Black Rose -14

1625 Kata
Calista POV *** Aku tengah berjalan di sebuah taman kota. Keadaannya cukup sepi. Hanya ada beberapa orang yang kadang berlalu-lalang di sekitarku. Langkahku terhenti ketika tatapanku menangkap bayangan seorang gadis yang wajahnya tak dapat aku lihat jelas, tengah duduk di sebuah kursi panjang. Aku tersenyum melihatnya. Entah mengapa, gadis itu sepertinya memiliki aura yang kuat, yang bisa menarik perhatianku meski aku tak dapat melihat jelas seberapa cantiknya ia. Aku lebih menajamkan penglihatanku. Ah, aku baru sadar. Ternyata ada sebuah kotak kecil di pangkuannya. Gadis itu juga tampak begitu ceria hingga ia menggoyang-goyangkan kakinya. Haruskah aku datang dan menyapanya? Sepertinya menarik memiliki teman sepertinya. Aku melangkah mendekat. Baru sekitar lima langkah, namun aku kembali membeku saat melihat seorang laki-laki berdiri di hadapan gadis itu. Mungkinkah itu kekasihnya? Aku memilih memerhatikan keduanya dari jarak jauh seperti ini. "Kamu datang!" sorak gadis itu dengan suara riang, kemudian langsung berdiri dan memeluk lelaki itu. Ah... benar, dia kekasihnya. "Mana mungkin aku tidak datang? Sudah menunggu lama?" tanya sang pacar. Gadis itu menggeleng. Sesaat kemudian, laki-laki itu menyodorkan buket lili putih untuk gadisnya. Oke. Ada yang aneh. Aku merasa sangat familiyar dengan keadaan ini. Aku rasa ada sesuatu yang mengharuskanku untuk terus memperhatikan mereka. "Happy anniversary, my White Lily," ujar si laki-laki. White lily? Aku benar-benar merasa tidak asing dengan sapaan itu. Gadis itu menerima pemberian kekasihnya dengan riang. Kemudian, giliran ia menyerahkan hadiahnya. Kotak yang sedari tadi ia bawa. "Ini buat kamu," ujarnya. Laki-laki itu terdiam untuk beberapa saat. Keduanya saling bertukar tatap selama keadaan hening itu. "Ini-" "Buka saja! Aku harap kamu akan menyukainya," potong si gadis. Terdengar suara kekehan dari laki-laki itu. Ia mengangkat tangannya, kemudian mengusap puncak kepala kekasihnya dengan penuh kasih. So sweet... "Ayo buka!" pinta gadis itu. Ia bahkan tampak lebih antusias dibanding yang menerima hadiah itu. "Harusnya kamu tidak perlu memberiku hadiah. Karena keberadaan kamu di sisiku sudah menjadi hadiah terindah dalam hidupku," ucap si laki-laki. "Aku juga ingin memberikan kamu sesuatu yang bisa kau simpan. Agar kamu bisa terus mengingatku meski aku tidak sedang berada di sampingmu," balas si perempuan sembari menyentuh sesuatu di lehernya. Aku menyipitkan mataku untuk bisa melihat lebih jelas apa yang tengah dipegang oleh gadis itu. Sebuah liontin berbentuk bunga lili dan huruf "A". Aku merasa semakin aneh. Apa sebegitu sukanya gadis itu dengan bunga lili? Lalu, huruf "A"? Apa maksudnya? Apa inisial nams salah satu di antara mereka? Entah milik yang laki-laki, ataupun perempuan. Fokusku teralihkan ketika tangan laki-laki itu mulai membuka tutup kotak kecilyang diberikan kekasihnya. Oke, aku juga penasaran. Jadi cepatlah buka! Kain? Sebuah kain kain berwarna biru muda, dan aku tidak tahu itu apa. "Apa ini?" Baiklah, laki-laki itu sudah mewakiliku untuk bertanya. "Sapu tangan. Lihatlah! Aku sudah menjahitnya sendiri," terang si gadis. Aku berjalan mendekat ketika gadis itu membentangkan kain berukuran kecil itu. Aku tidak yakin, tapi seperti ada gambar bunga lily berwarna putih, dan di bawahnya juga ada dua huruf yang tampak kabur dari penglihatanku. Apakah salah satunya itu huruf "A", dan satunya lagi... apa itu? H? K? M? Atau mungkin N? Aku tidak yakin. "Kamu suka?" tanya gadis itu, menyita perhatianku. "Aku- ini benar-benar kamu yang membuatnya sendiri?" Laki-laki itu kelihatannya kehabisan kata-katanya. Gadis itu mengangguk.  Secepat kilat, laki-laki itu memeriksa tangan kekasihnya. "Benar-benar dengan menjahitnya dengan kedua tanganmu sendiri?" tanyanya lagi. Dan lagi, gadis itu mengangguk tanpa ragu. "Apa kamu tidak menyukainya?" ulang gadis itu. Ia tampak sangat tidak sabar menunggu jawaban kekasihnya. "Ah.." Gadis itu merintih saat laki-laki itu sedikit menekan tangannya. "Lihatlah! Kamu sampai terluka. Luka ini pasti kamu dapatkan saat menjahit sapu tangannya," lirih sang laki-laki. Gadis itu cepat-cepat menarik tangannya dan menyembunyikannya di belakang tubuhnya. "Harusnya kamu tidak perlu-" "Tentu saja perlu. Aku juga ingin memberikan sesuatu yang berarti untukmu. Setidaknya sekali saja, aku harus membalas kebaikanmu padaku," potong gadis itu. Sang laki-laki langsung membawa gadis itu ke dalam dekapannya. Setelah beberapa saat, pelukan mereka terurai. Entah siapa yang mengurainya duluan. Si gadis mengambil sesuatu dari sakunya. "Lihatlah! Aku punya satu. Ini sapu tangan berpasangan. Aku sengaja membuatnya dan aku harap kita akan sama-sama menyimpan sapu tangan ini untuk selamanya," ujar gadis itu. Si laki-laki mengangguk. Kemudian kembali membawa kekasihnya ke dalam dekapannya. "Terima kasih. Aku sangat-sangat menyukai hadiahmu. Sekali lagi, terima kasih," ujarnya. Pandanganku mengabur. Semakin kabur, gelap, dan tiba-tiba aku merasa ada yang aneh pada diriku. Aku berusaha membuka mataku kembali. Rasanya berat, namun aku tetap memaksanya. Tunggu! Di mana aku sekarang? "Sweety!!!" Aku langsung dikejutkan oleh teriakan Mama yang ternyata sudah ada di dekatku dari tadi. "Ma?" lirihku. "Kamu sudah sadar! Apa ada yang sakit? Apa Mama perlu memanggilkan dokter untukmu?" berondong mamaku. Tunggu! Bukankah tadi aku dalam posisi berdiri di sebuah taman? Kenapa aku bisa-bisa sampai di kamar dalam posisi tiduran?  Apa tadi aku pingsan, lalu ada yang mengantarku ke rumah? Itulah sebabnya juga Mama khawatir dan berniat memanggilkan dokter untukku? "Apa tadi aku pingsan? Lalu-" "Ya. Semalam lebih tepatnya," ralat Mama. Semalam? Ku pikir, ketika aku di taman itu masih sore. Oh iya, taman itu, aku merasa asing. Sepertinya bukan taman di sekitar sini. Bagaimana aku bisa sampai ke sana? "Kamu tidak apa-apa? Kenapa kamu melamun? Apa kamu masih ketakutan, sweety? Yah, putriku ini pasti merasa sangat ketakutan." Aku sangat bingung saat Mama tiba-tiba memelukku. Takut? Untuk apa? "Calista!"  Itu suara Papa! Aku segera mengalihkan pandanganku ke arah pintu. Dan benar saja, laki-laki yang paling aku cintai di muka bumi ini datang. Papa berjalan ke arahku, kemudian menanyakan keadaanku.  "Calista tidak apa-apa, Pa. Rasanya hanya seperti saat Calista bangun tidur seperti biasa," jawabku apa adanya. "Semalam kamu pingsan ketika makan dengan Kenny. Dia mengantarmu pulang, dan tentu saja membuat kami khawatir bukan main," terang Papa. "Tunggu! Aku pingsan saat makan dengan Kenny? Bukankah-" Aku segera menghentikan ucapanku. Beruhasa mengingat apa yang sebenarnya terjadi, sebelum melanjutkan kalimatku. Astaga! Benar. Semalam aku makan dengan Kenny, lalu aku pingsan setelah melihat isi kotak yang mengerikan itu. Mengingatnya saja, perutku sudah langsung merasa mual. "Kamu tidak apa-apa, sayang?" tanya Mama. Aku menggeleng cepat. Tidak mau kedua orang tuaku semakin khawatir dengan tingkah anehku pagi ini. "Tidak mungkin kan, kamu lupa kejadian semalam?" selidik Papa. "Papa ini. Tidak mungkin lah Calista lupa. Ini pasti karena ia masih shock, dan dia baru saja bangun jadi kesadarannya belum pulih sepenuhnya!" omel Mama. Papa mengangguk mengerti, kemudian duduk di ujung kasurku. Papa mengusap kepalaku lembut. Aku memejamkan mataku sesaat untuk menikmatinya. "Kamu tidak perlu khawatir! Papa akan mengerahkan semua kemampuan Papa untuk mencari tahu siapa dalang di balik semua ini. Papa akan memberikan ganjaran yang setimpal untuknya," ujar Papa lembut. "Dan pastinya, Papa akan melindungi putri Papa yang cantik ini. Kamu percaya kan sama Papa?" imbuhnya.  Aku mengangguk sembari tersenyum semanis mungkin. Aku ingin menunjukkan bahwa aku sangat mempercayai Papa, sekaligus membuktikan bahwa aku sekarang sudah benar-benar dalam keadaan baik agar mereka tidak khawatir. "Tuan, Nyonya, di depan ada Tuan Edwin yang mencari Nona Calista," ujar seorang maid. Aku mengembuskan napas jengah. Bisa-bisanya aku melupakan jika sekarang aku memiliki kekasih. "Kamu mau menemuinya, Calista?" tanya Mama. "Tidak bolehkah dia masuk saja? Aku akan mandi beberapa menit, lalu dia bisa menemuiku setelah aku selesai mandi. Bagaimana?" ujarku meminta izin. "Tentu tidak. Lebih baik bicara di luar," tolak Papa. Tentu saja. Memang apa yang aku harapkan? Papa mengizinkannya? Mustahil. "Tapi Calista baru saja bangun sadar dari pingsannya. Mama juga tidak tega kalau dia menuruni tangga sendirian," bela Mama. Aku mengangguk cepat, kemudian memasang muka memelasku pada Papa. Cara ini biasanya efektif untuk mengubah pikiran Papa. Aku harap Papa bisa luluh.  'Tok tok tok' "Boleh saya masuk?" Aku membulatkan mataku. Laki-laki itu- dia benar-benar sudah berdiri tegak di ambang pintu kamarku yang sedari tadi terbuka. Apa dia gila? Bahkan aku masih dengan muka bantalku yang ku anggap aib. Gila. Dia benar-benar menjengkelkan. Cepat-cepat aku menarik selimut untuk menutupi muka bantalku darinya. "Kamu tidak perlu malu menunjukkan wajah bangun tidurmu itu, sayang," ujarnya santai. Astaga, ia bahkan sudah masuk ke kamarku dengan seenaknya. "Kamu tetap cantik di mataku meski tanpa polesan apapun," imbuhnya. "Tapi tetap saja! Aku bahkan belum cuci muka," keluhku. Ku dengar kekehan wanita di sampingku. Astaga, Mama bahkan mentertawakanku. "Edwin, Om mau bicara denganmu. Biarkan Calista membersihkan dirinya dulu, dan kita bicara di ruang kerja Om," ujar Papa. Papa memang penyelamatku! "Saya tidak masalah melihat Calista seperti ini. Saya-" "Ini tentang teror yang Calista dapatkan semalam, hingga ia jatuh tak sadarkan diri," potong Papa. "APA?" Kelihatannya Edwin terkejut mengetahuinya. Aku tidak yakin, apakah menceritakan kejadian semalam pada Edwin adalah hal yang tepat? Tapi, kalau itu yang terbaik menurut Papa, baiklah. Lebih baik aku diam. Papa selalu tahu apa yang terbaik untukku. Ku rasakan keheningan di sekitarku untuk beberapa saat. Aku sedikit menyingkap selimutku. Memperlihatkan hanya mataku saja, untuk menatap satu per satu orang di kamarku. Dan Edwin masih di sana. Ia pun juga menatap ke arahku, dengan tatapan yang sulit aku artikan. Setelah beberapa detik berlalu, kekasihku itu memutus tatapan kami dan beralih pada Papa. Edwin mengangguk. Dan setelah itu, kedua laki-laki itu melangkah keluar dari kamarku. Aku menghela napas panjang. Setidaknya aku punya cukup banyak waktu untuk membersihkan diriku. "Perlu Mama bantu ke kamar mandi?" tawar Mamaku. "Tidak perlu, Ma. Tapi kalau boleh, Calista mau minta tolong Mama untuk panggilkan maid. Biar mereka menyiapkan pakaian ganti untuk Calista," ujarku. Mama langsung menyanggupi permintaanku. Setelah itu, aku segera bangkit menuju kamar mandi dengan membawa serta handuk berwarna biru muda di tanganku. *** Bersambung .... Nah mimpinya Calista makin panjang aja. Menurut teman-teman, apa arti mimpi Calista itu? Apa ada hubungannya dengan kehidupan Calista saat ini? Lalu, siapa kira-kira pelaku teror itu? Apakah Pak Hendra dan Edwin akan berhasil mengungkapnya sebelum dia berhasil mencelakai Calista? Masih bersedia kalian bermain puzzle denganku? Simak terus kelanjutannya, ya. Silakan tinggalkan komentar, agar dapat notif saat ceritanya update bab baru. Terima kasih sudah berkunjung :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN