna putih. Langkah segera kupercepat dan mengambil koper yang tadi masih ada di bagasi mobil Awan. "Makasih, Mas Awan, atas tumpangannya," ucapku. "Ya, saya tunggu kabar baiknya ya, Mbak!" sahut Awan kemudian berlalu melajukan mobilnya dengan pelan. Mas Ramdan menatap mobil yang mulai menjauh lalu menatapku. "Kamu janjian sama dia? Bukannya baru kenal? Baru berapa jam di sini sudah pintar ya menggoda laki-laki." "Kamu ngomong apaan sih, Mas! Selalu saja menuduhku yang tidak benar." "Ah, sudahlah! Ayo masuk ke mobil! Dan ingat ya, Risna sayang, jangan katakan apapun pada ibu maupun Mas Dewangga mengenai masalah kita ini."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN