67

1475 Kata
Seseorang menabrak tubuh Arsen dari belakang. Kontan badan Laki-laki itu mencondong dan menabrak Alista di depannya. "Ma--maaf. Aku enggak sengaja. Ta--tadi ada orang jahat yang mengejar aku," Arsen menengok dengan tatapan tajam, tetapi kian lama meneduh mendapati Seorang yang ia kenal di sana. "Sesil? Apa mereka ganggu lo lagi?" suaranya mendadak lemah lembut. Alista terenyuh mendengar suara Kakaknya. Dia juga tak menyangka ternyata Arsen dan adik tirinya akrab. "Kak Alista? Arsen? Kalian berdua ternyata ada di sini. Maaf, tadi aku nabrak. Aku enggak sengaja," "Enggak pa-pa. Santai aja. Di mana mereka? biar gue kasih pelajaran," respons Arsen, memerhatikan sekeliling Sesil. Dia tidak menemukan wajah para pembully di sana. "Enggak tadi aku dikejar orang asing. Mungkin sekarang dia lagi sembunyi di balik pohon. Aku mohon ke kalian. Anterin aku pulang. Aku takut," "Lo jangan takut. Ada gue di sini. Kenapa Lo bisa dikejar? Dan Lo ke sini sama siapa?" tanya Arsen mencecar. "Aku ke sini sendiri. Tadi aku duduk di bangku taman sana, tapi tiba-tiba ada orang yang menghampiri aku. Ternyata orang itu jahat. Aku lari, malah dikejar dia," jelas Sesil. Arsen memegang kedua pipi Sesil, "Sekarang Lo tenang aja, oke? Ada gue sama Alista yang jagain lo sekarang. Anggap aja kita Kakak Lo," Sesil mengangguk cepat. "Aku takut," katanya, lantas berlari ke dekapan Arsen. Cowok itu langsung membalas pelukan dengan erat. Alista terperanjat. Rasanya ia ingin menjauhkan tubuh wanita itu dari Arsen, tetapi lagi-lagi kakinya menjadi penghalang. "Tenang," Arsen memejamkan mata. Telapak tangannya mengelus rambut Sesil, berharap ketenangannya menyalur pada Gadis ini. Alista berdeham keras. "Hari udah semakin sore. Sebaiknya kita pulang. Besok sekolah juga, kan?" **** Alista dan Arsen kini telah sampai di rumah mereka. Keduanya terheran-heran melihat pintu terbuka karena biasanya selalu tertutup. "Mungkin ada tamu," kata Arsen tiba-tiba seolah dia bisa mengetahui apa yang dipikirkan Alista. "Semalam ini?" "Kali aja, Ta." "Aduh, pelan-pelan, Bi." terdengar suara ringisan setelahnya. Arsen semakin mempercepat dorongan kursi rodanya, sampai di dalam dia dibuat terkejut dengan keadaan wajah Ibunya yang penuh luka lebam tengah diobati oleh Bi Hanifah. "Ibu kenapa?" "Ibu kenapa?" Tanya Keduanya kompak. Bianca menengokkan kepala ke belakang. "Kalian habis ke mana saja? Ibu sudah mencari kalian ke mana-mana," "Kami habis dari ke sana sebentar. Wajah Ibu kenapa?" tanya Arsen. "Siapa yang ngelakuin ini, Bu?" giliran Alista yang bertanya. "Tadi ada masalah sedikit. Kalian tidak perlu khawatir. Lebih baik mandi dan makan sana. Ibu sudah memasak sup iga sapi kesukaan kalian. Bagi rata, ya, jangan rebutan." kata Bianca yang masih sempatnya tersenyum. "Masalah sama siapa, Ibu? jangan sembunyiin hal sedikitpun dari aku," ujar Arsen, masih tetap di tempatnya. "Marsel yang membuat wajah Ibu kayak begitu, kan?" tanya Alista menduga. Tidak ada tersangka lain selain Marsel. "Tidak. Bukan Marsel," "Jawab yang sejujurnya, Bu. Apa selama ini kami berdua pernah bohong ke Ibu?" balas Alista. Kentara jelas Ibunya itu menyembunyikan sesuatu. "Tidak, Sayang. Ini hanya perbuatan seseorang. Masalahnya juga sudah terselesaikan. Kalian jangan khawatir. Sudah, lebih baik kalian membersihkan diri. Jangan ditunda-tunda lagi. Tidak baik," Alista menghela nafas dalam mendengar jawaban Bianca. "Ibu, untuk kedua kalinya aku enggak akan maafin Ibu kalau Ibu bohong." ucap Arsen, sama curiganya dengan Alista. "Sampai kapan kalian tetap tidak mempercayai perkataan Ibu?" **** Hari ini Alista berangkat seperti biasanya. Dia sudah tidak mengenakan kursi roda sebab lukanya sudah mengering walau saat berjalan, masih terasa nyeri sedikit. Namun Alista bisa menahannya. "Al, sumpah gue khawatir Lo kenapa-kenapa. Gimana keadaan lo sekarang? Kaki Lo udah baikan?" Karisa muncul dengan seribu pertanyaan. "Seperti yang Lo lihat, Kar." "Siapa, sih, yang naruh paku di sepatu Lo? Kesal banget gue sama dia," "Iya. Gue juga bingung siapa yang naruh paku ini di sepatu gue. Tapi yang jelas bukan Rachel karena dia hari itu gue ketemu dia di rumah sakit," ujar Alista. Kening Karisa mengerut. "Terus siapa? Perasaan enggak ada musuh selain dia di sekolah ini," "Entahlah. Udah, gue enggak mau mikirin terlalu jauh. Yang terpenting kaki gue udah sembuh sekarang," Alista lanjut berjalan diiringi oleh Karisa di sebelahnya. Walaupun raga Alista di sini, dia memikirkan keberadaan Marsel sekarang. Alista meletakkan tas di bangkunya. Murid di dalam kelas tidak begitu banyak. Hari juga belum menunjukkan pukul tujuh pagi. Alista melirik ke Karisa yang tengah mengeluarkan buku. "Emang hari ini ada pr?" "Iya, PR fisika. Gue lupa ngerjainnya semalam. Lo mau liat?" "Eh, enggak dulu. Gue ke kamar mandi sebentar," Karisa mendongak melihat tubuh Alista yang berdiri. "Perlu gue antar?" "Enggak perlu, Kar. Mending ngerjain pr aja biar cepat selesai." tolak Alista secara halus. Karisa hanya mengangguk dan fokus pada bukunya kembali. Alista beranjak keluar kelas. Dia melayangkan tinjauan pada setiap murid yang berlalu lalang. Tidak lama, dirinya terpusat pada sosok yang tengah berjalan ke arah halaman belakang. Siapa lagi kalau bukan Marsel. Alista bergerak perlahan mengikuti langkah Laki-laki tersebut. Sengaja, dia ingin tahu sepagi ini Marsel akan ke mana. "Perpustakaan?" gumam Alista, masalahnya dia tahu betul Marsel bukanlah tipe laki-laki kutu buku. Alista bergerak mengumpat di lemari kaca berisi deretan piala saat Marsel menengok ke belakang. Jantungnya berdegup cepat. Alista merasa Dejavu dan teringat kejadian buruk yang menimpanya beberapa bulan silam. Melihat Cowok itu berjalan kembali, Alista keluar dan mengikutinya lagi. Ternyata Marsel ke halaman belakang sekolah seperti dugaan pertamanya. "Beb, aku nungguin dari tadi. Kamu baru sampai sekarang," "Maaf, Yang. Kamu tau, kan, aku harus waspada kalau mau pergi ke mana-mana? Apalagi hari ini Alista berangkat," kata Marsel, mencoba menenangkan Fani yang tengah merengut sebal. "Janji enggak akan telat lagi setelah ini?" Marsel meraih telapak tangan Fani, kemudian menautkan jarinya di jari Perempuan tersebut. "Janji, Sayang." Fani dan Marsel bertatapan sejenak. Tepat di hadapan Alista, mereka berdua melakukan hal menyakitkan itu yang menambah luka dalam di hatinya. Alista mengepal kuat disertai air matanya yang merembes keluar. "Gue ternyata salah menilai orang. Gue kira Lo udah berubah, tapi apa yang Lo lakuin di depan gue sekarang?" Alista memberanikan diri untuk muncul di hadapan mereka dengan suara gemetar. Marsel kontan menjauhkan Fani dari dekatnya dan beralih menatap Alista. "Kamu? sejak kapan kamu di sini, Sayang?" "Apa? sayang? kenapa kamu panggil dia sayang?!" sungut Fani tidak terima. "Enggak usah pura-pura lagi, Sel. Aku udah tau tentang kalian berdua." ujar Alista dengan tatapan sendu. "Mar, kamu belum putusin Alista? Katanya semalam kamu bilang udah putusin dia. Jelasin semuanya, Mar!" kata Fani menggebu-gebu. "Fan, saat Lo tau gue masih jadi pacar Marsel, kenapa Lo tetap menerima perasaan dia? Lo enggak tau gimana sakitnya gue. Kalian main di belakang gue! Gue udah serahkan semuanya ke Lo, Sel! Janji-janji yang Lo ucapin waktu itu ternyata cuma bulshit. Kenapa lo--" "IYA! IYA! GUE SELINGKUH DARI LO SELAMA INI! Janji-janji yang gue ucapin cuma jebakan biar Lo jatuh ke perangkap gue! Lo bodoh. Dari awal, gue enggak berubah sungguhan. Gue Marsel yang sama seperti dulu." Marsel kemudian menatap Fani yang tengah ketakutan. "pergi." Tanpa menjawab, Fani berjalan pergi dari tempat itu, meninggalkan Alista yang tengah syok karena perkataan Marsel tadi. Usai Fani benar-benar pergi, Marsel memandang wajah Alista kembali. Kaki jenjang itu bergerak melangkah maju. "Lo tau? rasa suka itu enggak pernah ada. Gue cuma memanfaatkan Lo doang selama ini. Gue haus liat lo menderita. Gue pengin Lo ngerasain akibat dari perbuatan Bianca ke Ibu gue! Sakit, hm? Sakit hati liat gue sama Fani tadi? ITU ENGGAK SEBANDING APA YANG IBU GUE RASAIN SELAMA TUJUH TAHUN INI!" Alista memejamkan mata. Dadanya sesak. Isakan tangisnya perlahan terdengar. Namun, Marsel tiba-tiba mencengkram dagunya dan mendongakkan paksa. "ayah gue enggak pulang setiap malam. Ibu gue sering dipukul tepat di hadapan mata gue waktu masih SD. Di saat teman-teman gue dengan bangga nyeritain tentang ayahnya, gue cuma bisa diam. Waktu Ibu gue hamil besar dan ngidam, gue yang pusing cari apa yang dibutuhkan Ibu gue. Lo enggak pernah tau rasanya, Al. Gue sakit dan berjuang sendiri, tapi Ayah terus aja bilang gue anak yang enggak berguna." Marsel melepaskan cengkraman itu dengan kasar. "sekarang Lo ambil surat wasiat itu atau video lo akan gue sebar," "Vi--video?" tanya Alista gelagapan. Tidak. Ketakutannya tidak boleh terjadi. Marsel mendekat. Bibirnya tersenyum licik. Sementara jari telunjuknya menyentuh pipi Alista. "Apa Lo enggak ingat apa yang kita lakuin siang itu? Dan Lo ingat juga kenapa gue ada di dekat laci? Gue naruh kamera di balik pot bunga. Lo terlalu bodoh buat sadar akan hal itu. Curi sertifikat rumah dan surat wasiatnya, atau Lo enggak akan punya muka lagi buat muncul di hadapan orang banyak termasuk Bianca. Dia juga akan menanggung malu," Alista maju. Dengan tatapan berapi-api, kedua tangannya mencengkram kerah seragam Marsel. "Hapus! Hapus video itu!" "Enggak akan, Jalang!" Marsel menendang perut Alista sampai Perempuan itu terbentur ke tembok. Alista meringis sembari memegang perut datarnya. Tidak menyerah, ia berusaha meraih lengan Marsel. "Gue mohon, Sel. Gue mohon. Jangan pergi dari gue. Kita masih pacaran, kan? Gue enggak mau kita putus." Alista mengatupkan tangan. Kedua matanya tampak memohon, namun Marsel malah kembali menendang perut Alista sampai terbentur dan merosot jatuh ke bawah. "Sialan! Lo apain dia?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN