"Nggak, kamu nggak boleh pergi! Nggak ada yang bisa memisahkan kamu dariku," ujarku semakin erat memeluknya.
Tok tok.
Aku terlonjak saat ada yang mengetuk pintu kamar dari luar, begitu juga dengan Luna. Tubuhnya terasa menegang, tak lagi memberontak seperti tadi.
Kutatap sendu tubuh kurus yang masih dalam dekapan. Lalu, kucium pucuk kepalanya, aroma shampo kesukaanku menguar. Ini memabukkan.
Setelah beberapa saat, aku melepas pelukan dari tubuh Luna dan beranjak membuka pintu dengan perasaan tak bisa dijelaskan.
Bagaimana kalau benar-benar ada yang mengambil istriku?
Saat pintu terbuka, hatiku sedikit lebih baik melihat siapa yang berdiri di baliknya. Mbok Asih dalam keadaan menunduk, bukan mama atau papa Luna.
Semoga saja apa yang Luna ucapkan mengenai kedatangan orangtuanya hanya akal-akalannya saja untuk mengancamku.
Sungguh aku belum siap bertemu dengan mereka, mengingat apa yang sudah aku lakukan pada putrinya. Semoga Luna tidak menceritakan apapun. Jika tidak, mau dibawa ke mana muka ini.
"Ada apa, Bik?" ujarku sedikit kesal, merasa terganggu.
"Maaf, Pak! Tapi, di ruang tamu ada keluarga Bu Luna."
Nyes.
Aku menoleh ke arah istriku yang tampak membeku di samping ranjang, lalu menunduk menutup koper yang sudah penuh dengan pakaian dan menguncinya. Kamu bahkan tidak mau memberiku kesempatan.
"Kalau gitu saya permisi untuk membuat minuman, Pak!"
Setelah Mbok Asih berlalu, aku kembali menghampiri Luna yang membuang pandangan ke arah lain.
Istriku tampak beberapa kali membuang nafas kasar, sementara aku, jangan ditanya seperti apa. Hati dan pikiranku tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata.
"Jadi, benar kedatangan mama sama papa ada hubungannya dengan masalah kita?" tanyaku bergetar.
"Ya."
"Kenapa?" ulangku lagi, aku tidak peduli biarpun terkesan tidak tahu diri.
"Aku tidak cukup kuat untuk memendamnya sendiri."
Jawaban Luna kembali menamparku, selama ini Luna hanya menahan sakitnya sendirian. Sementara, suaminya tidak peka sama sekali.
"Sekali lagi Mas minta maaf untuk itu. Tapi, kita masih bisa bersama 'kan?"
Aku menahan tangan Luna yang hendak meraih koper sialan itu.
"Menikahlah dengan Tiara, biar aku menemukan seseorang di luar sana yang bisa membuatku bahagia. Yang lebih peka dan lebih mengutamakan istrinya dibandingkan orang lain. Ayo keluar, orangtuaku sedang menunggu!" Luna menghentak tangannya, lalu keluar dengan cepat.
Meninggalkanku dengan sekelabat kekhawatiran.
Aku berjalan gontai ke ruang tamu. Di mana istriku sudah duduk di antara mama dan papa.
Deg.
Kak Vincen?
Sepertinya perjuanganku untuk mempertahankan Luna lebih sulit dari yang kukira.
"Ma, Pa, Kak Vincen," sapaku ramah dengan hati dag dig dug.
Bukannya menjawab, mereka malah menatap nyalang ke arahku. Seperti ingin dimakan hidup-hidup.
"Vincen, duduk!"
Suara papa mertua yang terdengar datar, membuat kakak tertua Luna yang sudah bangun hendak berjalan ke arahku duduk kembali.
Tubuhku bergetar menatap ke arah kedua tangan kakak ipar yang terkepal erat. Mungkin, jika papa mertua tidak bersuara, kepalan itu sudah berakhir di tubuh atau wajahku.
Kak Vincen adalah sosok tak tersentuh dan sangat menyayangi Luna sebagai adik bungsu perempuan satu-satunya.
Mama dan papa mertua memiliki tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan yaitu, Kak Vincen, Kak Kenzo dan istriku.
Dua kakak laki-laki Luna berkerja di perusahaan mereka sendiri untuk meneruskan bisnis papanya.
Sedangkan Luna, memilih fokus menjadi ibu rumah tangga atas permintaanku setelah kami menikah.
Biarpun keluarganya merasa keberatan, istriku menyetujui keputusanku saat itu sebagai bentuk ketaa'tan dan rasa cinta terhadap suaminya. Yang membuatku merasa sangat beruntung memilikinya.
Luna sebagai lulusan terbaik dari sebuah universitas ternama, memilih meninggalkan kariernya enam bulan yang lalu dan stay di rumah dan fokus untuk merawatku dengan baik.
Entah kenapa, kini aku menyesal pernah menolak tawaran kerja di perusahaan papa demi gengsi dan harga diri bahwa aku mampu menghidupi Luna dengan layak tanpa bantuan mereka.
Aku lebih memilih bertahan di perusahaan papa Tiara yang telah membuat namaku besar seperti sekarang. Hingga membuat aku terjerembab dalam situasi buruk seperti ini.
"Duduklah, Dipta!"
Suara papa mertua kembali terdengar. Aku mengambil posisi agak jauh dari Kak Vincen, sembari menatap takut ke arah papa, wajah yang mulai penuh kerutan itu tampak sangat bersahaja.
Beliau bisa mengontrol emosinya dengan baik, walau bagaimanapun mana ada orangtua yang tidak murka melihat anaknya diperlakukan seperti itu.
Aku yakin sekali Luna sudah menceritakan semuanya, melihat bagaimana sikap Kak Vincen terlebih tatapannya ke arahku saat ini.
Papa tampak beberapa kali membuang nafas kasar. Sementara Luna hanya menunduk meremas jemarinya, sedangkan mama mertua menatapku sinis dengan ekor matanya.
Ya, beliau pantas melalukannya.
Seketika aku merasa seperti akan menjalani hukuman gantung beberapa menit lagi, itu yang kurasakan saat ini. Tapi, apapun yang terjadi nanti, tekadku untuk memperjuangkan Luna sudah bulat.
Mungkin ini memang konsekuensi yang harus kutanggung dari semua perbuatan dholimku pada Luna selama ini. Aku siap, asal bukan untuk melepaskannya.
"Kedatangan kami ke sini ...."
Papa menghentikan ucapannya saat melihat Mbok Asih datang dengan nampan berisi gelas minuman di tangannya.
Setelah Mbok Asih pergi, beliau kembali melanjutkan ucapan yang sempat tertunda, tadi.
"Kedatangan saya dan keluarga ke sini untuk menjemput Luna," ujarnya tenang tapi berhasil membuat darahku membeku.
"Jujur, saya kecewa sama kamu. Harusnya jika kamu sudah tidak mencintai anak saya lagi, bawa kembali pada saya secara baik-baik, bukan menyiksa batinnya seperti ini. Saya sangat mampu merawat anak saya dengan baik."
Aku menunduk malu mendengar apa yang barusan papa katakan. Betapa fatalnya kesalahan yang sudah kulakukan.
"Maafin Dipta, Pa! Dipta salah sudah menyakiti Luna. Tapi, tolong jangan bawa Luna pergi, Dipta sangat mencintai istri Dipta, Pa."
Aku memohon dengan mata berkaca-kaca, berharap mereka semua memaafkan kesalahanku dan memberiku kesempatan sekali lagi.
"Cuih, telat." Suara Kak Vincen terdengar mengejek. Aku tahu, dia sangat marah saat ini.
"Tidak Dipta. Lebih baik kamu menikah saja dengan wanita yang kamu bawa ke rumah ini, kalian serasi. Bukankah selama ini kalian sangat bagus dalam bekerjasama untuk menyakiti anak saya," ucap papa tegas, sementara mama tampak terisak menahan tangisnya.
Sepertinya mereka tidak memberi celah untukku sama sekali. Luna bahkan tidak berniat untuk membelaku sedikit saja.
Kalau seperti ini, akan sangat sulit untuk memperjuangkan Luna. Tapi, aku tidak boleh menyerah sekarang.
"Kami datang ke sini secara baik-baik, jadi tolong jangan memperumit keadaan. Jika saya ingin, bisa saja saya berlaku kasar terhadapmu seperti yang kamu lakukan pada anak saya, tadi pagi," sambung papa lagi.
Nyaliku semakin ciut mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulut papa. Luna bahkan memberitahu mereka jika aku menamparnya tadi pagi.
Ya ampun, Sayang, apa kamu sungguh tidak berniat melanjutkan rumah tangga ini.
"Kamu jangan berpikir bahwa anak saya suka mengadu selama ini. Baru hari ini Luna menghubungi saya karena sudah tidak tahan lagi, mungkin jika Luna memberitahu kami dari dulu. Dia tidak akan menderita lebih lama, dan cucuku masih ada hingga saat ini," timpal mama mertua terdengar serak.
Sementara aku, tidak ada yang bisa kulakukan selain menunduk. Aku tidak sanggup menatap wajah mereka yang terlihat sakit atas apa yang aku lakukan pada Luna.
"Ayo ambil barang-barang kamu, Sayang!"
Luna beranjak pergi seperti perintah papa, kemudian muncul lagi dengan koper di tangannya yang kemudian berpindah ke tangan Kak Vincen.
"Kami pamit dulu. Kita bertemu di pengadilan."
Aku berjalan melewatiku yang sudah berdiri, aku mencoba menahan tangan Luna agar tidak ikut pergi, namun terlepas saat Kak Vincen menarik kerah bajuku.
"Lepasin tangan kotor lo dari tubuh adik gue!"
Mau tidak mau aku melepas tangan Luna dan melihatnya di bawa pergi oleh mereka.
"Argh ....!"
Aku terduduk di depan pintu setelah mobil yang membawa istriku menghilang dari pandangan.
"Kenapa semuanya jadi begini .... hiks hiks."
