Seperangkat Alat Infus

1993 Kata
“Ini pengantian prianya?” “Benar, Pak” jawab Almeera dengan cepat. Mata Dennis membulat seketika. Ia langsung menurunkan Luna dari gendongannya, lantas menatap geram pada Almeera yang langsung mencapnya sebagai pengantian pria. Padahal ia datang ke rumah sakit tidak untuk menikahi siapa pun. “Pengantin pria apaan? Jangan ngomong sembarangan!” sergah Dennis dengan cepat. “Ssshhh ….” Almeera menaruh telunjuk di depan bibir. Sebagai tanda agar Dennis tak lebih lanjut menyangkali ucapannya. “Jangan ribut-ribut, Kak. Ada orang sakit.” Ia memelankan suara sambil menunjuk pada Bintang yang sudah sekarat di atas ranjang. Dennis tak peduli, karena itu ia melangkahkan kakinya untuk mundur. Lalu dengan cepat ia membalik tubuh hendak keluar dari ruangan tersebut. Tapi, gerakan Almeera tak kalah cepatnya untuk menghalangi Dennis. “Jo, bantuin pegangin Kak Dennis,” pinta Almeera dengan cepat. Seolah sudah berlatih untuk memprediksi pergerakan Dennis. Almeera begitu cepat menghalau pergerakan pria itu. Almeera langsung memasang badan di depan pintu, menghalau Dennis agar tak keluar. Dan ia seratus persen yakin jika Dennis tak akan berbuat nekat untuk mendorongnya agar menjauh dari pintu. Memang benar keyakinan Almeera, karena pada akhirnya Dennis tak melakukan apa pun untuk menyingkirkan sang adik dari pintu. Dan saat itulah, entah karena pikirannya yang tiba-tiba kosong, ia tak sempat untuk melawan saat Kejora yang dibantu oleh Rustan menariknya untuk duduk di balik meja. Berhadapan dengan penghulu yang siap menikahkannya dengan Bintang. “Apa-apaan ini?” cecar Dennis tak terima. Ia menatap satu persatu manusia yang ada di hadapannya bergantian, tapi tak ada yang memberinya jawaban. “Santai aja, Kak. Gak usah tegang, Almeera bawain contekan buat Kak Dennis kok,” ujar Almeera sambil mendekat. Seolah tak punya dosa, ia hanya menyengir saat ia merogoh tasnya dan mengeluarkan secarik kertas yang ia sebut sebagai kertas contekan. Selanjutnya ia menyodorkan kertas tersebut pada Dennis. Saya terima nikahnya Bintang Ayuningsih binti Naiman Sugiono dengan mas kawin seperangkat alat guna-guna dibayar tunai. Begitulah kalimat yang tertulis di kertas yang disodorkan oleh Almeera pada Dennis. Kalimat yang membuat dahi Dennis mengerut. Bukan karena bingung, tapi lebih karena kesal dengan apa yang tertulis di kertas tersebut. “Apa-apaan ini?” sentak Dennis tak terima dengan jebakan Almeera. “Baca aja, Kak.” Almeera menjawab dengan enteng, bak tak memiliki beban apa pun dari ucapannya. “Gak usah tanya ini apa, pokoknya dibaca aja setelah penghulunya selesai ngomong. Kak Dennis langsung baca aja. Langsung dilanjut.” Almeera menarik paksa tangan kanan sang Kakak, dan sebelum pria itu sempat menolak, Almeera telah menjabatkannya pada tangan sang penghulu. Dennis ternganga. Bukan tak sanggup menolak, hanya saja ia tak benar-benar paham apa yang sebenarnya terjadi padanya. Almeera melirik pada penghulu tersebut, satu lirikan yang sangat dipahami oleh penghulu tersebut, lantas pria itu mengeratkan jabatan tangannya pada tangan Dennis. Lantas ia berujar. “Saya nikahkan engkau, Dennis Alviano Bramantyo bin Yudi Bramantyo dengan Bintang Ayuningsih binti Naiman Sugiono dengan mas kawin seperangkat alat ….” Penghulu tersebut bingung hendak melanjutkan dengan ucapan yang seperti apa. Karena ia bahkan belum diberitahu apa mas kawin yang akan diberi oleh Dennis pada calon istrinya yang sekarat itu. Saking terburu-burunya akad nikah yang dadakan ini, penghulu tersebut pun sebenarnya hanya penghulu dadakan. Ia tiba-tiba dibawa paksa ke ruang perawatan Bintang untuk menikahkan pasien yang sekarat dengan pria yang bahkan enggan menikah itu. Ia hanya seorang petugas kebersihan di rumah sakit, yang kebetulan pintar mengaji dan rajin shalat. Dan selepas shalat dhuha, ia malah dipaksa untuk menjadi penghulu. “Maaf nih, Mas, Bapak, Ibu, Mbak, ini mas kawinnya apa ya?” “Seperangkat alat guna-guna,” Almeera menimpali. Memberikan jawaban yang sebenarnya tak masuk di akal penghulu tersebut. “Iya, seperangkat alat guna-guna,” Mbok Tatik turut membenarkan. Wanita tua itu bahkan meletakkan sebuah kendi berisi air yang telah dimantrai, selembar foto Dennis, beserta kembang tujuh rupa. Ah, tak lupa ia juga meletakkan dupa yang baru saja ia bakar. Seperangkat mas kawin yang membuat penghulunya jadi mengernyitkan dahi. Tapi, ia tak melayangkan protes. Toh, di antara semua hal yang terjadi padanya pagi ini, semua ini penuh kegilaan. Mana mungkin ia tiba-tiba diseret untuk menjadi penghulu, padahal ia sama sekali tak punya pengalaman di bidang menikahkan pasangan. Dennis mengernyit heran, lantas ia melayangkan sebuah protes. “Mas kawin macam apa ini?” “Emangnya Kak Dennis mau ngasih yang lain buat Bintang?” “Gak,” bantah Dennis dengan cepat. “Makanya, itu aja.” Ia menepuk pundak sang kakak, untuk meyakinkannya. Kemudian ia kembali menatap pada sang penghulu, memintanya untuk memulai proses akad nikah. “Cepetan diulang, Pak.” Dennis yang mulai paham akan petaka yang hendak menimpanya ini berupaya menarik tangan. Namun, sekali lagi ia terhalau oleh kecepatan tangan Almeera yang menahan tangannya. Dibandingkan proses ijab kabul, Almeera saat ini lebih terlihat seperti sedang menjadi juri adu panco, yang sedang menautkan dua tangan dari masing-masing kubu yang hendak bertarung. Dennis mendongak, ia menatap Almeera dengan kesal. Tenaganya cukup kuat untuk menampik tangan Almeera yang tenaganya tak seberapa itu. Namun, seorang kakak tak pernah menyakiti adiknya sendiri, apalagi soal fisik. Terlebih Almeera dalam keadaan mengandung saat ini. Dan pikiran Dennis bekerja dengan cukup waras untuk menerka akan bagaimana jadinya jika mendorong tangan Almeera dengan kasar. Dan karena itulah, ia memilih diam. Diam, yah … itulah adalah cara yang paling tepat dan ampuh untuk menyelamatkannya. Karena entah bagaimanapun cara Almeera menjebaknya untuk menikahi Bintang, tak seorang pun mampu memaksanya untuk melafalkan kalimat ijab kabul tersebut. Kecuali jika mulutnya sendiri yang memang ingin melafalkannya. “Saya nikahkan engkau, Dennis Alviano Bramantyo bin Yudi Bramantyo dengan Bintang Ayuningsih binti Naiman Sugiono dengan mas kawin seperangkat alat guna-guna dibayar tunai.” Diam … Dennis tak melakukan apa-apa selain diam. “Kak Dennis balas dong ucapannya, dibaca itu contekannya.” Almeera mengomel sambil ia menunjuk-nunjuk kertas contekan yang ia letakkan di atas meja. Dennis menggelengkan kepala sebagai bentuk penolakan. Ia menatap Almeera dengan seringaian, yakin jika adiknya itu tak akan mampu memaksanya. Melihat seringaian tersebut tak lantas membuat Almeera menyerah, karena ia punya trik lain untuk memastikan jika Dennis akan lepas dari status lajangnya hari ini juga. Dan bahkan jika ia perlu mengeluarkan segala jurus gilanya pun akan ia coba. “Kak Dennis tega liat Bintang kayak gitu? Bintang tuh udah sekarat kayak gitu gara-gara Kak Dennis.” “Terus kamu tega maksa Kakak nikah sama perempuan yang udah sekarat? Kamu mau liat Kakak jadi duda?” Almeera menggeleng, kemudian ia kembali menimpali. “Bintang tuh bakalan sembuh, tapi untuk sembuh ya harus dinikahin sama Kak Dennis. Karena Kak Dennis yang udah maksa Bintang buat minum ramuan guna-gunanya, makanya Kak Dennis yang harus bertanggung jawab.” “Kenapa Kakak yang harus tanggung jawab, padahal dia yang punya niatan buruk?” Dennis membalas dengan suara meninggi. “Kalau dia sekarat atau mati sekali pun, ya itu udah takdir dia, gak ada sangkut pautnya sama Kakak.” “Oh ada, Kak.” Almeera menanggapi lagi. “Kak Dennis alasan utama dari terjadinya guna-guna yang salah sasaran ini. Bintang gak bakalan mencoba mengguna-guna Kak Dennis kalo Kak Dennis gak bikin Bintang jatuh cinta.” “Lantas apa itu salah Kakak?” Dennis kembali membantah. “Iya,” Almeera membenarkan. “Di mana-mana itu cowo selalu salah, apa pun situasinya, cowo selalu salah, pokoknya cewe selalu benar. Dan kalau cewe salah, ya kembali ke aturan pertama, cowo yang selalu salah.” Dennis mendengkus. “Seperti apa pun makanannya, minumannya ya … teh Dian Sastro.” Dennis menggertakkan gigi, amarahnya berasa sudah di ubun-ubun. “Ngapain minum artis Dian Sastro, Almeera?” balas Dennis dengan geram. Itu bukan pertanyaannya sebenarnya, hanya ungkapan kekesalan Dennis. “Soalnya teh botol S itu gak bayarin Almeera sih buat jadi model iklannya, makanya gak disebut merknya dengan benar. Lagian tuh ini cuma perumpamaan, seperti yang Almeera bilang tadi kalo cowo itu pokoknya selalu salah. Apa pun situasinya, ya cowo pokoknya salah.” Hanya embusan napas berat yang keluar dari mulut Dennis. Pria itu tak lagi membalas ucapan yang sudah tidak waras dari Almeera. “Kak Dennis, masih cowo, ‘kan?” Dennis membuka mulut, ia hendak melayangkan ucapan kasar atas pertanyaan yang sangat tidak waras itu. Tapi, ia urungkan saat melihat Almeera sedang mengelus-elus perut. Sial, Almeera selalu menggunakan bayinya sebagai tameng. Dennis merutuk dalam hati sambil membungkam mulutnya. Tak jadi mengucap sumpah serapah karena terlalu sayang pada bayi yang masih berada di perut Almeera. “Kak, Bintang tuh udah jagain Almeera dari dulu. Bintang tuh udah menyerahkan jiwa dan raganya untuk kelangsungan hidup Almeera selama bertahun-tahun. Sekarang apa salahnya Kak Dennis membalas kebaikan Bintang dengan menikahinya.” “Apa salahnya kata kamu?” ketus Dennis. “Salah, semuanya akan benar selama bukan tukang gosok itu yang Kakak nikahi.” “Kayak Kak Dennis punya calon istri aja,” cela Almeera. “Udah deh, gak usah banyak alasan, nikahin aja Bintang dulu, sebelum Bintang kenapa-napa.” Perdebatan itu tak pernah selesai. Yang lain hanya diam, tak ada yang menimpali. Dibandingkan menimpali, yang lain lebih sibuk merapal doa untuk keselamatan Bintang. Sementara Mbok Tatik, wanita itu sibuk dengan mantra-mantra penangkalnya yang ia lafalkan untuk mencoba memperpanjang umur Bintang. “Bintang!!” jerit Bu Masitoh saat tubuh sang anak makin melemas. Panggilan demi panggilan terus bergema dari mulut Bu Masitoh, Kejora, atau bahkan dari tenaga medis. Tapi, Bintang tak lagi mampu merespon dengan suara atau bahkan gerakan lagi. Matanya kini dalam keadaan tertutup. “Ih, Kak Dennis. Cepetan napa sih, nikahin Bintang!” Almeera memaksa sambil ia menggoyangkan tangan sang kakak. “Maaf, Pak, Bu, kalau akad nikahnya gak jadi. Tolong tunggu di luar, kami akan melakukan penanganan untuk pasien.” Seorang petugas medis memecah kesunyian antara percakapan Almeera dan Dennis yang belum juga menemui titik temu. “Jadi, kok. Jadi.” Almeera membalas dengan yakin. “Pak penghulu, tolong ulangin ucapan ijab kabulnya.” “Saya nikahkan engkau, Dennis Alviano Bramantyo bin Yudi Bramantyo dengan Bintang Ayuningsih binti Naiman Sugiono dengan mas kawin seperangkat alat guna-guna dibayar tunai.” Mata Almeera melotot pada Dennis. Seolah dari pelototannya itu ia sedang memaksa sang kakak untuk segera menyambung ucapan dari penghulu, tapi Dennis memilih tak melanjutkannya. “Masa orang nikah pake alat guna-guna?” Justru kalimat itulah yang keluar dari mulut Dennis. “Terus mau Kak Dennis apa? Seperangkat alat sholat? Gak ada di sini. Atau Kak Dennis punya mas kawin yang lain?” “Kalau gak mau pakai seperangkat alat guna-guna, Pak Dennis mungkin bisa pakai seperangkat alat infus?” Salah seorang tenaga medis memberi saran. Sambil wanita itu menarik tiang gantungan infus Bintang, sedikit lebih dekat pada Dennis. “Pake alat guna-guna emang bukan mas kawin yang baik, Pak. Mungkin seperangkat alat infus lebih baik dari seperangkat alat guna-guna ini. Setidaknya mas kawinnya tidak pakai hal-hal yang dilarang agama,” lanjut wanita berpakaian perawat itu seolah sedang berceramah. “Bener juga,” Almeera ikut membenarkan. “Diganti teks ijab kabulnya, Pak penghulu.” “Saya nikahkan engkau, Dennis Alviano Bramantyo bin Yudi Bramantyo dengan Bintang Ayuningsih binti Naiman Sugiono dengan mas kawin seperangkat alat infus dibayar tu-nai.” Saat penghulu hampir selesai dengan ucapannya, Almeera langsung menyenggol Dennis. Berharap dari senggolan tersebut, Dennis tergerak untuk menyambung ucapan tersebut. Dan mensahkan Bintang sebagai istrinya. Meski hanya dengan seperangkat alat infus, yang tiang infusnya pun sudah karatan. Tak masalah, hidup Bintang jauh lebih penting dibandingkan sekadar tiang infus karatan serta selang-selangnya yang masih tersambung ke tangan Bintang. Di antara semua pergulatan di otaknya, entah sadar atau tidak. Entah rela atau tidak. Entah dalam keadaan terpaksa atau tidak. Entah dijebak atau tidak, pada akhirnya Dennis menyambung ucapan ijab dari penghulu. Dan ia sambung dengan lancar, bahkan tanpa melihat contekan. “Saya terima nikahnya Bintang Ayuningsih binti Naiman Sugiono dengan mas kawin seperangkat alat infus tunai.” Hening, seolah waktu berhenti berputar. Ia menyesalkan betapa gegabahnya ia karena melafalkan ucapan tersebut. Tapi, ucapan yang telah ia keluarkan itu tak mampu ditarik lagi. Dan memang tak mampu untuk ia tarik, terlebih saat terdengar gema suara bergemuruh menyuarakan bahwa ijab kabul tersebut sah. “SAH!!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN