Sejak pertengkaran kemarin dengan Zia, aku mulai berpikir bahwa sebenarnya selama ini kekasihku itu sangat egois atau aku yang terlalu penasaran dengan Anggia sehingga menginginkannya untuk menjadikannya istri sementara. Jika dipikir, seharusnya memang aku bisa dengan mudah menjerat perempuan lain untuk menikah. Terlebih aku punya banyak uang dan aku tampan, aku rasa itu bukan hal yang sulit. Tapi penolakan Anggia terhadapku dan kebohongan cerita Zia tentang gadis itu membuatku sangat penasaran dan ingin mengenal Anggia lebih jauh. Aku pun tidak mengerti kenapa setelah mendengar kisahnya, aku semakin ingin mengenal gadis ingusan yang dengan menyebalkan selalu memanggilku om itu.
“Diana kosongkan jadwalku sore ini.” Ucapku.
“Hari ini ada Meeting penting dengan Client dari jepang Boss,” Jawab Diana membuatku mendesah. Padahal sore ini aku berencana menjenguk Anggia karena menurut laporan orang suruhanku sepertinya masih sakit.
“Kalau gitu buat jadwal ulang.” Ucapku mulai seenaknya. Entah kenapa laporang dari anak buahku bahwa Anggi di suruh mencuci mobil oleh Zia padahal sedang sakit membuatku terganggu.
“Tapi Boss, ini—”
“Sssttt, gunakan kepintaranmu dalam membujuk Diana! Ada hal penting yang harus aku kerjakan.” Potongku tidak ingin di bantah. Diana akhirnya mengangguk patuh dan keluar dari ruanganku segera.
Setelah aku menyelsaikan pekerjaan, aku segera beranjak pergi. Tapi baru saja aku berdiri dari kursi ku lihat Zia masuk ruanganku dengan wajahnya yang mencekam. “Mau kemana kamu? Sekarang baru jam berapa kamu udah mau pergi?” Tanyanya ketus.
“Aku ada urusan.” Jawabku masih kesal padanya.
“Urusan apa?”
“Tidak semua urusanku kamu harus tahu Zia, seperti tidak semua urusanmu aku harus tahu bukan?” Ucapku lagi dan ku lihat Zia mendesah.
“Oke, sepertinya kita harus mendiskusikan ulang mengenai hubungan kita. Terutama tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.” Tuturnya kemudian duduk di kursi depanku dan memberi isyarat padaku untuk duduk juga.
“Sejak awal kita sudah sepakat untuk tidak saling mengekang bukan?” Ucapku mengingatkannya bahwa dulu Zia lah yang ingin sebuah hubungan yang bebas dan tidak saling mengekang kemudian aku mengabulkannya.
“Kita akan mempertahankan hubungan bebas ini jika kamu setuju untuk membatalkan niatanmu menikahi Anggia dan memilih gadis lain yang aku tunjuk, tapi jika kamu tetap keras kepala ingin menikahi Anggia maka kita harus membicarakan tentang apa yang boleh dan tidak.” Ujar Zia yang entah kenapa membuatku semakin kesal.
“Baik, bagaimana kalau salah satu larangan dariku adalah kamu di larang berpose dengan pakaian Sexy?” Ucapku balik menantangnya dan dia mendesah kesal.
“Raka itu pekerjaanku, mana mungkin aku melakukannya.”
“Pekerjaan yang kamu inginkan saja tidak boleh diusik oleh siapapun termasuk aku, lalu kenapa aku tidak boleh memilih yang aku inginkan juga dan kamu di larang mengusiknya.” Jawabku yang entah sejak kapan mulai sangat menyebalkan. Dulu apapun keinginan Zia sekalipun itu tidak masuk akal pasti akan ku turuti, tapi entah kenapa yang berhubungan dengan Anggia aku bersikeras membantahnya. Gadis ingusan bermulut pedas itu, sangat sukses membuatku penasaran.
“Kamu menyukai Anggia RAKA!” Ucap Zia nyaris berteriak dan itu membuatku tertawa sinis.
“Tidak, sejak awal aku sudah mengatakan padamu aku tidak menyukainya. Aku hanya membutuhkannya untuk meyakinkan kakek bahwa aku mendapatkan seorang istri dengan asal-usul yang jelas dan memiliki paras yang terlihat seperti wanita baik-baik. Kamu saja yang akhir-akhir ini mulai uring-uringan sendiri lalu menuduhku dan Anggia yang tidak-tidak. Padahal aku sedang bersusah payah membujuk gadis ingusan itu untuk mengikuti rencana yang kita buat.” Aku menjelaskan tapi sepertinya itu masih belum bisa menenangkan Zia. Entah kenapa aku justru menemukan sebuah ketakutan yang dalam di mata Zia dan melalui sikapnya. Sebuah ketakutan bahwa aku akan jatuh cinta pada Anggia. Dan hal ini malah semakin membuatku penasaran dengan gadis ingusan itu.
“Terlihat seperti wanita baik-baik? Apa maksudmu aku tidak terlihat seperti wanita baik baik?” Tanyanya kesal.
“Kamu terlihat seperti wanita baik, sayangnya kamu tidak mau bukan menikah denganku?” Balasku tak kalah kesal.
“Aku bukan tidak mau Raka, aku tidak bisa.”
“Bagiku itu sama saja Zia. Kamu tidak bisa melakukannya karena kamu tidak mau melepas pekerjaanmu demi aku.” Ucapku final. “Kita sudahi perdebatan ini! Aku ada urusan.” Potongku ketika ku lihat Zia hendak membantah. Kemudian aku berdiri dan beranjak pergi.
“Rakaa kamu menyebalkan!” Teriak Zia memekakkan telinga tapi aku terus berjalan pergi. Ku lihat Diana terlihat menatapku sekilah penuh pertanyaan tapi aku mengabaikannya dan melanjutkan langkahku. Kepalau rasanya mau meledak jika perdebatan dengan Zia terus aku lanjutkan.
***
Ku lajukan mobilku menuju rumah Zia atau rumah Anggia juga tapi belum sampai ke sana aku melihat Anggia terlihat berjalan di pinggiran masih menggunakan baju tidur dan sweater rajutnya. Wajahnya masih pucat dan ada sekantong plastik besar entah apa di tangan kiri dan kanannya. Aku kemudian menepikan mobilku dan menghampirinya. Merebut kantong yang dibawanya dan ternyata lumayan besar.
“Naik ke mobil aku anterin.” Ucapku sambil berjalan mendahuluinya membawa dua kantong plastik itu dan menaruhnya di belakang.
“Nggak usah deh om nanti aku dimarahin.” Tolaknya lemah. Padahal wajahnya pucat sekali tapi masih disuruh membeli bahan-bahan kue seberat itu? Apa keluarga Anggia ini tidak memiliki perasaan?
“Udah buruan naik nanti aku turunin di samping rumah jadi nggak ketahuan, masih jauh kalau kamu jalan. Kalau pingsan gimana? Kamu pucet banget gitu.” Ucapku membujuk. Anggia tampak berpikir tapi kemudian mengangguk setuju dan naik ke kursi penumpang. Aku bisa mendengar desahan leganya ketika pintu di tutup dan aku mulai melajukan mobilku. Dia memejamkan mata sambil memijit keningnya. Terlihat sakit sekali karena sesungguhnya dia memang masih sakit.
“Kamu udah makan?” Tanyaku dan dia menggeleng. “Kenapa belum makan?”
“Gara-gara om aku jadi gak sempet makan.” Desahnya lelah.
“Kok gara-gara aku?”
“Mbak Zia ngamuk dikira aku godain om semalaman gak pulang jadi seharian ini aku di siksa habis-habisan sama om Darto, tante Diona dan Zia.” Adunya kesal.
“Aku udah ijin sama ayah kamu dan beliau bilang tidak masalah. Lagipula aku juga sudah menjelaskan kalau kamu sakit kan?”
“Segala hal yang aku lakukan sekalipun memiliki bukti kebenaran di mata mereka akan tetap salah Om, karena itu aku mohon jangan menambah masalahku dengan pernikahan sialan itu karena aku sudah menderita.” Ujarnya membuatku terdiam beberapa saat. Menoleh kearahnya yang masih memejamkan matanya. Bulu matanya bergerak-gerak ketika dia membuka mata dan itu lucu sekali.
“Udah sampai.” Ucapku. Anggia kemudian mengangguk, membuka pintu dan keluar. Aku membantunya mengeluarkan dua bungkusan berat itu.
“Makasih om.” Tuturnya sambil berlalu. Kemudian aku mendesah sambil memandangi punggungnya yang lama-lama menghilang di balik tembok. Menyadari bahwa terkadang dunia bisa sangat tidak adil bagi seseorang. Satu sisi ada seorang putri seperti Zia yang di perlakukan seperti Ratu, dan di sisi lain ada seorang seperti Anggia yang bahkan tidak bisa memprotes ketidak adilan yang di terimanya.
Ketika aku hendak kembali masuk ke dalam mobil, ku lihat mobil om Stevano memasuki gerbang rumah. Sebuah ide cemerlang untuk membuat Anggia istirahat dengan tenang tercipta di kepalaku.
Aku melajukan mobilku masuk ke dalam gerbang rumah Anggia dan tepat saat itu om Stevanno keluar dari mobil. “Loh Raka mau ketemu Anggia?” Tanyanya ramah. Raut wajah yang berbeda dibanding ketika berhadapan dengan putrinya Anggia.
Bisa dibilang om Stevano ini tidak tahu bahwa aku adalah kekasih Zia, mengingat aku tidak pernah datang ke rumah ini. Kami hanya bertemu di luar begitupun dengan orang tua Zia. Pembicaraan pernikahan dulu, adalah pertama kalinya aku masuk rumah ini. Karena sebelumnya aku hanya mengantar Zia pulang sampai depan saja. Hal itu aku jadikan senjata untuk membujuknya menikahi Anggia. Tidak sesulit yang aku bayangkan karean om Stevano ini justru seperti sudah ingin Zia segera pergi dari rumahnya.
“Mau ajak Anggia ke luar kota sih Om sebenernya buat nemenin Raka ngehadirin pertemuan penting.” Ucapku memulai rencana.
“Bisa kok Raka, kebetulan kuliah Anggia lagi liburan.” Jawab om Stevano sambil tertawa. Seolah yang baru saja dia ijinkan untuk pergi bersama seorang laki-laki bukanlah putrinya yang masih gadis. Seolah Anggia memang tidak berarti apapun untuknya. Entah kenapa hatiku sakit membayangkan berada di posisi Anggia.
Ku lihat Anggia berdiri di pintu dan matanya memerah, kemudian berbalik masuk ke rumah begitu mataku bertemu dengan matanya. Sudah pasti dia akan menangis di dalam sana karena merasa tidak mendapatkan perlindungan seorang ayah. Sekarang aku memahami arti kalimatnya bahwa dia tidak ingin hidup lagi jika ada satu lagi masalah menimpanya. Karena hidupnya sudah sangat tertekan, baik secara fisik ataupun mental.
“Ayo om pergi.” Ucapnya begitu keluar dari kamar. Sudah berganti baju dan membawa tas. Kali ini benar-benar tanpa bantahan seperti biasanya. Sepertinya memang yang dikatakan Surya itu benar, bahwa Anggia tidak pernah membantah ayahnya sekalipun dia di benci oleh laki-laki itu.
“Raka pamit bawa Anggia yah om,” Ucapku sopan diangguki om Stevano dengan senyuman. Kebetulan sekali baik Zia maupun orang tuanya tidak ada di rumah sehingga tidak perlu menimbulkan drama.
“Mau kemana om? Berapa lama?” Tanya gadis itu ketika mobilku melaju.
“Ke Bali, temenin aku ketemu Client, itung-itung kamu belajar jadi istri aku nanti.” Jawabku membuatnya mendesah lelah tapi tidak mengeluarkan bantahan seperti biasanya. Mungkin dia sudah lelah dan memang terlihat belum sehat dari wajahnya yang masih pucat dan terlihat lemas.
“Bolehkah aku tidur dulu seharian baru menemani om? Aku bisa pingsan sepertinya kalau tidak istirahat.” Ucapnya memelas.
“Kita lihat saja nanti.” Bohongku. Tentu saja aku tidak mau dia tahu bahwa aku membawanya pergi agar dia bisa istirahat, bisa salah paham nanti gadis ingusan ini. Padahal ini hanya rasa simpati biasa saja karena kebetulan aku membutuhkan gadis ini untuk melengkapi rencanaku, tidak mungkin ini cinta bukan? Jangan bercanda! Mana mungkin aku menyukai gadis ingusan yang tidak sexy sama sekali ini.
***