Bab.1 Luka Hati Keyra

1403 Kata
“Kak Key ….” Wajah Al yang sedang duduk di meja belajarnya itu tampak berbinar senang, begitu melihat siapa yang muncul dari balik pintu kamarnya. Bagaimana tidak senang, karena kakaknya memang jarang sekali pulang. Bahkan saat kemarin dia merayakan ulang tahun bersama sahabat dan keluarga besar mereka. “Selamat ulang tahun, Al. Maaf, kemarin pekerjaanku sampai larut baru selesai. Jadi tidak bisa pulang menghadiri ulang tahunmu,” ucap Keyra merangkul bahu adiknya setelah meletakkan kado di atas meja. “Iya, aku tahu Kak Key selalu sibuk,” angguknya paham. Keyra menghela nafas panjang, lalu duduk di tepi tempat tidur. Dadanya sesak bukan main melihat wajah murung adiknya dan tumpukan buku di atas meja belajarnya itu. Key merasa bersalah. Semenjak dia memberontak dan hengkang dari rumah, ganti adiknya yang harus terkungkung dalam didikan keras papa mereka. “Belajar semampumu, jangan terlalu memaksa mengikuti apa pun kemauan papa. Paham?” “Hm,” angguk Al menoleh dengan senyumnya. “Al ….” “Iya ….” “Papa dan mama, apa mereka masih sering bertengkar?” tanya Key setengah ragu. “Kadang, kalau papa mulai menyinggung soal Kak Key pasti ganti mama yang tidak terima,” jawab Al sambil membolak-balik lembar bukunya tanpa minat. “Apa menurutmu aku salah?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Keyra, sedang adiknya juga langsung menggeleng. Semua orang tahu kenapa Key sampai membangkang dan nekat memilih angkat kaki dari rumah. “Tidak, karena sekarang aku tahu seperti apa rasanya jadi Kak Key dulu.” “Maaf, Al,” ucap Key hampir menangis. “Bukan salah siapa-siapa. Aku anak laki-laki, memang sudah seharusnya menerima tanggung jawab ini,” sahut Al tersenyum, tidak ingin kakaknya merasa bersalah. Keyra melirik jam tangannya. Dia buru-buru berdiri untuk segera pergi sebelum papanya pulang. Bukannya takut, dia hanya sudah terlalu lelah bertengkar. Apalagi kondisinya sedang tidak begitu fit. “Aku harus pergi. Lain kali kita makan di luar sama mama dan Arka. Jaga kesehatan, Al. Jangan sampai sakit kayak kemarin,” pesannya saat berpamitan ke adiknya. Sayang, mama dan si bungsu sedang tidak di rumah. “Hm, terima kasih hadiahnya,” angguk Al tersenyum getir saat kakaknya mengusap lembut kepalanya. Keyra bergegas keluar dari kamar adiknya, lalu menuruni tangga rumah mereka. Suasana masih senyap. Papanya ada acara di luar, sedang mama mereka mengajak si bungsu menjenguk neneknya yang sedang sakit. Ketika melintas di ruang tengah kaki Keyra berhenti di depan pigura besar yang memajang foto keluarga mereka. Kebersamaan seperti itu mungkin setelah ini tidak akan pernah ada lagi, karena dia dan papanya berdiri di posisi bertentangan. “Masih ingat pulang juga, kamu!” Suara ketus itu terdengar menyengat di telinga Key, dan merambat sakit meremas jantungnya. Terakhir bertemu papanya sudah sekitar tiga bulan lalu. Itupun tidak sengaja saat menghadiri undangan jamuan makan. “Pa …,” sapa Key setelah berbalik menghadap papanya yang berdiri dengan tatapan lekatnya. “Tumben pulang?! Apa mau menyerah dan kembali ke tempatmu yang seharusnya?” sindir Bian, karena melihat anaknya yang bengong menatap foto keluarga mereka. “Aku pulang untuk menemui Al sebentar, karena kemarin tidak sempat datang ke ulang tahunnya.” Dia baru saja hendak melangkah pergi, ketika ucapan tajam papanya kembali menggores perasaannya. “Baru sebatas ini saja sombongmu sudah minta ampun. Apa yang kamu banggakan, sedang kamu bisa tenar bukan murni usahamu sendiri. Tanpa embel-embel nama Nugroho dan keluarga kakekmu, kamu bahkan bukan siapa-siapa!” “Iya, aku tahu. Tapi, tanpa kerja kerasku semua juga tidak datang cuma-cuma. Bagi Papa pencapaianku mungkin tidak seberapa, tapi setidaknya aku bisa punya segalanya tanpa harus gila terpenjara di rumah ini,” sahut Key saat lagi-lagi diremehkan oleh papanya sendiri. “Dasar bodoh! Susah payah aku mendidikmu untuk jadi orang yang berguna dan mampu meneruskan tanggung jawab perusahaan, malah membelot ke jalan seperti ini!” teriaknya keras dengan wajah marah. “Apa yang salah jadi foto model? Aku tidak pernah berharap Papa sanjung, tapi setidaknya jangan selalu rendahkan aku seperti ini. Aku juga merangkak dari nol, Pa! Tidak cuma mendompleng nama keluarga untuk bisa berada di posisiku sekarang,” balas Key dengan suara gemetar. Dia mendongak, dan mendapati adiknya berdiri di lantai atas menatap sedih pertengkaran mereka. Luar biasa sakitnya, saat mentalnya justru selalu dijatuhkan oleh papanya sendiri. Pertengkaran seperti inilah yang membuat Key malas pulang. Apalagi kalau ada mamanya, pasti ganti orang tuanya yang perang mulut. Papanya selalu egois, sedang mamanya selalu berdiri jadi orang pertama yang membelanya. “Hebat! Setidaknya kamu tidak mati kelaparan setelah minggat dari rumah ini. Aku peringatkan! Jangan coba-coba mempengaruhi adikmu untuk jadi pembangkang seperti kamu. Cukup kamu yang membuat aku malu!” “Anak bukan alat untuk meraih ambisimu, Pa. Sesekali kami juga mau didengar, bukan hanya dipaksa menurut. Sejak kecil aku tidak pernah membantah, saking menurutnya sampai Papa lupa kalau aku juga masih punya hati,” lontar Key dengan air mata meleleh. “Bocah kemarin sore, memangnya tahu apa kamu?! Tugas orang tua mendidik anak-anaknya. Mengarahkan kalian ke jalan sukses, dan bisa meneruskan tanggung jawab di keluarga ini. Bukan Papa terlalu berambisi, tapi kamu saja yang dasarnya susah diatur!” Fabian Nugroho, papa Key itu tampak menggeram semakin marah. Sudah setahun lebih anak sulungnya pergi dari rumah, meninggalkan semua hal yang telah Bian persiapkan untuk mengantarnya jadi seorang penerus. Bagaimana dia tidak kecewa, jika apa yang dia usahakan untuk menggembleng anaknya sejak dini berakhir sia-sia. “Aku juga bisa sukses dengan caraku sendiri, tanpa harus mewarisi kedudukan Papa di perusahaan itu. Seumur hidup itu lama, Pa. Aku pergi karena masih ingin waras, muak jadi boneka Papa.” “Keyra!” Menulikan telinga dari teriak amarah papanya, dengan langkah lebar Key bergegas pergi dari sana. Cukup dia mendengar kata-kata menyakitkan papanya yang selalu menganggapnya remeh dan merusak mentalnya. Tangannya gemetar meraih pintu mobil, namun tubuhnya luruh bersama tangis kesakitannya. Hidup selalu tidak adil padanya. Bahagia enggan berpihak meski sejak kecil dia sudah berusaha menjadi seperti apa yang papanya mau. “Kak ….” Key mendongak, adiknya berdiri di balkon menatapnya iba. Key tidak ingin terlihat lemah di mata siapa pun, tapi kenapa takdir selalu membuatnya rapuh. “Jangan menangis! Kak Key hebat,” ucap adiknya. Key mengangguk, lalu berdiri dan masuk ke mobilnya. Hujan mengguyur deras. Dia datang membawa rindu untuk keluarganya, tapi selalu pergi dengan luka. Sepanjang jalan air mata Key jatuh berderai, tangannya yang mencengkram roda kemudi masih gemetar. Hingga sorot lampu dari arah berlawanan membuatnya nyaris hilang kendali. Mobilnya oleng, suara rem berderit keras dan berakhir menyerempet pembatas jalan. “Sial! Kenapa aku tidak mati saja!” teriaknya sambil menangis tergugu turun dari mobil. Di bawah guyuran hujan lebat dia berdiri di atas jembatan gelap. Membiarkan tubuhnya basah kuyup, Key menatap sakit tangannya yang tremor. Psikogenik membuatnya melupakan impiannya untuk menjadi seorang designer seperti mamanya. Dan hingga detik ini, tidak ada satu pun dari mereka yang tahu. Mencengkram pembatas dan menatap arus deras di bawah sana. Dia menangis meratapi hidupnya yang selalu sesakit ini. “Aaaaaaaaa!” Key berteriak keras, menangis melampiaskan sakit hatinya. Apa pun yang dilakukan selalu salah di mata papanya. “Key ….” Key menoleh, dan semakin tidak paham kenapa Tuhan justru membawanya bertemu laki-laki ini saat dirinya sedang rapuh dan terlihat menyedihkan. Dia adalah pria yang selama ini selalu membuatnya menangis dalam diam. Dirga berdiri di sampingnya dengan payung yang menghalangi hujan di atas kepalanya. Pria itu menatap Key dengan sorot mata kesakitannya. “Kenapa disini? Jangan menangis!” ucapnya lembut, namun justru semakin membuat Key tergugu. “Pergi! Aku tidak butuh perhatianmu!” sahut Key kembali menatap gelap di bawah sana. Dia menyembunyikan tangannya yang gemetar di balik punggungnya. “Bertengkar dengan papamu lagi?” tebaknya. “Bukan urusanmu!” sahut Key ketus. Pria itu menoleh menatap mobil Key yang dibiarkan dengan mesin menyala dan terparkir asal di pinggir jalan. “Mobilmu rusak? Ayo, aku antar pulang!” “Aku bilang pergi! Tolong, jangan menghukumku dengan membuat aku semakin merasa bersalah padamu!” teriak Key menatap pria di hadapannya itu dengan tangis pilu, lalu berlalu dari sana. “Tunggu, Key!” Key terus melangkah menuju mobilnya. Bertemu pria itu bukan hanya membuat tremor di tangannya semakin menjadi, tapi juga merasa tidak nyaman. Namun, seberapa pun dia berusaha kuat, tetap kalah ketika bumi yang dia pijak terasa berputar dan menumbangkan raganya yang telah lelah. “Key!” Hanya teriakan itu yang sempat terdengar oleh telinganya, sebelum semua berubah gelap. “Om Dirga …,” Sayang, ternyata panggilan itu hanya bisa terucap dalam hatinya saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN