06. Ada Drama Di UKS

2082 Kata
"Woy. Bangun. Kalau enggak mau masuk ke kelas, mending bolos aja. Jangan drama pingsan kayak gini. Gue hitung sampai lima. Lima... empat... tiga... dua setengah... dua... satu setengah... sat--" "Dia udah pergi? Sumpah, gue malu banget! Aduh, gimana ini, Kak. Gue bakal jadi bahan omongan di sekolah ini. Gimana dong?" Alista terduduk dengan raut gusar. Chiki yang dipegang Karisa jatuh menimpa rok selututnya. Ia melongo melihat Alista sadar tiba-tiba. "Al? Lo... waras, kan?" tanya Karisa lirih. Alista mengalihkan cepat pandangannya ke Karisa. Temannya itu langsung menundukkan kepala, terlihat takut pada dirinya. "Gue masih waras!" katanya dengan mantap. "Siapa suruh Lo pingsan? Tanggung akibatnya sendiri lah." "Gue murni pingsan! Tapi udah lima belas menit lalu gue sadar." Alista memandang Karisa kembali. "jahat Lo, Kar! maksudnya apa coba nyuruh gue bangun buat nulis surat wasiat!" "Bukan gitu maksudnya, Al. Gue--" "Kak, bolos sekarang yuk! Malu gue jadi pusat perhatian," jujur saja, Alista tidak nyaman menjadi pusat atensi dan bahan gunjingan warga sekolah ini. Ada trauma tersendiri akan hal itu. "Enggak ngapain gue nolong Lo. Mending gue nongkrong sama teman di Markas," Arsen tanpa berdosa berbalik badan, kaki tingginya berjalan keluar UKS. "Kak!" "Tunggu, Kak!" "Wah, parah Lo, ya, enggak mau nolong!" "Gue kutuk Lo jadi lutung!" "Ka--" Plakk! Karisa menabok bibir tipis Alista lantaran tidak tahan lagi dengan suara cempreng dari sahabatnya itu. Bisa-bisa telinganya tuli. "Berisik, Al. Cewek itu kalem. Kalau sampai terdengar di luar, mampus image Lo." Karisa berdiri, ia mengangkat plastik yang berada di pangkuannya, lantas meletakkan plastik itu di atas paha Alista. "Dari Bagas. Bagi dua, ya? Gue permisi ke kamar mandi dulu," Karisa berjalan pergi sebelum Alista benar-benar menjawabnya. Setelah punggung Karisa benar-benar tidak terlihat lagi, tangan Alista menyeluk saku, mengambil sesuatu dari sana. Sebuah obat bulat berwarna merah. Alista menelan obat itu dengan cepat, kemudian menengguk isi botol yang ada di sebelahnya. "Enggak boleh ada yang tau tentang penyakit aku," ***** Hari minggu. Adalah hari paling disukai oleh banyak murid. Mereka terbebas dari beban-beban yang berupa tugas dan bisa bermalas-malasan seenaknya. Alista memanfaatkan hari ini untuk pergi menghabiskan waktu dengan Karisa. Suara ketukan pintu terdengar. Alista terperangah, bersamaan dengan dirinya yang berdiri, senyumnya mengembang. "Akhirnya lo--" Raut Alista berubah menjadi masam mendapati Sang Kakaklah yang muncul. “Akhirnya apa? apa? apa? ” cecar Arsen bertanya. Alista yang geram dengan raut Arsen yang terlihat meledek langsung menabok wajah laki-laki itu. "aduh," Arsen mengusap wajahnya, "udah enggak mau jemurin pakaian, main nabok gue begitu aja." "Enggak ikhlas? gue laporin ke Bi Hanifah nih," ancam Alista pada Arsen yang mulai mendudukkan diri di sofa. "Enggak usah kekanak-kanakan." Arsen menyelonjorkan kedua kakinya di atas meja. Padahal dia berdiri baru belasan menit, tapi rasa pegal sudah menyerangnya. "sebaiknya lo tuh di rumah aja. Bantuin Bi Hanifah beres-beres.” lanjut Arsen menyarankan. Dia mengambil remote dan mulai memilih channel favoritnya. “Udah. Kakinya jangan disitu. Lo enggak belajar sopan santun?!" Alista menyingkirkan kasar kedua kaki Arsen membuat lawan bicaranya itu berdecak sebal. Bantuin apanya? Dari tadi Lo dandan enggak jelas. Enggak ada gunanya Lo," “Dibilang udah! Gue berguna, ya!" Jari telunjuk Arsen mencoel sofa yang ia duduki. “Kok ini masih berdebu? Bersihin lagi sana.” perintahnya dengan enteng. d**a Alista naik turun. Sebal sekali melihat Kakaknya seperti ini. Argh! Dia ingin melenyapkannya sekarang juga. “Debu apanya?! Coba sini gue liat.” Alista meraih jari telunjuk Arsen. Tidak ada apapun. Bahkan tak terlihat debu di sana. "lo yang bohong! Jelas-jelas sofa itu udah bersih sepenuhnya. Kata lo ada debu. Mana debunya?" lanjutnya dengan emosi meledak-ledak. Dikira dirinya tak rajin apa! Padahal kan dia sudah membagi waktu. Lagian bersih-bersih rumah hanyalah tugas Bi Hanifah. “Jangan marah-marah kali. Sopan dikit sama gue," kata Arsen, masih terlihat santai. “Habisnya sih lo nyebelin!” Alista memalingkan muka. Ah, sudahlah. Meladeni makhluk macam Arsen tidak akan ada habisnya. Lebih baik dia kembali duduk saja dan menunggu Karisa. "Kalau ada apa-apa, telepon nomor itu," Arsen melemparkan sebuah kertas yang baru saja ia tulis rentetan nomor di sana. "Nomor baru lagi? Ya ampun, Kak. Perasaan baru Minggu lalu Lo beli hp baru," "Nomor baru bukan berarti punya hp baru," Arsen mengambil ciki, lantas melemparkannya ke arah Alista dan sukses mendarat di kening Adiknya tersebut. "Aduh, parah Lo. Sini--" "Heran gue sama kalian. Selalu aja berantem." seseorang di ambang pintu sana tengah berdiri sambil menggelengkan kepala. Pasalnya dia sudah lelah menyaksikan mereka yang tidak ada akurnya. "Gue tungguin Lo dari tadi. Telat dua puluh menit," "Ada masalah di jalan. Gimana? udah siap?" "Udah dong," Alista berdiri, dan menggantungkan tas selempangnya di pundak. "Sebelum jam lima sore, Lo harus udah pulang!" Alista mengangkat tangan, jari-jarinya mengisyaratkan kata 'oke'. "AWAS KALAU TELAT! BERSIHIN KAMAR GUE!" ***** Setelah bermain di time zone dan membeli yang diperlukan di mall, Alista dan Karisa tidak langsung pulang. Keduanya duduk terlebih dahulu di depan mall untuk sarapan di sana. Bukan sarapan, lebih tepatnya makan siang karena jam sudah menunjukkan pukul 14:35. Mendadak pandangan Alista kabur. Ia menatap ke langit-langit, justru terasa semakin pening. Punggung tangannya beralih menyeka keringat yang sudah membasahi dahinya. "Al, habis ini kita ke beauty shop, ya. Liptint gue abis." Karisa merogoh tas mininya, hendak mengambil ponsel. Biasa, untuk update story di i********:. "Hm," sahut Alista lirih. Ia berusaha menetralkan rasa sakit di kepalanya. Mana dia tidak membawa obat. "Kar..." Karisa mendongak, ia memandang lurus, saat itulah dirinya terkejut bukan main lantaran mendapati wajah Alista yang pucat. "Ya ampun, Mi. Lo kenapa?" "Enggak. Nggak kenapa-kenapa kok. Gue pulang aja sekarang, ya," "Loh, secepat ini? Jangan dong. Tiga puluh menit lagi, gimana?" tawar Karisa. Sehabis ini dia tidak ada kegiatan lagi. Menghabiskan waktu banyak di kamar adalah hal yang paling dia benci. "Enggak mau. Gue pulang dulu. Permisi, Kar." "Gue gak tega ih. Jangan pergi. Kita ke rumah sakit aja bareng yuk." ajak Karisa dengan wajah sumringah, namun perlahan memudar menjadi biasa kala Alista mengibaskan tangan. "Enggak usah, Kar. Gue udah biasa sakit kepala." "Biasa? Ini enggak boleh dibuatin, Al. Siapa tau aja penyakit serius." "Nggak. Nih, sekarang rasa sakitnya udah hilang." bibir pucat Alista menyunggingkan senyum. Ia lantas berdiri, "gue mau ke kamar mandi dulu, ya." "Gue temenin." "Eh, gak usah. Nanti yang ambil makanan siapa?" tanpa menunggu jawaban dari Karisa, Alista pergi. Ia masuk ke dalam kamar mandi umum. Dirinya mengaca di depan wastafel terlebih dahulu. "Gue nggak apa-apa, kan?" monolog Alista. Ia merogoh tas, berniat mengambil sesuatu dari sana, namun barang yang ia perlukan tidak ketemu. Ternyata benar dugaannya. Ia lupa membawa obat. Suara gaduh terdengar di belakang Alista. Gadis itu tidak menghiraukan. Sampai ia merasa ada seseorang yang memperhatikannya. Alista melihat ke pantulan kaca dan menangkap sosok laki-laki yang baru saja keluar dari salah satu bilik WC. Dahi Alista mengerut dalam. Dia tidak salah lihat, kan? "Permisi. Bukannya ini kamar mandi Cewek, ya?" tegur Alista pada Cowok itu. "Kau bodoh? Ini kamar mandi Laki-laki. Lihatlah tanda sebelum masuk." jawab Cowok itu tidak bersahabat. Alista terbelalak. Ia mengambil tas selempang nya, kemudian keluar untuk melihat tanda di atas pintu. Ternyata Cowok asing itu benar. Alista menepuk pelan keningnya sendiri. Kenapa ia jadi bodoh seperti ini. Suara tawa menyebalkan merebak di telinga Alista. Gadis itu menengok ke ambang pintu. Benar saja ada Arsen di sana. "Lo ngikutin gue?!" "Aduh. Suaranya kedengeran, tapi kok orangnya enggak ada, ya?" Arsen berlagak tak melihat Alista. Alista menggertak, "Lo--" tidak. Ia tak boleh marah sekarang. Alista mengepal kuat tangannya, "banci." katanya kemudian pergi dengan muka berpaling. "Wah, jahat. Tungguin gue dong!" Arsen berlari, mengejar Alista yang semakin lama makin cepat. "Lis, tungguin gue." "Apalagi, sih, Kak? Sana pergi." "Ta--" "Pergi." "Tapi--" "Pergi!" "Hih! Gue ngomong dipotong mulu. Iya, gue pergi. Jangan nyalahin gue kalau lo diomelin Ibu nanti." Arsen melangkah, menjauh dari Alista. Alista duduk di bangku yang ada di dekatnya. Ia memijit kepalanya sambil menunduk dalam. Bodoamat dengan Kakaknya yang pergi. Toh, ia bisa pulang sendiri nanti. "Anak haram." Alista mendongak, tampaklah wajah seseorang yang lebih menyebalkan daripada Kakaknya. "Sekali lagi." katanya menantang. Orang itu tersenyum penuh arti, "anak haram. Pembawa sial. Anak pungut. Anak simpanan." Alista menegakkan duduknya. "Bodoh. Gue bilang sekali. Bukan berkali-kali." Tangan Marsel perlahan menyentuh pipi tirus Alista dengan gerakan menjijikan. Alista langsung menangkis tangan itu. "Jangan sentuh gue seenaknya. Gue bukan Cewek murahan." "Oh, ya? Tapi Ibu lo itu murahan. Masa sih anaknya enggak?" lanjut Marsel menghina. "Jangan bawa-bawa Ibu gue!" "Ingat pepatah 'buah jatuh dari pohonnya'? Gue yakin lo nggak ada bedanya sama Ibu lo." Alista mencebikkan bibir. Kakinya menendang sesuatu yang 'berharga' milik Marsel tanpa ragu. Biarkan saja! Itu tidak seharga dengan sakit hatinya. Marsel mengerang kesakitan. "Parah lo!" "Makanya kalau punya mulut itu dijaga! Jangan asal ngomong! Masih syukur gue tendang doang. Belum gue potong sampai habis!" ujar Alista. Ia menyenggol kasar bahu Marsel, kemudian pergi dari sana. Tanpa terasa mata Alista basah. Air mata menyesal dari kedua maniknya. "Apa bener Bunda seburuk itu?" gumam dia pada dirinya sendiri. Dari tampang Ibunya yang ia lihat di foto, Alista bisa menyimpulkan kalau Sang Ibu lembut dan penuh kasih sayang. Alista yakin, Ibunya bukan tipe perempuan buruk seperti yang dikatakan Marsel. -•••- "Tadi kenapa kamu menolak ajakan Arsen, Nak?" "Ajakan? Kapan, Bu?" tanya Alista serak. "Waktu di mall tadi." "Oh, itu... aku tadi tiba-tiba mules, Bu." "Ya ampun, Nak. Kamu enggak apa-apa?" Bianca mulai panik. "Gak pa-pa kok." "Sebentar. Ibu panggilkan Dokter Andi buat ke sini, ya." Bianca berdiri, Alista segera menahan membuat Bianca terhenti. "Aku enggak perlu Dokter. Dibawa tidur nanti juga sembuh kok." Alista diam, Sirat keraguan kentara dari raut wajahnya. "Ibu, aku mau tanya sesuatu." Bianca kembali duduk dengan rasa penasaran. "Sesuatu apa?" "Ini tentang Bunda aku." jeda. "Ibu jawab yang jujur, ya. Jangan bohong." "Nggak akan, sayang." "Apa Bunda itu wanita simpanan Ayah Farhan?" Bianca terkesiap. "Kata siapa? Hey, kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu? apa ada orang yang kurang ajar pada kamu tadi?" Alista meraih telapak lengan Bianca, ia menggenggam erat. "Ibu, aku mohon. Jawab jujur. Iya atau enggak." "Bunda kamu istri sah. Bukan wanita simpanan atau sejenisnya. Jangan peduli dengan omongan mereka. Mereka cuma mengambil kesimpulan berdasarkan kebenciannya jadi mereka berkata yang enggak-enggak tentang Bunda kamu. Jangan marah atau bersedih lagi, ya? Dan jangan membenci Bunda kamu. Dia bukan wanita seperti yang mereka pikirkan," jelas Bianca panjang lebar. "Lalu kenapa Ayah Farhan benci banget sama aku? Kenapa Ayah sering bilang aku 'pembawa sial'. Kenapa, Ibu? Apa aku bukan anak kandungnya?" tanya Alista, kedua matanya mulai basah. Raut Bianca berubah. Untuk sesaat dia terdiam, seolah memikirkan apa yang harus dia jawab. "Ibu belum selesai memasak. Ibu ke dapur dulu." Alista mendongak, matanya mengikuti arah pergerakan Bianca. Setiap saja Alista bertanya tentang Ayahnya, Ibu Bianca seakan menghindar. Dia jadi ragu dengan pernyataan yang Bianca katakan. Sebenarnya... Siapa yang benar? -•••- [Al, hari ini lo sibuk enggak?] [lo udah makan belum?] [Udah mandi?] [Al, jalan yuk!] [Selamat sore. Kok pesan gue cuma di read doang? Enggak ada niat buat bales gitu?] [Al, lo tau enggak? Lo itu Cewek paling cantik di dunia. Seumur hidup gue baru ketemu Cewek kayak lo] [Al, minggu depan gue akan ajak lo ke puncak. Berdua aja. Lo mau gak?] Arsen menatap rentetan pesan yang dikirimkan Rafael. 114 pesan. Beruntung Adiknya tidak membalas. Dari ketikannya saja, Arsen tahu Rafael itu tipe Laki-laki seperti apa. Jari-jari Arsen menari, akan mengetik sesuatu. [Jangan ganggu adik gue lagi. Dia udah pacar.] Send. Rafael: [Jangan bercanda, Al. Gue tau Lo enggak mau bales pesan gue. Bilang aja yang jujur.] Arsen berdecak dengan tatapan datar. Dia memencet ikon mikrofon untuk merekam suaranya. "Gue abangnya. Sorry nih. Bukannya adik gue ngartis. Dia gak punya waktu buat balas pesan Lo yang enggak berguna. Sebelum langkahin mayat gue, jangan dekati dia." voice note itu dikirim. Arsen tersenyum puas, bisa menyingkirkan orang yang mendekati Alista. Entah kenapa, hatinya merasa senang saja. "Lo apain HP gue?" Alista merebut ponselnya dari genggaman Arsen, lalu beralih menatap layar ponselnya. Lagi-lagi pesan dari Rafael. Cowok itu melakukan spam chat setiap hari. Dan Mira membenci itu. Pernah dia membalas pesan dari Rafael, tetapi pada hari berikutnya Rafael terus mengirim pesan monoton. Seperti; udah makan belum? Udah mandi belum? Blablabla. Membosankan. Raut Alista tercengang melihat balasan yang diketik Kakaknya. "Kenapa? Udah baik, kan, gue? Jadi, nih, marahnya?" tanya Arsen dengan nada santai. Alista terkekeh malu. Kedua tangannya bergerak memasukkan ponsel itu di dalam laci. "Enggak kok. Gue senang banget punya Kakak baik kayak Lo. Wajah Kakak tambah ganteng deh," "Lo enggak tau siapa orang yang dimaksud pacar yang gue ketik tadi?" "Emang siapa?" Arsen menunjuk dirinya, "Gue sendiri," "Hah?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN