Black Rose - 09

1539 Kata
Rasanya baru saja aku terlelap. Tapi, sebuah suara seakan memaksaku bangun dan melihat apa yang terjadi. Ada sepasang kekasih yang tampak bercengkerama hangat di depanku. Keduanya tampak bahagia meski aku tak dapat melihat dengan jelas wajah mereka. Aku tersenyum. Jika dipikir-pikir, mungkin seperti itulah yang aku impikan dalam sebuah hubungan. Di atas meja yang mereka tempati, ada buket bunga lili yang sangat cantik. Aku suka lili. Bukankah lili terlihat sangat anggun dan menawan? "Aku masih ada satu hadiah lagi untukmu," ucap sang pria sembari menggenggam tangan gadisnya. "Lagi? Apa? Aku rasa semua ini sudah lebih dari cukup, Mas. Kamu membelikanku bunga, kamu mengajakku nge-date walau aku tahu kamu sedang sibuk. Kamu, menyiapkan semua ini dengan-" "Ssstt... bunga bisa layu. Tidak mungkin aku hanya memberimu itu," potong laki-laki itu. "Lalu?" tanya si gadis berambut hitam lebat itu. "Tutup matamu!" Ah... aku ikutan tidak sabar, menunggu apa yang sebenarnya laki-laki itu akan dia hadiahkan pada gadisnya. Kalung! Aku bahkan bisa melihat betapa cantiknya kalung berliontinkan bunga lili itu. Dan ada huruf 'A' di samping bunga lili itu. So sweet. Si gadis membuka matanya setelah kekasihnya selesai memasangkan kalung itu di lehernya. "Apa ini tidak terlalu berlebihan? Perusahaanmu bahkan baru saja berkembang, Mas. Aku yakin kalung ini cukup menyiksa keuanganmu," ujar sang gadis merasa tidak enak. Kata-kata itu terdengar begitu tulus. Hanya mendengarnya saja, aku yakin jika dia memang gadis yang baik dan benar-benar mencintai kekasihnya. "Harga kalung itu tak sebanding dengan seberapa berharganya kamu untuk aku. Toh, selama ini aku bekerja keras membangun usahaku juga demi kamu, demi masa depan kita," balas si laki-laki. Aku tersentuh mendengar kata-katanya. Aku menoleh ke sekitar. Bukan restoran yang besar. Namun cukup menampakkan kesan hangat dan romantis. Aku rasa laki-laki itu memiliki selera yang sama sepertiku dalam menilai satu tempat. Dan dapat aku simpulkan, sepasang kekasih itu memang saling mencintai. Cinta mereka sangat tulus hingga aku bisa turut merasakannya. Bahkan aku iri pada mereka. Suatu hari nanti, akankah aku bisa merasakan kebahagiaan seperti yang gadis itu rasakan? Bersama dengan laki-laki yang aku cintai, dan juga tulus mencintaiku. "Calista," Aku menoleh. Mencari seseorang yang memanggil namaku. Tapi ntah mengapa, aku tak dapat menemukannya. "Calista," Aku yakin seseorang memanggil namaku. Hingga kepalaku terasa pusing karena tak kunjung menemukan arah suara itu berasal. "Iya," balasku. "Calista bangun!" "Bangun! Ini sudah siang!" Aku sedikit terpenjat dan memaksakan mataku bekerja lebih cepat untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Aku baru saja bangun tidur? Jadi, yang tadi itu hanya mimpi?  Kepalaku terasa berat memikirkannya. Mimpi itu terasa sangat nyata. Aku bahkan tidak menyangka jika itu hanya mimpi. Apa mimpi itu datang saking inginnya aku memiliki hubungan yang normal dengan seorang laki-laki? Apakah isi mimpi itu merupakan harapanku dari hati yang terdalam, yang tak pernah aku ungkapkan? "Bangun! Kenapa malah bengong?" tegur Mama. Aku meringis. Kepalaku benar-benar pusing. Rasanya masih tidak mungkin jika apa yang ku lihat tadi hanya mimpi. "Cal," "Iya, Ma. Ini Calista sudah bangun. Biarkan Calista ambil napas dulu," pintaku. Mama menggelengkan kepalanya. Namun sesaat kemudian, Beliau berjalan keluar dari kamarku. Perlahan, akupun segera bangkit dari tempat tidurku. Berjalan sempoyongan ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap pergi ke kampus. Ini hari Jumat. Hari perkuliahan terakhir di minggu ini. Hanya ada dua mata kuliah yang itu artinya aku akan pulang lebih awal. Setelah sarapan, aku segera keluar. Menunggu Edwin di depan rumah. Tapi, mataku melihat sesuatu yang janggal di pagar. Aku pun menghampirinya. Setangkai mawar hitam. Lagi??? "Pak! Pak Joko!" aku memanggil Pak Joko yang tengah mencuci mobil Papa. Beliau pun berlari ke arahku. "Iya, Non?"  "Bapak tahu siapa yang meletakkan bunga ini di sini?" tanyaku to the point. "Sejak kapan itu ada di sana?" gumam Pak Joko, "maaf, Non tapi saya kurang tahu. Sepertinya saya tidak menyadarinya saat ada orang yang meletakkan bunga itu di sana," terang Pak Joko. Aku mengangguk mengerti. Tak mau menambah beban pikiranku sendiri, aku pun berniat membuang bunga itu. Bersamaan dengan aku membuka gerbang, mobil Edwin datang. Laki-laki itu langsung membuka kaca mobil depannya. "Apa itu?" tanyanya. Ah... aku baru ingat kalau aku baru akan membuang bunga sialan ini. Padahal mawar berwarna hitam cukup langka. Tapi, kenapa kesannya sangat horor ketika aku mendapatkannya dari orang tidak jelas seperti ini? Sangat disayangkan. "Ini? Orang iseng," jawabku kemudian melempar mawar hitam itu ke tempat sampah. Tampaknya Edwin tak mau memperpanjang pembahasan ini. Ia hanya diam dan membiarkanku masuk ke bangku penumpang seperti biasanya. "Hari ini kamu pulang jam sebelas, kan? Bagaimana kalau kita makan di luar?" tanyanya. "Boleh," jawabku. Entah kenapa, aku langsung terbayang kejadian manis di mimpiku semalam. Makan berdua, dan hadiah manis dari kekasih laki-laki. Bukankah sangat mengasyikkan jika aku juga mendapatkannya? "Kamu tampak bersemangat hari ini. Aku suka," ujar Edwin sembari mengusap puncak kepalaku. Setelah itu, Edwin menjalankan mobilnya. Baru beberapa meter, ia memperlambat laju mobilnya ketika sebuah motor keluar dari pekarangan rumah yang hanya selisih beberapa blok dari milikku. Laki-laki itu sangat aku kenal. Dan pagi ini ia tampak terburu-buru hingga tak melihat mobil kami yang ada di belakangnya. Kak Gana. Siapa lagi laki-laki yang lebih misterius daripada dia di komplek ini? "Tetanggamu?" tanya Edwin yang segera aku angguki. "Ck, caranya mengendarai motor sangat berbahaya. Lain kali kamu harus hati-hati saat melewati rumah ini," pesan Edwin padaku. Aku tersenyum. Setelah ku pikir-pikir, Edwin sangat perhatian padaku. Caranya memperlakukanku juga cukup baik dan manis. Apakah aku boleh mulai membuka hatiku untuknya? * Jam kuliahku telah usai. Aku baru saja memasukkan alat tulisku ke dalam tas. "Cal, makan siang bareng yuk! Kamu deh yang pilih tempatnya," ajak Kenny. Aku menatap mata penuh harap sahabatku itu. Jika diingat-ingat, akhir-akhir ini kami memang jarang jalan bareng. Apalagi sampai makan di luar area kampus. Padahal dulu hampir setiap hari kami melakukannya. "Aduh, Ken, besok-besok gimana? Aku sudah ada janji," tolakku halus. Tampak raut kekecewaan dari wajah sahabatku itu. Ah... aku jadi tidak enak hati padanya. "Sama pacar kamu itu, ya?" tanyanya. Aku mengangguk.  'Ting' sebuah pesan masuk. Aku kira dari Edwin, ternyata Papa yang mengirimnya. 'Apa Edwin bisa menjagamu? Atau Papa perlu menyewakan pengawal untukmu? Sepertinya Papa mulai tahu siapa yang ada di balik teror mawar hitam itu.' Topik pembicaraan yang sangat menarik. Aku akan segera menanyakannya dengan Papa nanti ketika di rumah.  Aku sangat penasaran, kira-kira siapa dalang di balik teror mawar hitam itu? Dan apa motifnya? Bahkan Papa sampai berniat menyewa pengawal untukku. Apakah itu artinya orang-orang ini sangat berbahaya? "Cal," panggil Kenny. "Sebentar, Ken. Aku balas pesan Papa dulu ya," balasku. 'Di kampus aku selalu bersama Kenny, Pa. Sedangkan di luar kampus aku selalu bersama Edwin. Aku rasa mereka cukup mampu untuk menjagaku. Papa tidak perlu khawatir tentangku.' Setelah mengirim tombol kirim, aku segera beralih kembali ke arah Kenny. "Jadi gimana? Kapan kamu ada waktu buat main sama aku?" tanya Kenny. Aku benar-benar merasa tidak enak. Rasanya seperti selama berpacaran dengan Edwin, aku telah melupakan Kenny. Padahal aku jauh lebih dulu mengenalnya dibandingkan Edwin. Selama ini juga Kenny yang selalu ada di sampingku. "Bagaimana kalau nanti malam kita makan di mie ayam depan komplek?" tawarku. Kenny mengangguk cepat. Ia tampak sangat antusias. Hal-hal sekecil ini pun ternyata sangat ia rindukan. Maaf, Kenny. Aku sadar beberapa hari ini seakan ada jarak di antara kita. Tapi aku janji, aku akan mencoba bicara dengan Edwin agar dia mau menerimamu sehingga kita bisa lebih leluasa menghabiskan waktu bersama seperti sebelumnya. "Ya udah ayo! Aku antar kamu ke depan. Pasti pacar kamu sudah nunggu," tawarnya. Aku menggeleng, "lebih baik kamu langsung ke parkiran. Aku tidak mau kamu didebat lagi sama Edwin. Aku nggak apa-apa kok jalan dari sini sampai gerbang sendirian. Aku duluan ya, Ken," pamitku. Kenny membalasku dengan senyuman andalannya. Setelah itu, aku bangkit dan berjalan sendirian menuju gerbang. Di sepanjang jalan, aku terus memikirkan pesan dari Papa. Apa benar Papa sudah mulai mendapat titik terang tentang teror itu? Seberapa berbahayanya orang itu hingga Papa tampak sangat khawatir terhadapku? Padahal, setahuku teror yang ku terima selama ini tidak terlalu berbahaya. Ia bahkan hanya mengirim benda-benda tidak jelas dan sama sekali tidak membahayakan nyawaku. Apa ada rencana besar lain yang telah ia siapkan, dan Papa sudah mengetahui itu? Apapun itu, aku harap aku akan baik-baik saja. "Calista!" Aku terpenjat. Aku baru sadar kalau aku baru saja melewati mobil Edwin. Bagaimana aku bisa melewatinya begitu saja? Padahal mobil itu sangat mencolok dibanding mobil-mobil di sekitar sini. Tampak Edwin keluar dari mobilnya lalu membukakan pintu untukku. "Ayo masuk!" ajaknya. Aku mengangguk gugup, kemudian berjalan ke arah pintu bangku penumpang. Beberapa saat kemudian, kami sudah duduk bersebelahan dalam diam. "Ada masalah?" tanyanya tiba-tiba. "Ap apa? Maksudnya, masalah apa? Nggak kok," balasku. "Aku tahu ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiranmu. Tapi, tidak apa-apa kalau kamu belum mau cerita sekarang. Aku bisa mengganggunya. Tapi ingat, kapanpun kamu merasa perlu bantuanku, segera beri tahu aku!" ujar kekasihku itu. Lagi, aku hanya bisa mengangguk kaku. Aku mulai dilema. Apakah sebaiknya aku ceritakan masalah teror itu pada Edwin? Setidaknya ia cukup punya power untuk melindungiku, jika memang teror itu berbahaya. *** Bersambung.... Masih bersedia bermain puzzle denganku? Bagaimana? Apakah sebaiknya Calista cerita ke Edwin tentang teror mawar hitam itu? Kalau Edwin tahu, kira-kira responsnya akan seperti apa? Atau, apakah kalian sudah mulai kepikiran kira-kira siapa peneror itu?  Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa ramaikan kolom komentar, biar dapat notif balasan komentarku ketika ceritanya update besok :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN