7. Salah paham.

1775 Kata
Aku bukan pembaca pikiran, Bukan juga pemilik indra keenam, Jadi jangan hakimi aku karena terus saja salah padamu. _______________        Sudah pukul sepuluh pagi, di mana mentari berpendar begitu terang, hampir saja mendekati tahtanya jika angka sudah mendekat pada pukul dua belas tepat, kali ini ia masih dalam perjalanan dan terus saja mengusik para makhluk yang bernaung di bawahnya. Tak memberikan kebebasan pada mereka yang sibuk beraktivitas di luar mau pun di dalam ruangan yang tidak dilengkapi fasilitas AC, beberapa orang juga mengusap peluh mereka yang tak hentinya menetes, menandakan kekuasaan sang surya benar-benar nyata.      Jauh dari tempat matahari berada, kelas dua belas IPS lima juga sibuk dengan segala urusan mereka. Meski empat buah kipas angin yang menempel di dinding sudah menyala tapi tetap saja hawa panas mengusik hingga membuat leher basah, tidak untuk Satria karena ia memang duduk tepat di bawah salah satu kipas yang menempel sekitar 60cm di atasnya, dia asyik meletakkan kepala pada tangan yang terlipat di atas meja seraya memejamkan mata, menikmati angin segar ketika banyak orang yang justru merasa begitu gerah.      Meskipun jam pelajaran seni budaya masih berlangsung tapi tak ada yang mampu mengusiknya, apalagi guru yang mengajar adalah Pak Tito—si rabun jauh yang memakai kacamata tebal. Dia tengah sibuk mengoreksi ulangan yang baru saja dikumpulkan, membiarkan muridnya asyik dengan obrolan mereka, ada juga yang sibuk dengan ponsel seraya memasang headset di telinga.      SMA Tamtama memang tak seketat sekolah lain, jika telat satpam masih bisa disogok, mencontek adalah kewajiban, membolos juga kebiasaan, kadang lebih killer muridnya daripada para guru. Mereka terbiasa dengan bangkotan model Satria yang menghuni sekolah swasta itu.     Tok! Tok! Tok!      Semua orang fokus pada sosok yang baru saja mengetuk pintu kelas, dia Pak Ardi—guru olahraga.      "Permisi Pak Tito, maaf ganggu waktunya. Boleh saya bicara dengan Satria sebentar?" ucap Pak Ardi yang masih berdiri di ambang pintu.      Pak Tito menatapnya sekilas, "Silakan."      Kini fokus semua orang langsung beralih pada manusia bernama Satria yang masih asyik dengan tidur paginya, dia tak sadar sama sekali jika sedang jadi pusat perhatian. Pak Ardi bergerak menghampiri meja Satria, meski ada Irwan tapi ia tak acuh dengan keadaan itu, Irwan sibuk dengan chatnya pada Widia.      Pak Ardi menepuk bahu Satria, "Bangun, hey bangun."      Satria mengerjapkan mata beberapa kali, lalu  mengangkat kepala dan menguap di depan Pak Ardi tanpa menutup mulutnya.      "Buke mate elu, Sat. Entu Pak Ardi," seru Melki yang duduk di pojok sebelah kanan, sedangkan Satria dan Irwan di pojok sebelah kiri.      Setelah membuka matanya dengan cukup jelas, Satria nyengir kuda seraya menggaruk belakang kepalanya meski tidak gatal, sedangkan Pak Ardi hanya menghela napas, dia sudah cukup paham dengan sikap bocah itu jadi tak perlu sampai diperpanjang, karena pada akhirnya Satria akan kembali pada kenakalannya.      "Ada apa pagi-pagi cari saya, Pak?"      "Boleh saya bicara sama kamu, sebentar di luar."      "Waduh, ngomongin apaan nih," balas Satria sok gugup.      "Bahas yang semalem nggak keluar-keluar kali," seru Faisal tanpa canggung sama sekali.      "Apaan tuh yang nggak keluar-keluar?" timpal Syarif yang duduk di depan Melki, mereka benar-benar tak punya sopan santun terhadap guru.      Satria geleng kepala sambil tersenyum mendapati sikap jahil teman-temannya, dia beranjak dan melangkah keluar kelas lalu diikuti oleh Pak Ardi yang sepertinya biasa saja dengan ledekan-ledekan dari para muridnya. Menjadi guru di SMA Tamtama memang perlu kesabaran ekstra ketika harus menghadapi mereka-mereka para trouble maker sekolah.      Ruang BP bukanlah tempat yang menyimpan momok menakutkan lagi bagi mereka karena di situlah tempat mereka beristirahat jika lelah berkelahi atau membuat onar.      Satria dan Pak Ardi sudah berada di depan kelas, guru olahraga yang terbilang masih muda itu menunjukkan raut yang serius.      "Ada apa, Pak?" tanya Satria seraya memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.      "Begini, saya mau minta tolong sama kamu. Lusa itu sekolah ada tanding basket, tapi karena Bayu lagi sakit dan harus dirawat jadi dia nggak bisa ikutan, gimana kalau kamu yang gantiin dia?"      "Maksudnya saya gantiin si Bayu main basket?"      "Iya, kamu bisa, kan. Kalau minggu depan mungkin saya nggak akan minta tolong kamu tapi karena ini lusa jadi harus sekarang, kamu mau, kan, Satria? Lagipula dari kelas sepuluh basket kamu itu bagus dan terlatih, yang Bapak heran kenapa setiap ada lomba kamu nggak pernah mau gabung sama teman-temanmu."      "Bentar, bentar. Emang lawan mana nih?"      "SMA Yossida, ini perdana sekolah kita lawan mereka."      SMA Yossida? Batin Satria, senyum miringnya terbit. _______________      Seharian ini tak ada yang aneh dari sikap Bagas, dia tampak biasa saja seperti hari-hari sebelumnya. Elsa pikir Bagas akan marah pada Widia, ternyata tidak begitu, entah apa yang tengah Bagas pikirkan soal ucapannya semalam dan andai dia bisa baca pikiran pasti semua akan mudah ia handle.      Sejak pagi gadis itu merasa cukup cemas dengan keadaan hati sahabatnya, tapi ia bernapas lega karena hingga bel pulang berbunyi semua tampak baik-baik saja, meski aneh karena saat di kantin ia masih melihat Widia dan Bagas bersama. Elsa tak ingin memusingkan hal itu, yang penting dia sudah katakan semuanya.      Elsa melangkah bersama beberapa siswi yang hendak melewati gerbang, motor-motor juga mulai saling menyalip agar bisa keluar lebih dulu.      Ketika sampai di depan gerbang gadis itu cukup terkejut karena melihat dua sosok anak SMA Tamtama sudah bertengger di atas motor mereka masing-masing, dia tahu salah satunya adalah Satria, sedangkan yang lain terlihat asing di mata, kedua manusia itu bertengger tepat di bawah pohon besar yang berada di dekat pintu gerbang.      "Sebenarnya mereka setiap hari ke sini itu ngapain, sih? Gangguin orang? Gangguin cewek orang?" gumam Elsa sendirian.      Kepala gadis itu menoleh ke belakang dan mendapati Bagas yang memboncengkan Widia, tumben sekali! Padahal Bagas lebih sering pulang lebih dulu ketimbang mengantar pacarnya pulang, motor Bagas berhenti tepat di sisi Elsa dan membuat ketiganya saling melihat. Bagas menarik kaca helmnya dan melempar senyum pada gadis itu, sedangkan Widia terlihat sangat angkuh.      "Widia!" seru teman Satria yang baru saja turun dari motornya.      Ketiga orang itu menoleh, mata Widia mendelik, jika saja ia tak punya kelopak mata pasti sudah melompat dari tempatnya, mata Bagas menyipit lalu melepas helmnya. Widia benar-benar kaget saat tahu ada Irwan—kekasihnya dari SMA Tamtama yang tiba-tiba datang, apalagi ia sedang bersama Bagas.      "Widia!" seru Irwan lagi, jelas laki-laki itu terbakar api cemburu setelah tahu kekasihnya dibonceng orang lain, kini Satria dan Irwan menghampiri mereka.      Bukan hanya Widia yang cemas, Elsa lebih dari itu. Kini Bagas benar-benar berhadapan dengan sosok Satria, tapi dia bisa apa sekarang, Elsa yang gemas menggigit bibirnya sendiri sambil terus memerhatikan dua orang yang makin dekat dengan mereka. Melihat Irwan datang sontak Widia turun, begitu juga dengan Bagas, dia sama sekali tak mengenal dua wajah laki-laki itu.      "Itu siapa, hm?" tanya Bagas meminta kejelasan, alis tebalnya bertaut.      Widia kebingungan, dia dihadapkan dalam situasi yang sangat menakutkan, pertemuan perdana antara dua pacaranya secara langsung.      "Ng ... itu, itu tuh."      "Itu siapa, hm? Anak yang suka jemput kamu? Satria?" Kedua tangan Bagas sudah mengepal, emosinya mulai naik ke ubun-ubun.      Kedua tangan Widia menyentuh tangan kanan Bagas, "Itu tuh, aku bisa jelasin deh sama kamu, Gas. Mereka—"      Tangan Irwan langsung menarik gadis itu ke sisinya, dia menatap Widia dengan alis bertaut juga. Sedangkan Satria tampak santai-santai saja sambil berdiri di sisi Irwan, justru dia saling tatap dengan Elsa yang terlihat dari balik bahu Bagas.       "Gue jemput lo ke sini, tapi lo malah asyik sama cowok lain, lo selingkuhin gue?" terka Irwan begitu tepat, dia melirik Bagas lewat ekor matanya.       Elsa makin tak mengerti dengan keadaan itu, dia pikir Satria selingkuhan Widia, tapi teman Satria justru yang mengaku semuanya. Jadi ada drama apa sebenarnya?      "Pacar? Dia cewek gue!" Bagas tak mau kalah dan menarik Widia hingga terlepas dari cekalan tangan Irwan, Widia merasa seperti mainan yang diperebutkan dua anak kecil.      "Maksud lo apa! Widia cewek gue, anjing!" Irwan langsung mendaratkan kepalan tangannya di pelipis Bagas hingga laki-laki itu akhirnya tersungkur dan melepas tangan Widia. Irwan kembali menarik Widia ke sisinya.       Mata Elsa membulat melihat kejadian itu, dia sampai menutup mulut dengan kedua tangannya.       Bagas bangkit, pelipisnya terlihat kebiruan. Dia tak mau kalah dan membalas pukulan Irwan tepat pada hidungnya hingga mimisan keluar tanpa izin.       "Jadi lo yang namanya Satria! b*****t!" umpat Bagas yang sudah begitu emosi.       "Hey, ada apa itu!" seru satpam Yossida, kini ia bergerak menghampiri perkelahian itu. Beberapa anak yang kebetulan belum pulang juga berbondong-bondong ingin melihat apa yang terjadi.       "Gue Irwan, bukan Satria!"       Bugh!       Irwan kembali memukul Bagas di bagian dagu dan menendang perut laki-laki itu, Bagas kembali tersungkur, dia meremas perutnya yang terasa nyeri.       "Bagas!" pekik Elsa dan Widia bersamaan, Elsa berjongkok berusaha membantu Bagas agar bangkit, sedangkan Widia tak bisa berbuat apa-apa, cekalan tangan Irwan begitu kuat.      Satria benar-benar jadi penonton yang baik, dia tak memihak siapa pun seolah tak punya andil dalam kejadian itu, padahal awal mula kejadian itu adalah dia.      "Lo nggak apa-apa, Gas? Ayo bangun gue bantuin," ucap Elsa yang begitu cemas melihat kondisi Bagas.      "Woy! Bangun, anjing! Jangan cuma bisanya rebut cewek orang!" seru Irwan yang begitu angkuh, kini semua orang sudah berkumpul di dekat mereka, seperti sebuah tontonan gratis.      "Ada apa ini? Bubar-bubar! Jangan ribut di area sekolah, semua bubar!" perintah satpam Yossida seraya meniup peluit.       "Hu ...." seru siswa-siswi yang kesal karena usiran dari satpam itu, mereka akhirnya bubar meski beberapa masih bertahan.      Bagas sudah bangkit, tangan kanannya melingkar di bahu kiri Elsa. Dia meremas perutnya seraya menatap Irwan dan Widia yang terlihat menunduk terus.      "Widia!" panggil Bagas.      Gadis itu menengadah, tangannya masih dicekal oleh Irwan.       "Jadi itu kamu yang asli, pantas setiap aku ajak pulang bareng nggak mau, banyak alesan ternyata punya cowok lain. Bagus deh, begini lebih baik daripada suatu hari aku makin nyesel, makasih," ucap Bagas yang mengakhiri hubungannya meski baru berjalan beberapa hari dan belum genap seminggu, hatinya jelas sakit menyadari semua fakta itu, dia sudah puas dengan amukan dari Irwan.       Elsa dan Bagas berjalan meninggalkan tempat itu, ketika Elsa menoleh pandangannya kembali beradu dengan manik Satria, kekesalan Elsa pada Satria makin bertambah.       Dasar cowok nggak tahu diri, umpat Elsa dalam hati. Kini ia dan Bagas duduk di trotoar jalan bersama beberapa siswi yang menghampiri mereka. ______________
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN