BAB 1. Raka

1471 Kata
Jika di dunia ini ada yang disebut sempurna, maka itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan Zia kekasihku. Seorang model, masih muda, bisa diandalkan dan yang paling penting dia cantik dan bisa memenuhi segala keinginanku. Sudah lebih dari dua tahun kami memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih yang saling menguntungkan. Dalam artian, aku akan memenuhi segala kebutuhannya tentang barang-barang yang dia inginkan dan dia akan menemaniku dalam setiap pertemuan penting dengan Client atau acara-acara formal yang harus aku hadiri. Dia berpakaian pantas, berpenampilan menarik dan pandai nenbuka perbincangan dengan siapa saja. Atau bisa di bilang dia adalah perempuan sempurna yang memenuhi semua standarku tentang seorang wanita. “Bos, ada telpon dari tuan sepuh.” Ucapan Diana, Sekertarisku membuyarkan semua pemikiranku tentang Blezia. “Katakan saya sedang sibuk.” Jawabku tanpa menoleh. Bisa ditebak apa yang akan dibicarakan oleh kakek tua itu. Belum mendengar saja telingaku sudah sakit. “Ini sangat penting katanya Bos, jika Bos tidak mau mengangkat maka besok posisi Bos akan digantikan oleh Tuan Alvian.” Ucap Diana lagi membuatku berdecak kesal. “Baiklan lima menit lagi saya akan telpon balik.” Putusku pada akhirnya. Tuan sepuh yang di bicarakan oleh Diana adalah kakeku. Jenis laki-laki tua yang suka mengatur. Puluhan kali menjodohkanku dengan gadis-gadis putri dari kenalannya yang semuanya berkelas rendah dan tukang perintah paling menyebalkan di alam semesta. “Halo, ada apa sih Kek? Raka banyak kerjaan nih.” Ucapku dengan nada pelan begitu telponku terhubung. “Kapan kamu akan menikah lagi Raka? Kapan kakek akan dapat buyut?” Ucapnya sesuai dugaanku. “Nanti kalau kek, kakek harus sabar dong. Nyari calon istri kan gak bisa sembarangan.” Jawabku seadanya. Aku memang belum sempat mengenalkan Blezia kepada kakek karena aku berada di pusat kantor yang berada di luar kota dan kesibukkanku yang menggunung sehingga belum sempat mengajak Zia ke rumah kakek. “Jawaban kamu kaya gitu terus, kakek gak puas. Minggu depan pokoknya bawa calon istri kamu ke hadapan kakek kalau enggak udah kamu jadi gelandangan aja, perusahaan biar di pegang Alvian.” Ucapnya sebelum menutup telponnya secara sepihak. Aku mendesah lelah, ketidak akuran kami tidak jauh dari masalah jodoh dan itu terasa menyebalkan sekali. “Kenapa sih kayaknya bt banget.” Tiba-tiba saja kekasihku yang cantik sudah ada di hadapanku sedang tersenyum manis. Saking seriusnya memikirkan permintaan kakek sampai membuatku tidak sadar kapan Zia masuk ruanganku. “Biasa kakek, minta kenalin calon istri.” Jawabku sambil beranjak untuk memeluknya. Dia masih mengenakan dress cantik yang sepertinya baru saja dia gunakan untuk pemotretan. “Kamu mau aku kenalan sama kakek kamu?” Tanyanya dengan nada manja yang aku suka. “Ya, bisa kan?” Tanyaku dan dia tersenyum sambil memberikan reaksi berpikir. “Tergantung seberapa banyak yang aku dapatkan.” Kekehnya membuatku tertawa. “Mau apa? Tas? Sepatu lagi? Atau baju?” Tawarku. Hubungan kami memang cenderung take and give. Aku akan mendapatkan sesuatu jika aku memberikan sesuatu. Begitupun sebaliknya. “Mobil?” Tanyanya penuh harap. Aku terkekeh kemudian mencubit hidunya dan mengangguk setuju. Zia kemudian memelukku erat dengan bahagia. Mungkin akan terlihat seperti hubungan yang tidak biasanya, tapi aku suka hubungan yang seperti ini. Saling menguntungkan dan tidak mempersulitku. Zia juga bukan tipe perempuan yang gemar menuntut waktuku untuk selalu bersamanya seperti gaya pacaran anak sekolahan. Dia mengerti kesibukanku, tidak pernah menyulitkanku dan selalu ada setiap aku membutuhkan. Bukankah hubungan seperti ini terasa lebih dewasa? *** Sudah Lima hari sejak telpon kakek berakhir, dua hari lagi aku sudah berencana mengajak Zia datang ke rumah kakek. Gadisku itu bahkan sudah mengosonghkan jadwal pemotretannya untuk beberapa hari. Tapi hari ini, bibiku menelpon dan memberitahu kakek masuk Rumah Sakit karena jantungnya kumat. Tanpa pikir panjang aku segera meninggalkan semua pekerjaanku dan bertolak menuju tempat kakek berada. Bisa di bilang, kakek adalah satu-satunya orang tua yang aku miliki setelah kedua orang tuaku meninggal. Sehingga semenyebalkan apapun beliau aku tetap tidak mau kehilangannya. Kesehatannya kerap kali membuatku ketakutan akan ditinggalkan seorang diri. Aku berlari menyusuri koridor Rumah Sakit hingga sampai di ruangan tempat kakek di rawat. Beliau terlihat lemah dan tersenyum begitu melihatku. “Apa yang kakek pikirkan lagi kali ini? Raka kan udah janji mau bawa calon istri hari minggu nanti.” Ucapku begitu sampai di samping ranjangnya. Di sana sudah ada Alvian beserta paman dan bibiku. “Satu bulan Raka, dalam waktu satu bulan kakek mau kamu menikah atau kalau nggak, perusahaan akan diwariskan ke Alvian seluruhnya.” Ucapnya sedikit lemah sambil memegangi tanganku. “Kakek sudah tua Raka, setidaknya sebelum kakek pergi, kakek ingin melihatmu menikah dengan wanita yang baik.” Tambah beliau lagi. Mataku sedikit memanas berada dalam situasi ini. “Kakek ngomong apa sih? Kakek akan baik-baik saja.” Ucapku. “Apa jawaban kamu Raka?” Tanya beliau lagi. Aku mendesah. “Iya Kek, sebulan lagi Raka akan menikah.” Jawabku pada akhirnya. Ku lihat Alvian tersenyum mengejek. Sekalipun dia sepupuku yang sedikit nakal tapi dia selalu mendukungku terlebih ketika aku mengalami kesulitan sekaligus gemar meledek. Sebenarnya aku tidak begitu khawatir sekalipun perusahaan harus di serahkan pada Alvian karena aku tahu dia laki-laki yang bertanggungjawab, tapi persetujuanku lebih karena permintaan kakek yang penuh harap dan pemikiran Blezia akan meninggalkanku jika aku sampai tidak punya uang dan jabatan. Bukankah jaman sekarang perempuan kebanyakan mencari laki-laki yang kaya raya dan mapan? Terlebih perempuan secantik Zia. *** Aku tidak khawatir sedikitpun mengenai permintaan yang kakek sebutkan, karena aku yakin Zia akan setuju selama itu tidak merugikannya. Tapi nyatanya kehidupan memang di penuhi oleh kejadian tak terduga. “Kontrak modelingku masih satu tahun lagi Raka, jadi aku tidak bisa menikah.” Jawab Zia sedikit membuatku kecewa. “Apakah bisa urus pembatalan kontrak, kamu tidak perlu khawatir mengenai denda yang harus di bayar.” Tawarku. “Karier Zia sedang naik-naiknya Raka, jika kontraknya dibatalkan itu akan membuatnya kehilangan kesempatan emasnya.” Tante Diona yang menjawab dan Zia mengangguki ucapan itu. Detik ini aku mengetahui bahwa posisiku tidak sepenting yang aku kira di hati Zia. Ini membuatku kecewa tapi aku memakluminya. Masuk ke dunia modeling memang tidaklah mudah apalagi berada di posisi Zia yang sedang naik daun. “Apa tidak bisa dibicarakan lagi dengan kakekmu Raka?” kali ini ayah Zia yang bertanya dan aku menggeleng. “Itu keputusan final kakek, jika aku tidak mau maka perusahaan akan di serahkan pada Alvian.” Desahku sambil sedikit memijit kening. “Assalamu’alaikum.” Suara seorang gadis dan tidak lama kemudian masuk ke rumah. Sedikit kaget melihatku tapi kemudian menunduk sopan melewati kami. “Wa’alaikumsalam.” Aku menjawab salamnya karena tidak ada satupun yang mempedulikannya. Kemudian ku lihat dia menoleh sekali lagi ke arahku sebelum naik ke tangga. Mungkinkah dia Anggia yang sering dibicarakan oleh Zia? Sepupu Zia yang selalu dianggap pembuat masalah, pembangkang dan bukan wanita baik-baik. “Bagaimana kalau tunangan saja dulu Raka, siapa tahu kakek kamu mau mengerti keadaan Zia.” Ucap tante Ziona lagi. Aku diam sejenak karena tiba-tiba di kepalaku tercipta sebuah ide gila. “Yang tadi lewat itu Anggia?” Tanyaku. Zia mengernyitkan keningnya kemudian mengangguk. “Tidak usah pedulikan dia Raka, dia pembuat onar.” Ucap tante Diana dengan nada yang sedikit kesal. “Iya Raka tahu tante, Zia sering bercerita.” Jawabku dan sedikit menggelitikku karena respon tante Diona dan suami mendesah lega. “Bagaimana jika Anggia menggantikan Zia sementara.” Usulku membuat ketiga orang dihadapanku membelalak kaget. “Kamu jangan gila Raka!” Zia mendelik dan aku tersenyum. “Biar aku jelaskan. Maksudnya pernikahan kontrak, jadi selama satu tahun dia menjadi istriku sambil menunggu kontrak kerja Zia selesai. Bagiamana?” Paparku. “Boleh juga usulannya, setidaknya jika melakukan ini si pe,buat onar itu akan sedikit ada gunanya.” Ujar om Darto, ayah Zia. “Tapi jika ingin melakukan ini, kamu harus membuat ayahnya setuju dengan ini. Dia sangat gila kerja, mungkin kamu bisa membujuknya dengan hal yang berhubungan dengan perusahaanya.” Saran tante Diona. Aku tersenyum miring. “Itu bisa diatur tante.” Jawabku puas. “Tapi kamu jangan deket-deket sama dia loh, awas kalau sampai ada apa-apa.” Ancam Zia aku tersenyum geli. "Ya gak mungkin aku ada apa-apa sama gadis ingusan itu, lagipula dia bukan tipeku.” Jawabku meyakinkan Zia. “Jika bukan tipemu maka jangan menikahiku, setelah selama ini bersikap buruk padaku sekarang kalian mau mengorbankanku untuk kepentingan kalian? Bermain-mainlah di wilayahmu saja Tuan, jangan melibatkanku. Sampai matipun aku tidak akan mau.” Ucap gadis itu galak kemudian segera beranjak meninggalkan kami keluar rumah. Dia pasti mendengarnya ketika kami tidak sadar bahwa dia turun dari tangga. Aku tersenyum saja, selama ini tidak ada yang bisa menolah keinginanku. Segalanya akan berjalan sesuai rencana Raka Dirgantara. Kita lihat saja nanti. “Lihat kan Raka, tidak ada sopan santunnya jadi perempuan. Tante gak percaya anak seperti dia bisa masuk fakultas kedokteran.” Ucap tante Diona kesal. Sebuah fakta lagi baru ku ketahui. Rupanya gadis ingusan galak pembuat onar itu calon dokter? Sedikit menarik!    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN