Aku benci hidupku bukan tanpa alasan,
Jika bukan karena mereka jelas aku tak ada,
Jangan terlalu menghakimi apa yang tak kau tahu tentang segalanya.
________________
Senyum Satria begitu semringah malam ini setelah membuat gadis itu benar-benar tertangkap basah telah lama memerhatikannya, dia langsung melepas rangkulan pada pinggang gadis di depannya.
"Maaf, tadi cuma—"
"Kok dilepas sih, Sat. Aku kira kamu emang mau peluk tadi," ujar gadis bernama Rachel itu, dia anak salah satu klien ayahnya yang ikut datang ke hotel Grand Aquila malam ini.
Kening Satria mengernyit, "Ng ... nggak, nggak jadi. Tadi cuma nggak sengaja kok," balasnya kikuk.
"Beneran? Aku nggak apa-apa kok, malah seneng dipeluk kamu."
"Hah? Sebentar ya, gue pergi sebentar," kilah Satria yang mulai tak nyaman, niatnya sekadar membuat Elsa gugup saja tadi, bukan sengaja ingin memeluk Rachel.
"Eh, tapi—" Gadis itu mengatupkan bibir, Satria sudah lebih dulu pergi.
Satria mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dia mencari seseorang yang seharusnya sudah langsung bertemu. Satria tak betah berada di tempat seperti itu, tak ada keempat temannya yang bisa diajak bicara, baginya mereka semua para manusia pemakai dasi dan dress begitu asing, Satria tak suka berbaur dengan gerombolan kaum sosialita.
"Mana sih itu, Bokap," gerutu Satria yang tak kunjung menemukan sang ayah, di lobi memang begitu ramai.
Satria melangkah mundur seraya mengusap tengkuknya, lagi-lagi dia kembali menabrak seseorang hingga jatuh tersungkur.
"Aduh! Jangan mundur dong!" pekik gadis itu seraya menunduk dan meraih ponselnya yang jatuh ke lantai, untung saja tak terinjak kaki manusia.
Satria balik badan lalu berjongkok, dia mengulurkan tangan kanannya di depan wajah gadis itu. Ketika si gadis menengadah, keduanya sama-sama beku dalam adu pandang mereka.
Ternyata Satria kembali menabrak gadis itu, Elsa. Elsa mendengkus lalu beranjak sendiri tanpa peduli uluran tangan Satria. Laki-laki itu juga ikut beranjak.
"Lo itu kenapa, sih? Mabok, dari tadi nabrak orang terus. Lemes? Laper? Sabar," cibir Elsa sarkas, dia membuang pandangannya ke arah lain.
Satria tersenyum miring, "Lo itu juga kenapa, hm? Maunya ditabrak terus, kayak tiang listrik," balas Satria tak mau kalah.
Alis Elsa menyatu, "Lho, kok gue lagi sih yang salah. Kalau aja ini lantai bisa ngomong juga pasti jadi saksi semua itu kecerobohan elo, Satria!"
"Lo aja yang halangin jalan orang, pasti elo main hape terus, kan. Biar nggak cuma chating itu ya ketemuan sama pacar lo, jadi nggak melulu chat."
"Pacar? Lo kali yang baru aja pacaran di depan umum." Tanpa sadar Elsa seperti tak suka dengan hal itu.
"Lho, bukannya lebih bagus pacaran di depan umum yah. Daripada gue gelap-gelapan gitu?" Satria terus menatap manik mata Elsa.
Gadis itu benar-benar kesal, ada saja jawaban yang keluar dari bibir Satria. Tidak mau mengalah, bahkan bicaranya lebih nyeleneh.
Elsa mengangkat kedua kepalan tangannya sambil menggertakan gigi karena terlalu gemas dengan sikap Satria.
"Lo itu nyebelin banget sih!" kelakar Elsa.
"Lo itu lucu banget sih," balas Satria seraya tersenyum simpul.
"Terserah! Terserah! Mending gue nyari Mama!"
"Ah iya, gue juga mau nyari Papa."
Elsa melotot lalu melangkah meninggalkan Satria yang kini tertawa kecil akibat mengusili gadis cantik itu.
"Dasar cewek, ada aja tingkahnya," gumam Satria sambil memerhatikan kepergian Elsa.
"Satria," ucap seseorang yang baru saja menepuk bahu laki-laki itu.
Satria menoleh, ternyata Hasan Danuarta—ayahnya yang seorang Bos besar di perusahaan kontraktor. Pria berusia sekitar empat puluh lima itu terlihat sangat rapi dengan jas hitam serta kemeja warna biru muda yang terlihat sebagian dari balik jasnya.
"Di mana dari tadi? Aku nyariin, males lama-lama di sini," keluh Satria tanpa canggung.
"Maaf, tadi Papa bicara sebentar sama klien. Kamu bisa ikut Papa sebentar? Mau ajak kamu ketemu sama teman-teman Papa."
Satria berdecak, "Ketemuan? Teman-teman Papa? Biar apa, hm?" Jelas dari cara bicaranya Satria tidak suka dan ingin menolak.
"Satria, semua teman-teman Papa bawa anak mereka. Sekarang kamu juga di sini jadi apa salahnya, bantu Papa sebentar," pinta pria itu, sesekali dia melihat ke sekitar.
"Oh, berapa lama? Sepuluh menit? Lima belas menit?" tawar Satria.
"Nggak akan lama kok, Papa janji."
Satria terdiam sejenak, lalu dia mengangguk mantap. Hasan melangkah lebih dulu dan Satria mengekor di belakangnya.
Mereka tiba pada kumpulan beberapa pria serta masing-masing anak mereka yang juga berpakaian rapi, jika Satria mengenakan pakaian yang dikirim ayahnya tadi memang cocok. Beda dari biasanya yang terkesan urakan dan preman, tak ada tindik membuatnya terkesan lebih tampan.
"Kenalkan, ini anak saya. Satria," ucap Hasan pada semua kliennya yang berkumpul itu, mereka semua menatap ke arah Satria, terpaksa remaja itu tersenyum kaku dan bersalaman dengan mereka semua, termasuk pada remaja yang sebaya dengannya.
"Satria sekolah di mana, Pak?" tanya salah seorang klien yang berdiri di dekat Hasan.
Hasan menatap sang putra, dia cukup ragu untuk menjawabnya. "Satria sekolah di—"
"Tamtama," potong Satria cepat. Dia tak canggung sama sekali sudah menyebutkan nama sekolahnya yang jelas terkenal sebagai sekolah buangan.
Beberapa orang saling tatap, Hasan tahu mereka semua pasti merasa aneh mendengar ucapan Satria. Seorang putra pemilik perusahaan kontraktor bersekolah di Tamtama? Sekolah yang begitu terkenal akan kenakalan murid-muridnya.
Beberapa anak klien itu juga berbisik, tatapan mereka seperti menghina, sinis.
"Lo serius sekolah di Tamtama?" tanya salah seorang remaja sebayanya.
"Iya, kenapa?" Satria menunjukan mata elangya pada para remaja itu.
"Sebentar deh," sela yang lain. "Jadi lo serius sekolah di Tamtama? Lo itu anak Bos lho, bisa-bisanya sekolah di tempat pembuangan anak nakal kayak gitu." Setelah berkata demikian mereka tertawa, tawa yang terdengar begitu menghina di telinga Satria.
Kedua tangan Satria sudah mengepal, dia sudah tersulut emosinya dan kian naik ke puncak kepala.
"Mending lo pindah aja deh, jangan bikin malu orangtua sendiri," timpal yang lain.
Bugh!
Tanpa ba-bi-bu lagi Satria mendaratkan kepalan tangannya pada rahang remaja itu hingga ia tersungkur di depan banyak orang.
"Satria!" pekik Hasan dan langsung menarik anaknya agar menjauh dari anak kliennya yang dipukul Satria.
"Ya Tuhan!" pekik beberapa orang yang melihat kejadian itu, semua orang di dalam lobi menghampiri mereka. Namun tak ada sosok Elsa di sana.
"Bangun sini lo, b*****t!" bentak Satria begitu emosi kepada remaja yang baru dipukulnya itu.
"Udah, Papa mohon udah. Jangan berantem, kita pulang aja," ujar Hasan mencoba menenangkan Satria.
"Enggak! Dia harus ngerti!" Telunjuk Satria mengarah pada remaja yang mulai bangkit dibantu temannya itu. "Kalau dia harus tarik kata-katanya soal anak Tamtama!" sambungnya.
"Pak Hasan, saya nggak nyangka ternyata putra Anda bisa bersikap sekasar itu," tegur ayah remaja itu seraya menggeleng pelan.
"Maaf, saya benar-benar minta maaf. Satria pasti akan minta maaf kok."
"Enggak!" Satria menatap tajam manik Hasan, dia juga menatap semua orang di sekelilingnya dengan alis bertaut.
"Papa mohon, jangan begini."
Satria bersikukuh, dia menggeleng kuat. Lalu menunjuk lagi remaja yang kini menatapnya dengan garang.
"Lo dengar, bukan cuma lo tapi semua teman-teman lo itu. Mau di mana aja gue sekolah, itu hak gue dan lo nggak usah banyak bacot ngatur-ngatur, intinya satu hal. Di sekolah tempat gue belajar, nggak ada satu pun guru yang ngajarin buat sombong! Kayak sifat lo semua!" kelakar Satria dengan bijak. "Kalau suatu hari, gue ketemu lo di jalan dan lo nyari masalah sama gue, abis lo sama gue!" tandasnya lalu beringsut pergi keluar dari kerumunan orang-orang dan melewati pintu lobi.
Suasana benar-benar di luar kendali, Hasan berlari keluar menyusul putranya. Jelas beberapa orang mulai berbisik-bisik tentang sifat Hasan dan Satria yang begitu bertolak belakang, untuk pertama kalinya Hasan mengenalkan Satria kepada semua orang, untuk pertama kalinya juga Satria merusak segalanya.
Saat itu Elsa berada di dalam mobil, dia menghindar dari keramaian. Gadis itu menyandarkan punggungnya seraya mendengarkan musik lewat headset, tapi ia langsung melepas benda itu ketika melihat Satria berada di depan mobilnya dan tampak berdebat dengan seseorang.
"Papa mohon, ayo kita balik ke dalam dan kamu minta maaf atas sikap kasar kamu," ucap Hasan berusaha mencegah anaknya untuk pergi.
"Enggak! Kalau Papa mau bela mereka ya silakan, emang dari dulu Papa begitu, kan? Nggak pernah ngebela anaknya, Satria yang Papa anggap selalu salah di mata orang lain, bukan begitu, hm?"
"Maksud Papa enggak begitu, Nak. Kamu tadi yang pukul dia duluan, Papa cuma nggak mau ada masalah nantinya."
Elsa benar-benar bungkam melihat perdebatan itu, ia hanya berharap semoga salah satu di antara mereka tak ada yang menoleh dan melihatnya menjadi saksi hidup di sana.
"Udah lah, Pa! Satria nggak peduli soal masalah, karena selama hidup yang bisa Satria lakukan cuma bikin masalah, sama seperti apa yang Oma selalu bilang."
"Kenapa kamu harus bawa-bawa ucapan Oma kamu."
"Karena semua itu emang benar! Satria ini anak yang nggak diinginkan, Satria pembawa sial, bahkan menurut Oma Satria ini mencoreng garis besar keturunan Danuarta! Itu semua benar-benar ganggu hidup Satria, Pa!
"Satria bebas! Tapi Satria nggak suka! Sama sekali enggak, Satria mau seperti anak lain yang punya kasih sayang dari keluarga dan Orang tua mereka, tapi apa! Hm? Sejak Mama nggak ada sampai hari ini pun Satri nggak pernah dapetin apa yang Satria mau, kalian semua buang Satria sejauh mungkin, seolah Satria emang sampah!"
Hasan menelan saliva mendengar semua pengakuan Satria, dia bungkam sekarang.
"Mending Papa cepat-cepat deh buang nama marga Danuarta dari nama belakang Satria, biar semuanya aman dan nggak ngerasa keganggu sama kehadiran Satria, sejak usia lima Satria udah belajar hidup sendiri, jadi nggak apa-apa kalau diteruskan sampai mati!"
Mata Satria berkaca, dia benar-benar merasakan sakit berkepanjangan atas sikap keluarga dari sang ayah yang tak pernah menginginkannya, padahal dia anak kandung, dia juga terlahir bukan karena hubungan terlarang, tapi di mana letak salahnya sampai sang nenek pun begitu membencinya.
Kedua tangan Hasan menyentuh lengan anaknya, "Enggak, Nak. Kamu itu milik Papa, dan selamanya akan selalu seperti itu. Jangan dengarkan omongan yang buat kamu patah semangat, ada Papa yang selalu di sini buat kamu."
Kedua tangan Satria juga menurunkan tangan Hasan dari lengannya, "Berhenti ngomong bijak, Satria udah sering dengar. Ada Papa tapi nggak ada Mama! Satria butuh Mama yang selalu sayang sama Satria, bukan Papa yang cuma bisa kasih duit tapi nggak sayang sama Satria. Udah lah, Satria capek terus mau pulang, Satria nggak peduli sama klien Papa, daripada minta maaf mending jilat ludah di lantai!" tandas remaja itu mantap.
Tiba-tiba saja Elsa terbatuk, dan membuat kedua manusia di depan mobilnya menoleh. Kini dia ketahuan telah mendengar perdebatan mereka semua, dia benar-benar takut apalagi melihat Satria yang menatapnya dengan alis bertaut, pasti Satria akan marah sekali setelah tahu Elsa mendengar semuanya.
Ya Tuhan, mereka lihat gue? Habis ini ada apa lagi coba, maafin Elsa, maafin Elsa. Batin Elsa ketakutan.
Nyatanya tidak, Satria justru beringsut pergi meninggalkan ayahnya menghampiri motor. Sedangkan Hasan membeku di tempatnya, ia tak tahu harus berbuat apalagi, anaknya tumbuh di luar jangakauannya dan mulai berpikir dewasa meski belum saatnya sejak ia dan Riana bercerai, Satria lebih tertekan lagi sejak Riana meninggal dan di situlah kebebasan yang tak pernah ia inginkan dimulai.
Hasan memilih kembali masuk ke dalam hotel, Elsa bernapas lega karena akhirnya mereka berdua tak ada yang menghampirinya untuk memarahi. Namun, kini yang Elsa pikirkan soal Satria lebih jauh, apalagi setelah mendengar semua ucapan menyakitkan yang keluar dari bibir Satria secara langsung, sepilu itukah hidupnya?
________________