Catatanku hari ini adalah sebuah pertanyaan, siapa kamu sebenarnya?
_______________
"Elsa Naomi," panggil Bu Dafiny—guru kimia yang tengah memegang beberapa kertas ulangan penghuni kelas dua belas IPA tiga. Kini tangan kanannya memegang kertas ulangan milik Elsa.
Dengan rasa cemas yang menggelayut di punggungnya gadis itu beranjak dari kursi, Elsa melewati beberapa kursi temannya dan meraih kertas ulangan yang diulurkan Bu Dafiny, guru kimia itu menatapnya sekilas.
"Rajin belajar ya, El," kata Bu Dafiny dan dibalas oleh anggukan dari Elsa.
Elsa menempelkan kertas itu pada dadanya, ia belum siap untuk melihat hasil ulangan Minggu lalu. Hingga gadis itu duduk dan disambut oleh tatapan Lova yang mengarah pada kertas ulangan Elsa, pasalnya Lova juga belum menerima benda itu.
"Berapa nilainya, El?" tanya Lova segera.
Elsa menatap teman semejanya itu, perlahan dia menaikkan kertas ulangan dan kedua matanya menangkap jelas angka delapan puluh yang dilingkari di ujung kertas, seketika senyum Elsa terbit. Dia menarik napas lega.
"Untunglah, nggak jelek-jelek amat," ujarnya lalu meletakan benda itu di atas meja, Lova manggut-manggut setelah melihat hasilnya.
"Lumayan sih, elo mana pernah dapet nilai jelek," ucap Lova seraya mencebikkan bibir. "Gimana nih sama gue?" imbuhnya was-was.
"Keep calm, emang lo dijanjiin apa sama Affan kalau dapet nilai bagus, hm?"
"Nonton," balas Lova diikuti nyengir kuda, menunjukkan deretan gigi putihnya yang selalu ia sikat dua kali sehari.
Elsa manggut-manggut, "Asyik ya yang punya pacar, sering-sering dijanjiin."
"Iya dong, nah lo kapan pacaran? Cantiknya di atas rata-rata tapi masih jomblo aja, lama-lama jadi perawan tua lo," cibir Lova begitu sarkas.
Elsa menatap temannya dengan mata menyipit, dia mencubit hidung Lova. "Apaan sih Lova, kayak gak kenal lama gue aja. Boro-boro bisa pacaran, hangout sama kalian aja ribet," gerutu gadis berambut pirang itu.
"Kenapa lo nggak nyari pacar online aja," celetuk Lova yang mendapatkan cubitan kedua di hidungnya.
"Lo apaan sih, Lov. Ya kali hubungan aja pakai cara online."
"Lova Juniar," panggil Bu Dafiny.
"Eh, bentar ya, El. Gue dipanggil tuh," izin Lova lalu beranjak menghampiri kertas yang dipegang oleh Bu Dafiny.
Ketika Lova kembali gadis itu terlihat muram, dia langsung meletakan kertas ulangannya yang memperlihatkan angka tujuh puluh saja. Pasti Lova cukup kecewa, dia juga harus berkata apa pada Affan nanti.
"Ya ampun monyong gitu nanti cantiknya ilang lho," ledek Elsa, dia begitu senang jika harus mencubit hidung Lova.
"Apaan sih Elsa! Gue takut nanti si Affan nggak jadi ngajak nonton lagi."
Elsa memang sibuk, tapi bukan berarti dia meninggalkan urusan pendidikannya, seminggu dua kali Elsa mengikuti bimbingan belajar karena memang tak punya waktu belajar di rumah. Jika ia mengikuti bimbel maka akan ada alasan untuk cancel photo shoot, dan kegiatan itu cukup membuatnya senang karena mengurangi kadar sesi foto untuknya.
"Eh iya, El. Kemarin si Affan bilang sama gue soal cowok yang boncengin si Widia itu." Lova mengganti topik pembicaraan.
Elsa terdiam, pasti itu soal Satria. "Kenapa emangnya?"
"Jadi itu cowok namanya Satria, dia itu most wanted di SMA Tamtama, lo tahu kan SMA itu?"
Elsa mengangguk pelan, "Terus kenapa emangnya kalau dia itu most wanted?" Sengaja Elsa menekan kalimat terakhirnya, karena baginya tak ada yang spesial dari seseorang yang sudah dikategorikan dalam most wanted.
"Gue tuh pernah dengar soal dia, jadi saudara gue ada yang sekolah di Tamtama juga, El. Jadi tuh kata dia si Satria salah satu trouble maker gitu, intinya lebih banyak masalah daripada faedah deh dari badan si Satria itu, cuma ya ada nilai plusnya sih."
Kening Elsa mengernyit, "Nilai plus? Apa coba?"
Lova mendekatkan kepalanya pada telinga Elsa lalu berbisik, "Dia ganteng kayak Affan."
Elsa memutar bola matanya jengah, tak habis pikir dengan pola pikir Lova hanya karena melihat laki-laki yang bening sedikit.
"Terus? Kalau orang ganteng itu menjamin attitude dia baik? Enggak, kan? Contohnya si Satria yang baru lo omongin itu," cibir Elsa yang makin kesal setelah mendengar beberapa fakta soal Satria, untung Lova tak tahu soal tadi pagi, dia juga tak berniat mengatakan apa pun soal pertemuannya dengan Satria di rumah kosong kala itu.
"Iya sih, El. Gue juga percaya sama omongan lo, tapi semua itu bakal bisa lo tepis kalau lo jatuh cinta sama seorang trouble maker deh, gue yakin," terang Lova mantap.
Elsa hanya bisa geleng kepala, untuk apa jatuh cinta jika mendengar namanya saja sudah membuat dia kesal, apalagi Satria adalah selingkuhan Widia meski hal itu Elsa belum menemukan titik terangnya.
____________
Di warung belakang SMA Tamtama selalu ramai oleh mereka para tukang rokok, bukan hanya penjual tapi juga penghisapnya. Kebanyakan dari para remaja laki-laki Tamtama memang mayoritas perokok aktif. Mereka duduk berjejer di atas kursi kayu panjang seraya menaikkan kaki kanan di atas pinggul kiri, ada juga yang asyik bernyanyi atau makan gorengan.
Begitu juga dengan Satria yang rebahan di atas kursi panjang seraya menaikkan kaki kanan ke atas lutut kiri yang ditekuk, sebatang rokok sedang dinikmatinya. Ia sulit menjauh dari benda pemicu banyak penyakit itu, Satria sudah berkenalan dengan rokok sejak ia masih duduk di bangku SD.
Sejak dia tahu apa itu perpisahan, ditinggalkan dan tak memiliki keluarga, semua itu membuat keluguan dalam diri Satria kecil langsung sirna dan menjerumuskan dirinya pada banyak hal negative. Beban yang ia pikul sejak kecil memang cukup berat, mereka sama sekali tak melihatnya kecuali seseorang yang memang bertanggung jawab atas dirinya.
Cukup sulit menembus celah kecil dalam hati Satria, dia beku dan tak mengizinkan siapa pun untuk mengetuknya. Tak ada yang berhak mengusiknya lagi, dia hanya jatuh cinta pada satu orang meskipun sosok itu sudah menghilang dari dunia.
"Sat, tadi pagi lo ke Yossida nggak ada yang aneh-aneh, kan?" tanya Irwan yang duduk di sebrangnya, dia sedang asyik memakan gorengan, tak lupa Irwan selalu membawa serta gitar kesayangannya.
Satria mengeluarkan asap rokok dari lubang hidungnya, matanya menatap atap warung yang terbuat dari daun itu.
"Enggak kok, lagian elo punya cewek di sekolah lain tapi nggak berani antar-jemput," cibir Satria tanpa menatap Irwan.
