BAB 7. Raka

2136 Kata
Menjelang pagi aku pulang dan aku melihat Anggia tertidur di sofa berselimut tebal dengan televisi masih menayangkan film kartun. Wajahnya masih pucat dan ketika ku pegang keningnya juga masih sedikit demam. “Nggi, pindah ke kamar!” Ucapku mencoba membangunkannya tapi gadis itu malah semakin meringkuk sambil merapatkan selimutnya. “Anggia! Pindah ke kamar.” Aku mencoba sekali lagi kali ini sambil menggoyangkan tubuhnya tapi gadis itu tidak bereaksi. Akhirnya aku memutuskan untuk menggendongnya dan memindahkan ke kamar. Ketika tubuhnya menempel di tubuhku bisa ku rasakan hawa panas dari tubunya. Dia masih lemah dan demam dan membayangkan tidak ada yang mempedulikannya di rumah membuatku semakin ingin menjeratnya dalam pernikahan karena perasaan iba.  Lagipula mengenalnya beberapa saat ini tidak membuktikan satupun ucapan Zia yang berarti bahwa kekasihku itu membohongiku dengan motif yang belum bisa aku ketahui. Anggia tampak bergerak memeluk guling ketika ku letakkan tubuhnya di kasur, wajahnya terlihat polos sekali ketika tidur. Menurutku kelakuan Anggia tidak seburuk itu sampai di sebut pembuat onar, dia hanya sedikit berisik dan keras kepala saja. Tapi ku lihat dia anak yang penurut, buktinya dia tidak berani membantah ayahnya. Miris sekali seorang anak harus disalahkan hingga hidupnya tersiksa hanya karena masalah orang tuanya. Bukankah tidak ada seorang anak pun yang meminta di lahirkan? Kehadiran seorang anak adalah karena ada orang tua karena itu seharusnya masalah orang tuanya jangan sampai mengorbankan anak yang tidak tahu apa-apa. Memikirkan nasib Anggia membuatku berpikir tentang angan-anganku sebelum bertemu Zia. Dulu aku selalu berharap bisa menikah dan memiliki seorang anak yang mirip denganku ataupun istriku juga tidak masalah. Kemudian jika itu terjadi maka aku akan berusaha menjadi papa yang baik, papa yang bisa dia banggakan kelak ketika dia dewasa. Aku sungguh tidak mau anakku bernasib seperti Anggia yang menderita dan kekurangan kasih sayang. Tapi pertemuanku dengan Zia hingga akhirnya jatuh cinta dan menjadikannya seorang kekasih rupanya telah banyak mengubur mimpi-mimpiku. Pertama karena Zia jenis perempuan yang tidak suka di kekang jadi kami memilih sebuah hubungan yang penuh kebebasan, kedua Zia tidak begitu menyukai anak kecil sehingga aku terpaksa mengubur jauh-jauh mimpiku sebagai seorang ayah sebab dia pernah mengatakan bahwa ketika menikah kelak dia tidak ingin melahirkan anak. Aku membenarkan letak selimut Anggia, mematikan lampu utama di kamar itu dan meninggalkannya untuk beristirahat. Kemudian sesampainya di ruang Tv bibirku tak kuasa menyunggingkan senyum, Jika selera Zia adalah jenis film barat yang memiliki tampilan fasion keren, maka selera tontonan Anggia adalah kartun yang sering kali di tonton anak-anak. Menggelikan mengingat dia adalah wanita dewasa dan seorang calon dokter. Ponselku bergetar entah untuk yang keberapa puluh kali. Aku tahu itu pasti Zia yang masih marah dan kesal tapi aku sungguh sedang tidak ingin berdebat karena aku lelah sekali sejak sore mengurus pekerjaan dan beberapa pertemuan dengan rekan bisnis untuk membahas kerjasama kami. Sehingga alih-alih membuka pesan, aku memilih untuk merebahkan tubuhku di sofa dan menutup mataku menggunakan lengan dan tertidur. Hingga kemudian tidurku terusik karena hidungku mencium bau harum makanan yang sepertinya sedang di masak. Mataku terbuka dan ketika melihat ke sekeliling matahari tampak sudah cukup terang dan aku menoleh ke arah dapur kemudian menemukan Anggia sedang sibuk disana. Masih menggunakan piama gambar spongebob yang semalam, rambut sebahunya dia cepol ke atas sehingga menampilkan lehernya yang indah. Lalu selain itu telingaku juga mendengar dia berdendang dengan riang sambil memasak. Tanpa di susruh bibirku tersenyum, karena entah kenapa melihatnya yang biasa murung dan sekarang tampak riang membuatku ikut bahagia. “Masak apa?” Tanyaku mendekatinya. Dia menoleh kemudian tersenyum. “Om bangun aku berisik yah?” Tanyanya sambil meringis menampilkan giginya yang rapih karena merasa bersalah. “Kamu memang selalu berisik. Kamu masak apa? Kenapa nggak pesan makanan saja kan aku udah kasih nomornya?” Tanyaku lagi. “Lagi pengen makan nasi goreng buatan sendiri kemudian ada bahannya sekalipun tidak begitu lengkap. Om mau?” Tawarnya dan aku mengangguk. Penasaran saja dengan rasa masakan bocah ingusan ini karena aku sudah tahu seberapa buruk masakan Zia hingga kami memutuskan untuk tidak ada acara masak-memasak lagi. “Kalau gitu om mandi dulu sana? Hari ini nggak kerja?” “Nanti aja mandinya masih dingin, lagian hari ini belum ada yang harus dikerjakan jadi kita istirahat seharian di rumah.” Jawabku membuatnya senang. Aku memang sengaja mengerjakan semuanya dari kemarin sore hingga menjelang pagi agar hari ini bisa seharian di rumah menemani Anggia istirahat dan memastikan dia meminum obatnya. “Boleh lihat pantai?” Tanyanya berharap dan aku menggeleng. “Kamu masih sakit di pantai banyak angin.” Jawabku membuatnya cemberut tapi tidak membantah. Tidak lama kemudian nasi goreng buatannya sudah tersedia di hadapanku lengkap dengan telur mata sapi setengah matang. Dari baunya sepertinya lezat dan ketika aku melirik kearahnya dia tampak sudah memakannya dengan lahap. Akupun akhirnya memutuskan untuk menyuapkan sendok pertama, dan aku cukup terkejut karena si bocah ingusan ini rupanya pandai memasak. Nasi goreng sederhananya ini enak sekali sampai aku lahap sekali memakannya. “Enak.” Gumamku dan dia tersenyum lebar. “Aku memasak untuk semua orang setiap hari di rumah jadi mungkin enak karena terbiasa.” Ucapnya membuatku menoleh. “Di rumah kamu yang masak?” Ulangku dan dia mengangguk. “Bukannya ada ART?” Tanyaku lagi. “Ada sih om tapi tente Diona maunya aku yang masak karena bisa sambil dimarah-marahin mungkin kalau rasanya ada yang kurang. Orang rumaha kayaknya sudah menjadikan memarahiku sebuah hobby, mungkin karena aku suka keras kepala dan tidak menurut kali.” Jawabnya lagi membuatku terdiam beberapa saat. Apakah kemungkinan Anggia tidak pernah tahu alasan semua orang membencinya? Jika dia tidak tahu maka jangan sampai dia mengetahuinya karena aku yakin itu akan sangat melukai perasaanya. “Memangnya kamu membuat masalah apa sampai semua orang memusuhimu?” Pancingku. “Nggak tahu om, mungkin karena aku tidak punya mama kali jadi mereka pikir bisa memperlakukanku seenaknya sampai membuatku lelah.” Jawabnya tidak terlihat berbohong membuatku yakin bahwa sebenarnya Anggia memang tidak tahu alasan ayah dan keluarganya membencinya selama ini. Aku yakin itu karena sepertinya Anggia adalah jenis wanita yang jika sedang berbohong maka akan terlihat jelas. “Atau mungkin karena kamu berisik, menyebalkan dan cengeng kali makanya mereka membencimu.” Candaku sambil terkekeh lalu ku lihat matanya melirikku dengan kesal dan bibirnya cemberut. “Om Raka jahat.” Balasnya dan aku tertawa. Sebuah hal yang membuatku tidak percaya, karena Anggia ini adalah perempuan yang pandai