SUAMI ONLINE 13 A
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Wanita memang terkadang bisa menjadi makhluk terumit jika dihadapkan tentang hati. Sikap yang memang sudah seharusnya, kadang bisa menimbulkan pertentangan dalam hati. Niat ingin bersikap jujur malah bisa memicu rasa marah dan juga cemburu.
Danesh hanya bisa memilih di antara dua ketika melihat ekspresi wajah sang istri. Senyum yang tadi merekah mendadak menghilang entah ke mana.
"Kamu marah?" tanya Danesh lagi. Meski sudah menyiapkan hati untuk ini, tetapi rasa takut itu nyatanya masih membayangi.
Kenes masih terdiam. Ia bahkan membuang pandang ke arah lain. Hatinya mendadak panas membayangkan para gadis yang kecentilan pada Danesh, suaminya.
"Sayang ... kok, diem? Ngomong dong ... kamu marah karena aku baru cerita sekarang?" Danesh mencoba bertanya untuk ketiga kalinya.
Kenes kali ini merespons pertanyaan sang suami. Sungguh rasanya ingin mengatakan semua yang berkecamuk dalam d**a.
"Aku enggak tau ... aku bingung sama perasaanku sendiri. Aku seneng kamu udah jujur sama usahamu, tapi ...." Kenes menjeda jawabannya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa untuk para gadis itu.
"Tapi apa ... kok, berhenti ngomongnya?" tanya Danesh penasaran bercampur takut.
"Em ... ta-tapi aku enggak suka sama gadis-gadis yang diceritakan sama Anto," jawab Kenes dengan menundukkan wajahnya. Rasanya malu kalau harus mengakui ada cemburu.
Seketika Danesh merasa lega. Ia bahkan sampai berganti posisi dari rebahan menjadi duduk. Ia berpikir kalau Kenes bakal marah atau ingin mengambil jalan lain, tetapi nyatanya dia malah cemburu. Ada rasa bahagia bisa mendengar keluhan Kenes tentang gadis-gadis yang sering tebar pesona padanya. Itu berarti mulai ada perasaan dalam menjalani pernikahan ini.
Jika cemburu sudah ikut bermain, maka akan ada alasan untuk mempertahankan pernikahan yang sempat tidak diinginkan oleh sang istri.
"Jadi kamu enggak marah tapi cemburu, begitu?" Danesh bertanya kembali untuk memastikan apa yang ia dengar.
Kenes mengangkat kepalanya, menatap pria yang kini sedang tersenyum bahagia melihat kebodohan dirinya tentang istilah cemburu. Ia baru menyadari itu sekarang, tepat di depan sang pria. Kan, malu ketahuan mulai jatuh hati.
Belum sempat menjawab, Danesh sudah membawa raga Kenes ke dalam dekapan. Ia memeluk tanpa memberikan kesempatan Kenes untuk bernapas.
Kenes mencoba membalas pelukan sang pria dengan satu senyum tipis. Namun, semenit kemudian senyum itu berubah rintihan.
"A-aku ... enggak bisa napas, Mas," rintih Kenes menahan sesak.
Seketika Danesh melepaskan pelukannya. Ia terlalu bahagia sampai memeluk Kenes begitu erat.
"Maaf ... aku terlalu senang. Makasih, kamu udah mau berjalan bersama sampai detik ini. Aku janji, tidak akan tergoda oleh gadis-gadis itu. Wajahmu sudah cukup mengalihkan duniaku," ucap Danesh sembari menghadiahi kecupan lembut di pucuk kepala sang istri.
Kenes mulai merasa beruntung bisa memiliki pria seperti Danesh. Hidup lebih terasa indah jika selalu dicintai tanpa batas oleh pasangan. Ia tidak bisa membayangkan jika dirinya menolah pernikahan ini dan hidup dengan menyimpan cinta pada orang yang tidak kenal. Cinta sendiri itu rasanya sakit.
"Besok aku anterin apa gimana?" tanya Danesh setelah menarik diri dan kembali ke posisi semula.
"Terserah aja sih ...."
"Aku anterin aja ya? Besok mau ke rumah bantuin Ayah soalnya. Nanti kalau kamu jadi ke sana sama Yuyun, kamu kabari aja, biar nanti pulangnya bareng aku. Eh, sudah punya nomor ponselku belum? Sampai lupa soal ini," tanya Danesh sambil mengambil ponsel dalam saku.
Matanya memeriksa kontak telepon, dan ternyata belum menyimpan nomor Kenes. Ia terlalu gembira karena bisa berinteraksi langsung tanpa sambungan telepon, hingga melupakan menyimpan nomor sang istri.
"Kamu tulis nomormu," titah Danesh lalu menyodorkan ponselnya.
Kenes mengetik beberapa angka lalu menghubungi ponselnya sendiri. Setelah terhubung, Kenes memberikannya pada Danesh.
"Mau dikasih nama siapa? Biasanya selalu ada nama unik jika menyimpan nama kontak pasangan. Sebagai bentuk penghormatan untukmu," tanya Danesh.
"Kalau sayangku, gimana?" usulnya.
Kenes berpikir itu terlalu berlebihan untuk usianya yang tak lagi muda. Ia tidak ingin menjadi bahan candaan oleh Yuyun dan Anto karena menjadi bucin di waktu yang tidak tepat.
"Pakai nama aja kenapa? Enggak usah pakai sayang-sayangan segala," jawab Kenes dengan wajah menghangat. Malu.
Danesh mencoba mengerti alasan di balik penolakan Kenes. Nama Sayang bukanlah sebuah kelucuan di pikirannya, melainkan sebuah panggilan istimewa untuk istri tercinta.
"Ya udah pakai nama aja. Nanti kalau udah punya anak bisa diganti dengan Bunda atau Ibu," jawab Danesh dengan mengedipkan matanya.
Saat tangan akan menyentuh layar ponsel, tiba-tiba ia berpikir tentang nama panggilan istimewa untuk Kenes.
"Eh, kalau aku kasih nama Kendin gimana? Ken-ken dinda," tanya Danesh sembari menatap wajah Kenes yang keheranan.
"Kendin? Dengernya aneh. Kasih nama Kenes aja, kenapa? Enggak usah aneh-aneh, deh!" protesnya lagi. Kali ini wajahnya mulai terlihat tidak suka.
"Iya ... Sayang ... iya ... ini aku udah kasih nama Kenes. Sekarang bobo ya ... udah malem. Besok, kan, kamu udah mulai sibuk lagi," titah sang pria yang kembali merebahkan tubuhnya.
Kenes ikut berbaring dengan tangan menarik selimut sebatas d**a. Namun, sebelum selimut itu berpindah tempat, gerak tangan Kenes tertahan karena merasakan ada sentuhan.
"Bobonya di sini aja." Danesh menarik pundak sang istri agar mendekat ke arahnya. Meski ragu, Kenes menerima saat tangan Danesh menuntun kepalanya bersandar pada dadanya.
Danesh mengusap lembut rambut hingga Kenes mulai mengantuk. Namun, pikirannya masih belum tenang karena mengingat perkataan Danesh yang ingin mengunjungi ayahnya. Kenes menjadi ingat kedua orang tuanya. Ia belum memberi kabar kedatangan Danesh setelah acara pernikahan. Mungkin besok perlu memberi kabar lewat telepon. Ia takut kalau ibunya menjadi khawatir.
Mereka berdua akhirnya menyerah karena kelopak mata yang mulai terasa berat. Mereka bersama tenggelam dalam alam mimpi masing-masing yang menggambarkan perasaan keduanya. Tidur saling berpelukan menambah keindahan mimpi mereka.
~~
Alarm ponsel yang tergeletak di meja kecil dekat tempat tidur, membangunkan mimpi indah Kenes. Tangannya mencari keberadaan ponsel untuk segera mematikan bunyi alarm. Mata yang masih terasa berat memaksa terbuka untuk melihat angka pada jam di layar ponsel, ternyata masih menunjukkan pukul 4.30 WIB.
Kenes melihat pria di sampingnya masih terlelap dalam mimpi. Meskipun cahaya lampu kamar tidak terlalu terang, tetapi wajah Danesh bisa terlihat dengan jelas. Kenes memberanikan diri menatapnya lebih dekat.
"Alisnya bagus ... hitam dan tebal," lirih Kenes. Senyumnya merekah begitu saja saat melihat bulu mata Danesh yang lentik, mirip sekali dengan punga wanita. Tatapannya beralih turun ke hidung mancungnya. Sungguh perpaduan yang sempurna untuk seorang lelaki idaman.
Ia jadi berpikir kalau wajar jika para gadis di sana menjadi tergila-gila pada wajah suaminya. Danesh memang tampan, romantis dan perhatian.
"Moga aja nanti kalau dikasih anak, wajahnya mirip dia, jangan kayak aku," doanya dalam hati.
Kenes mulai memimpikan lebih akan hubungan pernikahan ini. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya. Namun, saat melihat selimut menutupi separuh wajah sang pria, Kenes merasa seperti pernah melihatnya di suatu tempat.
-----***----
Bersambung