Aku hanya bisa menangis sembari meremas rambut dengan kuat. Kenapa aku harus sepengecut ini?
Andaikan aku tidak membawa Tiara, andaikan aku langsung pulang saat Luna keguguran, andaikan aku tidak menamparnya, andaikan aku mendengar setiap keluhannya bukan malah berbalik menyalahkannya.
Andaikan aku menerima tawaran papa untuk bekerja di perusahaannya, semua tidak akan jadi begini.
Istriku masih di sini bersamaku.
Tidak ada gunanya aku menyesal sekarang, semuanya telah terjadi dan itu karena kebodohanku sendiri.
Aku tidak boleh menyerah dulu, aku harus memikirkan cara untuk menyakinkan Luna dan keluarganya.
Ya besok aku harus bertemu istriku bagaimanapun caranya. Bukankah cinta harus diperjuangkan. Aku tidak mau jika rumah tanggaku yang baru seumur jagung hancur.
Aku tidak ingin bercerai dengan Luna. Bukankah perceraian hal yang dibenci Tuhan, biarpun halal? Ingatanku seketika beralih pada tausyiah seorang ustad pada sebuah majlis yang pernah kuhadiri.
"Saat seseorang menikah, berarti Allah SWT telah menciptakan ikatan yang kokoh diantara pasangan itu yang disebut dengan Mitsaqan Ghalizha. Dan jika kita berhasil menjaga ikatan kokoh itu, maka kita termasuk dalam golongan yang dicintai Allah. Allah yang menciptakan ikatan kokoh dalam pernikahan, maka Allah yang berhak untuk memutuskannya."
Kalimat demi kalimat yang pernah disampaikan ustad tersebut, membuat semangatku semakin menggebu untuk membawa Luna kembali. Semoga kesalahanku masih bisa termaafkan.
"Luna ... tunggu Mas berjuang untuk rumah tangga kita. Aku yakin kamu masih sangat mencintaiku."
Setelah terlalu lama larut dalam banyak pikiran, aku beranjak bangun untuk menutup pintu karena hari mulai senja.
Perih rasanya.
Malam kemarin kami hanya pisah ranjang, tapi malam ini harus pisah rumah.
Ting.
Saat hendak berjalan ke kamar, ponsel dalam saku celanaku berbunyi, ada notifikasi pesan yang masuk dari aplikasi berwarna hijau.
Semoga itu Luna. Harapku saat mengambil ponsel dan membukanya.
Hufft.
[Dipt, kamu di mana sih? Kok aku telpon nggak diangkat. Aku udah nungguin kamu dari tadi untuk pulang.] Tiara.
Benar kata Riko, Tiara sudah melewati batas untuk seorang teman. Apalagi untuk laki-laki yang sudah berkeluarga seperti aku.
Dan lucunya, aku malah meladeninya selama ini.
Bodoh.
Luna saja tidak pernah berlaku seperti itu, padahal dia lebih berhak.
Sungguh aku sangat merasa bodoh sebagai laki-laki.
[Pulanglah! Aku di rumah, ada yang ingin aku bicarakan.] Send.
Ting.
Belum sampai satu menit, ponselku sudah berbunyi lagi.
[Kamu pulang tanpa ngabarin aku? Terus aku pulang sama siapa sekarang?]
Isi pesan Tiara diakhiri dengan emot sedih.
Aku memasukkan kembali ponsel dalam saku dan langsung ke kamar tak berniat membalas pesannya.
"Luna ... apa yang harus Mas lakukan?"
Aku menatap nanar pada foto pernikahan kami yang menggantung di dinding kamar.
'Sungguh aku begitu merindukanmu,' batinku dengan mata yang mulai terasa berat. Hari ini sungguh melelahkan.
Entah berapa lama aku tertidur, saat terbangun mataku mengarah pada jam dinding.
Karena masih ada waktu magrib yang tersisa, aku bergegas ke kamar mandi dengan kepala yang terasa agak pening.
Setelah mengambil wudhu, mengenakan baju koko dan sarun, aku menunaikan salat magrib dalam keadaan sedikit hoyong.
Kutadahkan tangan dan memohon ampunan pada Allah atas segala dosa yang pernah kuperbuat pada istriku. Atas kelalaianku memperhatikan lahir batinnya.
Semoga Allah memberiku jalan keluar untuk keutuhan rumah tangga ini. Membiarkan kami menua bersama bersama keturunan-keturunan yang salih dan saliha.
"Dipta! Kamu di mana! Aku bawa makanan kesukaan kamu nih!"
Teriakan Tiara dari luar mengusik pikiranku yang tengah menikmati setiap kenangan tentang Luna.
Entah kenapa aku sangat merasa terganggu kali ini dengan kehadiran Tiara.
"Dipta!"
Penyesalan memang selalu datang terlambat.
Aku melipat sajadah dan menaruhnya di tempat semula dan bergegas keluar untuk menemui Tiara.
Aku harus melakukan ini, biarpun nanti aku kehilangan pekerjaan. Luna lebih penting dari itu semua.
Semoga Tiara mengerti posisiku.
Bersambung ...