membuat orang lain menjadi banyak bicara juga sepertinya dengan pertanyaan-pertanyaanya yang banyak. Selain itu tingkah ajaibnya juga sangat bisa mengundang orang lain untuk tertawa. Di dekatnya, aku seperti kehilangan diriku yang kerap kali di bilang pelit bicara dan angkuh. *** “Om boleh tidak kalau besok-besok aku ke pantai? Aku belum pernah ke pantai sebelumnya palagi ini di Bali kan?” Tanya Anggia setelah keterdiaman kami beberapa saat. Aku sedang membaca buku dan dia sedang tiduran sambil main game. “Kita lihat nanti.” Jawabku singkat. “Masa di Bali nggak lihat pantai om? Kan sayang. Belum tentu juga aku akan bisa kesini lagi di lain waktu.” Ucapnya masih membujuk dan aku diam saja. “Om ihh, kepantai yah? Janji deh aku akan jadi anak yang baik selama ini?” Rengeknya lagi tapi aku masih diam saja. “Om ihhh ke pantaaiiii.” Dia mulai menaikkan volume suaranya membuatku berdecak. “Iya Anggia, iya! Kamu berisik sekali demi Tuhan.” Kesalku dan dia bersorak girang. “Om Raka paling ganteng deh kalau ajak aku ke pantai.” Kekehnya sambil berjingkrak-jingkrak diatas sofa kegirangan. Aku benar-benar merasa seperti sedang mengasuh anak kecil membawanya ke sini. Sekarang aku setuju dia memanggilku om, bukan karena umurku sudah tua tapi karena Anggia memang terlihat seperti anak kecil berumur sepuluh tahun. Membayangkan harus menjadi suaminya selama satu tahun di sertai dengan segala tingkah ajaibnya tiba-tiba membuat kepalaku pening. Lalu teriakan kegirangannya berhenti karena ponselnya berdering. Dia segera meraih ponselnya dan menunjjukannya padaku. “Mbak Zia telpon nih om, pasti mau ngamuk. Om kan yang bawa aku secara paksa ke sini jadi om yang tanggungjawab nih!” Ucapnya sambil menyodorkan ponselnya. “Tidak usah diangkat saja.” Jawabku datar. “Ish om kalau nggak diangkat dia makin ngamuk.” Rengeknya tapi aku diam saja. Akhirnya Anggia berdecak kesal dan mengangkat telpon itu dan beberapa detik kemudian dia menjauhkan ponselnya dari telinag sambil meringis. “Aku nggak tahu mbak om Raka yang ajak udah ijin sama ayah.” Ucap Anggia menjawab Zia. Dugaanku pasti Zia sudah tahu kalau aku mengajak sepupunya itu ke Bali dan dia pasti marah. “Aku nggak bisa nolak mbak disuruh ayah.” Ucap Anggia lagi. Kemudian aku mendesah kesal dan mengambil ponsel Anggia. “Aku yang mengajak Anggia ke sini untuk menemaniku menghadiri pameran lukisan yang waktu itu kamu tolak ketika aku ajak.” Ucapku dan ku dengar Zia mendesah. Sebelumnya memang aku sudah mengajak Zia tapi dia menolak karena ada pekerjaan dan lagi Zia tidak suka lukisan menurutnya itu membosankan. “Kenapa nggak datang sendirian aja Raka?” Ucapnya nyaris berteriak. “Semua rekanku datang bersama pasangannya, lagipula ini bisa jadi pelatihan Anggia ketika kelak dia mendampingiku sebagi istri. Sudahlah Zia kamu jangan marah-marah terus nanti keriput kamu bermunculan. Kamu santai saja lagipula sepupu kamu ini masih seperti anak sepuluh tahun aku tidak mungkin menyukainya.” Ucapku mencoba mengakhiri perdebatan kamu karena sejujurnya aku sudah lelah berdebat terus dengannya. “Pelatihan? Huh? Jadi setelah semua pertengkaran kita kamu masih akan melajutkan pernikahan sialan itu?” Ucapnya marah. “Tentu saja aku akan melajutkannya, ini syarat dari kakek agar aku tetap menjadi ahli waris.” Jawabku tidak ingin di bantah. Selama ini aku selalu menuruti kemauan Zia dan tidak pernah mengakangnya sekalipun kadang aku tidak suka. Dan baru kali ini aku meminta Zia untuk mengerti keadaanku dan mendukung keinginanku tapi