BAB 16: MENANGIS ATAU TERTAWA?

1129 Kata
Morin sudah bangun dari pagi, tidurnya sangat nyenyak semalam. Jam tujuh dia keluar kamarnya dan dia agak bingung karena tidak menemukan om tercintanya. Biasanya pria itu sudah keluar dari kamarnya dan akan berangkat jam setengah delapan. Morin mengangkat bahunya tidak peduli dan mulai bersenandung kembali. Moodnya masih sangat bagus karena kencan semalam. Paling sebentar lagi omnya keluar dari kamarnya, pikirnya. Dia mulai membuat cokelat panas untuknya dan kopi untuk omnya. Dia mulai membuat sarapan ala kadarnya ala Morin, roti panggang dan telur ceplok. Satu satunya kelemahan Morin sebagai wanita adalah dia tidak bisa memasak. Dia hanya bisa membuat makanan seadanya, mie instant, nasi goreng rasa standar, telur ceplok. Dalam kamusnya tidak ada kata bergantung pada orang lain, jadi setidaknya dia harus bisa buat telur ceplok dan masak nasi. Jadi dalam kondisi darurat, dia masih bisa makan walau hanya dengan telur ceplok dan kecap manis. Sampai setengah delapan omnya masih belum keluar kamar dan itu membuat Morin khawatir. Apakah omnya sakit ya? Akhirnya Morin mengetuk pintu kamar omnya beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Dengan ragu dia memegang kenop pintu dan membukanya pelan, lalu mengintip ke dalam. Dia melihat Darius masih tertidur, jadi dia masuk ke dalam kamar itu dan mendekat ke ranjang. Dia sekarang benar benar khawatir omnya sakit. Omnya itu selalu bangun pagi, bahkan saat sakit juga biasanya seperti itu. “Om” Morin memanggil pelan. Dia takut mengagetkan omnya karena akan mengganggu jika omnya memang sedang sakit. “Om” morin memanggil lagi dengan suara agak keras. Dia duduk di sisi ranjang dan menyentuh kening omnya, khawatir omnya demam. Alisnya mengkerut. Suhu tubuhnya normal koq. Tiba tiba mata Darius terbuka. Dia merasa ada yang menyentuhnya, dia langsung memegang tangan Morin yang berada di keningnya. Terbiasa tidur sendiri membuatnya menyadari kalau seharusnya tidak ada orang lain di ranjangnya. Darius melihat ke arah Morin yang sedang menatapnya khawatir. Sekarang tatapan mereka terkunci. “Om tidak apa apa?” tanya Morin lembut. Tersirat nada khawatir disana. “Kau tidak boleh menggunakan pakaian itu kapanpun dan dimanapun!” kata Darius. Dia melotot pada gadis itu. “Hah?” Morin mengerjap. Dia tidak mengerti apa yang dibicarakan Darius. Pakaian apaan? “Aku akan mengurungmu di kamar jika kau berani pakai pakaian semacam itu!” ancam Darius. “Pakaian apa?” tanya Morin. Dia masih tidak mengerti. Apakah omnya ngelindur? Tiba tiba bangun terus marah marah? Darius langsung duduk di dan menatap tajam ke arah keponakannya. Dia baru bisa tidur mungkin sekitar jam empat lewat! Terakhir dia melihat jam itu sudah hampir jam empat pagi! Sepanjang malam dia gelisah dan kesal membayangkan gadis nakal itu berkeliaran dengan pakaian kurang bahan. Dia bahkan tidak menyadari kalau sebelum ini dia bahkan tidak peduli apa yang digunakan oleh keponakannya. Dia memegang kedua lengan atas Morin dan mendekatkan wajahnya ke wajah Morin hingga menyisakan jarak sejengkal tangan. “Jangan berlagak bodoh! Kau mengerti maksudku” kata Darius tajam. Dan Morin menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Apa kepala omnya semalam kejeduk tembok ya? kenapa bangun bangun jadi aneh begini? “Jangan pernah menggunakan pakaian kurang bahan seumur hidupmu! Mengerti!” bentak Darius. Matanya melotot memaku mata Morin yang masih menatapnya bingung. Morin mengedip Sekali Dua kali Tiga kali Empat kali Lalu tiba tiba Morin menunduk, bahunya bergetar, dia mengangkat kedua tangannya untuk menutup bibirnya agar suara tawanya tidak keluar. Sekarang dia mengerti apa yang dimaksud omnya sejak tadi. Darius menjadi panik melihat Morin yang sepertinya terkejut dengan bentakannya. Tiba tiba gadis itu menunduk dan bahunya bergetar, lalu dia menutup mulutnya dan terdengar suara seperti isakan, bahkan dia melihat ada air mata yang menetes. Secara naluriah dia langsung menarik gadis itu ke dalam pelukannya, dia tidak bermaksud mengejutkan gadis itu dengan membentaknya. “Maafkan om. Om tidak bermaksud memarahimu” kata Darius menurunkan intonasi suaranya. Dan dia merasa guncangan di bahu gadis itu semakin kencang, dia mulai membelai punggung gadis itu. Morin setengah mati menahan tawanya, sampai air matanya terus mengalir karena dia tidak bisa mengeluarkan suaranya. Apalagi sekarang omnya memeluknya dan mengusap punggungnya karena mengira dia menangis akibat bentakannya. Dia semakin sulit menahan tawanya! “Dengan menggunakan pakaian semacam itu, kamu mengundang pria untuk berlaku kurang ajar padamu” kata Darius lagi, mencoba menjelaskan kenapa dia membentak tadi. “Yang akan rugi nantinya adalah dirimu sendiri” Darius terus mencoba menjelaskan karena dia merasa bahu gadis itu masih bergetar hebat. “Cu-cukup Om. Ja-jangan bi.. cara lagi” kata Morin tersendat di pelukan Darius. Kalau orang bisa mati karena tertawa, dia pasti sudah mati! Semakin omnya bicara, semakin sulit dia menahan tawanya. Morin masih berada di dalam pelukan Darius cukup lama. Sangat sulit untuknya menenangkan dirinya agar tawanya tidak keluar. Berkali kali dia menarik napas panjang dan membuangnya perlahan, namun setiap kali dia ingin bicara, pasti tawa itu ingin ikut keluar! Dia harus menahan diri sampai dia bisa kembali ke kamarnya. Akhirnya dia melepaskan pelukan omnya. Matanya memang merah karena air matanya keluar banyak tadi, walaupun bukan air mata sedih. “Terima kasih om sudah memperhatikanku. Aku sudah menyiapkan kopi dan sarapan untuk om. Lebih baik om segera bersiap jika tidak ingin terlambat ke kantor.” kata Morin cepat. Dia lalu berbalik dan berlari keluar kamar Darius dan langsung masuk ke kamarnya sendiri. Dia melempar tubuhnya ke ranjang dan menutup wajahnya dengan bantal lalu tertawa sepuasnya! Darius yang ditinggalkan Morin menatap kepergian Morin dengan perasaan tidak enak. Dia melihat mata gadis memerah, terlihat gadis itu berusaha menahan tangisnya. Hal itu membuat perasaannya semakin tidak enak lagi, padahal gadis itu bermaksud baik dengan membangunkan dirinya agar tidak terlambat kerja. Tapi bukannya berterima kasih, malah omelan yang dia kasih. Karena tidak bisa melakukan apapun, dia menuju kamar mandi dan bersiap untuk berangkat kerja. Saat Darius keluar dari kamarnya, dia tidak melihat Morin. Seperti yang dia pikirkan kalau gadis itu sekarang bersedih di kamarnya. Dia mendekati kamar gadis itu dan mendengar isak tangis tertahan. Hatinya semakin tidak tenang, ternyata gadis itu masih menangis! Dia merasa sangat bersalah. Seharusnya dia mencari waktu yang tepat untuk bicara dengan gadis itu. Dia sendiri tahu, siapapun yang dibentaknya pasti akan syok. Stafnya yang sudah bekerja bertahun tahun padanya saja masih sangat ketakutan jika dia membentaknya! Sekali lagi dia merasa tidak bisa melakukan apa apa, jadi dia memakan sarapannya dan berangkat kerja. Tidak lama dari pintu apartemen itu tertutup. Morin membuka pintu kamarnya dan mengintip memastikan omnya sudah pergi. Wajahnya sekarang terlihat sangat mengenaskan karena matanya bengkak dan rambutnya acak acakan. Setelah yakin omnya sudah pergi, dia mulai tertawa lagi seperti orang stress sambil berjalan menuju pantry tempat tadi dia membuat cokelat panas. Tiap kali dia membayangkan sepanjang malam omnya tidak bisa tidur akibat takut dia menggunakan pakaian kurang bahan itu langsung membuatnya tertawa lagi. Dia benar benar penasaran jam berapa omnya baru bisa tidur? Bahkan pria itu sampai tidak bisa bangun! Morin kembali tertawa terbahak... ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN