Part 2
Plaakk!
Entah dapat dorongan dari mana kulayangkan tamparan pada pipi Mas Ramdan.
Jangan dibayangkan rasanya, perih sekali. Hatiku.
"Hei, siapa kau datang-datang menampar suamiku?!"
Wanita yang tadi beramah-tamah langsung berdiri di samping Mas Ramdan. Tatapannya memindai diriku. Begitu pula denganku. Shock, tentu saja.
Suami katanya? Apa tadi aku tidak salah dengar? Untuk beberapa saat aku tak bisa berpikir apapun. Hingga ia mendorong pundakku, aku terhuyung ke belakang, untung saja tak sampai terjatuh.
"Kamu siapa? Berani sekali menampar suamiku?" tanyanya lagi, kini dengan nada lebih sinis. Matanya menatap tajam.
Jadi diam-diam, Mas Ramdan menikah lagi? Dan selama ini aku dibohongi?
Aku tersenyum masam, perih rasanya hati ini.
Plaakk! Segera kutampar perempuan yang entah siapa namanya. Dia mengerang pelan seraya memegangi pipi.
"Kurang ajar kau!!" teriaknya. Wanita itu bersiap menyerangku, untung saja Awan menghalanginya. Dia berdiri di depanku. Sementara Mas Ramdan menarik tubuh wanita itu untuk mundur.
"Mas, lepasin aku! Dia harus diberi pelajaran. Seenaknya saja menampar kita! Emangnya dia siapa, Mas?!" teriaknya.
"Sayang, tenanglah. Aku bisa jelasin!" sahut Mas Ramdan.
Melihat pemandangan itu rasanya hancur sudah pertahanan diriku. Hancur sehancur-hancurnya. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya luruh juga. Butiran bening ini jatuh berderai tanpa henti meski kuseka berulang kali.
"Wan, aku minta bantuanmu, tolong bawa dia pergi dulu. Bawa dia ke rumahmu, nanti aku akan kesana setelah menjelaskan ini pada Alya," ujar Mas Ramdan. Jadi Alya nama wanita jalangmu itu, Mas?
Ia melirik sekilas ke arahku, tatapannya berganti sendu. Seolah ada rasa iba sekaligus bersalah.
Ah beginikah rasanya dicampakkan? 10 tahun aku selalu setia menunggunya, aku selalu setia dalam hubungan jarak jauh ini tapi dia mendua? Dia mengkhianatiku? 10 tahun kugadaikan kepercayaanku padanya tapi dia justru berkhianat? 10 tahun itu pula aku rela merawat ibunya yang sakit stroke dan lumpuh, tapi inikah balasannya? Aku disia-siakan? Sakit sekali. Lebih sakit dari luka yang ditaburi garam.
Ya, 10 tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk hidup dengan orang yang ternyata ... Sia-sia.
Aaarrhhh! Rasanya aku benci sekali dengan hidupku. Kenapa kau tega sekali, Mas Ramdaaan!
Awan menarik tanganku pelan dan membawaku ke mobilnya. Rasa kelu di dalam d**a sudah tak bisa kutahan lagi. Aku menangis sejadi-jadinya menangisi nasib diri yang nelangsa ini.
"Mbak--"
Segera kutepis tangan lelaki itu. Masalahku dengan Mas Ramdan belum selesai, enak saja dia mengusirku begitu saja! Kuhirup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi rongga paru yang terasa begitu sesak.
"Maaf Mas, aku tidak mau pergi denganmu. Biarkan urusanku selesai dulu dengan suamiku."
"Tapi--"
Tak memedulikan ucapan lelaki itu. Aku kembali menghampiri Mas Ramdan yang tengah berdebat dengan wanita jalang itu.
"Mas! Aku jauh-jauh datang dari kampung buat menemuimu. Tapi inikah balasannya?! Kau justru mengusirku?"
Dua sejoli itu menoleh, kulihat sekuat tenaga Mas Ramdan menahan tangan Alya.
"Apa karena jalang ini pula kau tak pernah pulang ke rumah? Sejak kapan? Sejak kapan kau punya hubungan dengan perempuan jalang ini?!" teriakku meski nadanya tetap bergetar.
"Hei sialan, aku bukan wanita jalang! Aku ini istrinya! Kau dengar? Aku istri Mas Ramdan!!" teriak Alya tidak mau kalah.
"Sudah, cukup!! Hentikan!!"
"Tidak, Mas, aku tidak akan berhenti sebelum kau jujur padaku! Aku tidak akan tinggal diam sebelum kau menjelaskan semuanya!"
Lelaki itu menarik nafas panjang. "Risna, maaf. Maaf aku memang salah. Aku salah. Aku sudah menikah lagi dengan Alya tanpa sepengetahuanmu."
Deg! Seketika hatiku terasa membeku.
"Empat bulan yang lalu aku menikahi Alya."
"Apa??!" Aku menggeleng pelan. Persendianku terasa lemas seketika.
"Maafkan aku, Risna."
"Jadi selama ini kau anggap aku apa mas? Aku setia menunggumu pulang tapi kau justru menikah lagi? Apa ini balasan yang pantas untukku? Kau mengkhianatiku?"
"Mas, jadi dia istrimu yang dari kampung itu? Cih! Pantas saja tingkah lakunya bar-bar sekali! Gak punya sopan santun!" teriak Alya menghinaku.
"Alya, kau diam! Masuklah dan tenangkan Hendra, sepertinya dia sedang menangis mendengar keributan kita."
"Mama ... ayaaah .... hiks hiks hiks ..."
Terdengar suara tangisan anak lelaki. Dia berdiri takut di ambang pintu. Bukankah mereka menikah empat bulan yang lalu? Apakah itu anak Alya? Oh rupanya, Mas Ramdan menikahi seorang janda. Cih!
Mas Ramdan mendekat ke arahku. Dia meraih tanganku yang gemetar. Segera kutarik tanganku dan menjauh darinya. Aku menggeleng pelan. Hatiku sudah dipenuhi oleh luka.
"Risna, tolong maafin Mas, mas memang salah. Kumohon kamu mau mengerti, Ris."
"Mengerti? Kurang mengerti apa aku selama ini, Mas? Aku sudah menunjukkan baktiku untuk setia dan sabar merawat ibumu. Tapi kenapa kau lakukan ini padaku, Mas? Apa salahku?!"
"Hei, wanita kampung! Apa kau tidak tahu salahmu itu apa? Kau itu tidak bisa memberikan keturunan untuk Mas Ramdan!"