Irwan terbatuk, ia langsung menyeruput es teh di depannya. "Ya maaf, tapi lo ikhlas kan jemput si Widia?"
Satria beranjak, "Gue apa aja ikhlas asal tambah pahala, dari dulu dosa gue yang makin memuncak."
"Pan banyak yang bening ye, Sat?" sela Melki yang baru datang lalu duduk di sisi Satria.
"Apaan yang bening? Comberan Yossida, mana ada comberan bening," sahut Satria asal-asalan.
Irwan dan Syarif tertawa kecil mendengarnya.
"Maksud si Melki tuh ceweknya pada bening-bening enggak?" timpal Faisal yang duduk tak semeja dengan mereka tapi bisa mendengar obrolan itu.
Satria mengedikkan bahu, dia memang begitu tak acuh soal seorang gadis, tak ada yang penting untuknya. Bagi Satria mereka hanya kupu-kupu yang hinggap dan jika bosan akan lekas pergi, dan Satria sama sekali tak ingin mencoba jadi tempat untuk hinggap.
________________
Gadis itu mengikat rambutnya tinggi lalu merapikan kaus olahraga yang dipakainya, Elsa meraih seragam di depan kaca wastafel dan keluar dari kamar mandi. Kebetulan Widia dan beberapa temannya juga baru keluar dari bilik lain, mereka melihat Elsa yang baru saja melangkah keluar dari area toilet.
"Elsa!" panggil Widia, tanpa mengajak dua temannya gadis itu mengejar Elsa.
"Elsa!" seru Widia lagi, pada akhirnya Elsa berhasil menoleh dan menghentikan langkahnya. Dia cukup terkejut jika yang memanggilnya adalah Widia, pasalnya mereka tak akrab sama sekali.
Kini Widia sudah berdiri di depan Elsa, menatapnya datar. "Jadi lo kenal Satria?" tanya Widia langsung pada sumbernya.
Elsa berdecak, ternyata Widia sampai mengejarnya hanya karena nama seseorang yang akhir-akhir ini begitu berdengung di telinganya.
"Enggak, kenapa?" balas Elsa santai.
"Terus dia yang kenal elo?" tanya Widia lagi dan mendapat gelengan kepala dari Elsa.
"Bagas bilang sama gue kalau lo dekat sama dia, jadi gue mau minta tolong buat lo bilang kalau gue emang nggak ada hubungan apa-apa sama Satria, dia cuma nganter gue aja kok."
Lagian jadi cewek gatel banget sih, makan tuh omelan si Bagas. Batin Elsa lalu menggaruk pelipisnya.
"Maaf ya, kayaknya itu juga bukan ranah gue deh buat ikut campur urusan orang. Kecuali kalau Bagas tanya dan gue emang tahu kebenarannya."
"Tapi gue takut kalau lo sampai bicara macem-macem."
Elsa mendengkus, "Emang iya sih awal gue curiga kalau itu cowok pacar lo yang lain. Kalau bukan ya udah, cuma gue mau ingetin aja mending berhenti deh bonceng-bonceng orang yang bukan pacarnya. Gue kasihan sama si Bagas," jelas Elsa panjang lebar.
"Ng ... iya, El. Gue nggak akan bonceng dia lagi kok, tapi beneran ya lo nggak akan ngomong apa-apa ke Bagas, please."
"Gue nggak akan bilang apa-apa kecuali lo macem-macem ke Bagas, permisi," tandas Elsa lalu beringsut pergi.
Kini raut Widia yang awalnya begitu kalem langsung berubah sinis, kedua temannya yang sedari tadi sudah bersembunyi di balik tembok toilet kini muncul dan menghampiri gadis itu.
"Maaf ya, Elsa. Gue juga ogah pacaran sama Bagas, tapi mainin perasaan cowok buat gue adalah sebuah kewajiban," ungkap Widia menyatakan fakta sebenarnya seraya memainkan ujung rambutnya.
____________