sepertinya sulit sekali membuatku merasa bahwa hubungan ini mulai menyebalkan. “Kamu bisa menggunakan perempuan lain Raka, ya tuhan kenapa sulit sekali menasehatimu.” Desahnya terdengar kesal sekali. “Aku sudah bilang kalau perempuan lain belum tentu cocok Zia, Anggia adalah kandidat yang cocok yang bisa aku pastikan akan di sukai kakek.” Jawabku ikut keras kepala. “Terserah Raka, kalau kamu melanjutkan rencana ini sebaiknya kita berpisah saja.” Ucap Zia lagi dan aku terdiam untuk beberapa saat. “Baik kalau itu yang kamu mau, kita berpisah.” Jawabku kesal dan marah karena Zia tidak mau sedikitpun mengerti keadaanku. “Semudah itu Raka? Katakan sejujurnya kamu sudah menyukai si pembuat onar itu kan?” Kali ini Zia sudah berteriak. “Harus berapa kali aku katakan aku tidak menyukainya dan aku hanya menyetujui apa yang kamu mulai. Kenapa kamu menanyakan mudah padaku bukan kepada dirimu sendiri yang dengan mudahnya mengatakan ingin putus untuk alasan yang tidak jelas.” Jawabku lagi dengan emosi yang memuncak. “Alasan yang tidak jelas? Jelas-jelas aku mengatakan keberatanku tentang pernikahanmu dengan Ssi pembuat onar itu.” “Jika kamu menolak maka ayo kita saja yang menikah, kamu pasti tidak mau kan? Karena kamu lebih memilih pekerjaan kamu itu. Dan tentang keberatanmu pada Anggia itu tidak jelas alasannya Zia. Katakan padaku kenapa aku tidak boleh menikah dengan Anggia?” Tantangku dan Zia hanya berteriak marah kemudian mematikan sambungan telpon kami. Aku hampir saja membanting ponsel di genggamanku jika Anggia tidak berteriak memekakkanya karean ponselnya dalam bahaya. “Om kalau mau ngamuk, ya ngamuk aja jangan ponsel aku jadi korban dong. Belinya susah payah nih kerja sambilan.” Sungutnya kesal kemdian dia melipir ke dapur dan tidak ku sangka ternyata si bocah ingusan ini mengambilkanku minum. “Minum om biar waras!” Ucapnya menyebalkan tapi diam-diam membuatku tersenyum tipis. Dan sebuah fakta baru akhirnya aku dapatkan, yaitu informasi tentang Anggia bekerja paruh waktu itu ternyata untuk membeli ponsel yang menurutku belum begitu canggih itu. Si bocah ingusan ini ternyata gigih juga. "Ponsel butut aja bangga." Cibirku. "Bangga dong kan beli sendiri nggak minta sama orang tua." Jawabnya penuh kebanggaan membuatku tersenyum. Memperbaiki moodku yang buruk hanya dengan obrolan tentang ponsel yang sederhana. "Om beli rumah, mobil, perusahaan, vila, hotel pakai duit sendiri biasa aja tuh." Ledekku lagi. "Ish kan om sudah tua jadi waktu untuk berusahanya sudah banyak, aku kan masih muda jadi pencapaianku belum banyak. Lihat saja nanti kalau aku seusia om aku pasti lebih sukses." Ucap Anggia percaya diri sekali. "Memangnya sukses jadi apa orang kaya kamu?" Ujarku meremehkan. "Jadi dokter dong, jadi istri, jadi ibu yang baik dan jadi manusia yang berguna." Jawabannya membuatku terdiam sesaat sambil menatapnya. Ku pikir dia akan mengatakan tentang memiliki banyak uang dan sebagainya tapi ternyata definisi sukses menurutnya sungguh membuatku tersentuh. "Mau jadi ibu yang baik kaya ada aja yang mau jadi ayah anak kamu nanti." Cibirku menutupi kekagumanku. "Sembarangan kalau ngomong, banyak lah yang mau sama aku sekalipun untuk selera om-om kaya om Raka ini aku tidak cantik tapi untuk laki-laki seumuranku aku cantik loh om." Jawaban yang lagi-lagi membuatku tertawa dan sukses membuatku melupakan perdebatanku dengan Zia. "Nggak percaya tuh."  "Ishh susah emang ngomong sama orang tua."  ***                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN