02. Bertengkar Lagi

1144 Kata
Mendengar sesuatu di kamarnya, Alista tersenyum samar. Dia membuang bungkus makanan yang isinya baru saja ia lahap habis. Ia menepuk-nepuk tangannya sambil berdiri. Alista sebisa mungkin melangkah tanpa menimbulkan suara. Setelah dekat dengan pintu kamar miliknya, dia mundur beberapa langkah. Baju lengannya ia gulung sampai siku. Detik berikutnya, ia berlari, lalu menendang pintu itu dengan penuh tenaga. Pintu itu lepas dan menimpa tubuh Arsen. Jangan bertanya seberapa rasa sakitnya. Tulang-tulang Arsen terasa akan remuk semua. "Mampus." Alista tergelak setelahnya. Adik lucknut! Bukannya ia menolong, malah menertawai. Beberapa detik, dia akhirnya mengulurkan tangan, "maaf. Cepat bangun." Eh? Arsen berdecak. Ia mengangkat pintu itu terlebih dahulu supaya bisa keluar. Tiba-tiba matanya terpusat pada sesuatu. Dia merapatkan bibir, berusaha menahan tawa. Alista memicing curiga. "Kenapa lo?!" Arsen melihat ke bawah. Alih-alih untuk menahan gelak tawa, justru terlihat aneh di mata Alista. "Lo mau ngetawain gue. Iya, kan?!" gertak Alista penuh emosi. "Enggak. Kata siapa," "Bohong. Itu kenapa bibir lo kayak dirapatin gitu?!" Arsen memegang bibirnya, "ini? Bibir gue emang begini kok." "Alasan. Bilang aja lo mau ngejek gue karena rambut gue kayak gini!" Alista merengut kesal. "Nah, itu tau. Jadi gue enggak perlu kasih tau lagi, kan?" "Ini semua gara-gara lo tau enggak. Tadi ada tiga Cewek yang nyerang gue. Katanya Mereka mantan lo. Lo tau apa yang diperbuat Mereka?" Alista menunjuk rambutnya. "Nih! Gue dijambak. Entah berapa helai rambut gue yang kecabut paksa." ia lanjut menunjuk pipi kanannya. "Nih. Gue juga ditampar." "Berani-beraninya Mereka..." Arsen mengepalkan tangan. "Kenapa lo putusin Mereka, Kak? Berhenti nyakitin Cewek lagi deh. Padahal gue sering keliatan dekat sama lo, ya, karena lo itu Kakak gue. Gue udah bilang kalau gue adik lo, tapi Mereka enggak percaya." "Mereka bukan mantan gue. Nembak aja kagak." tepis Arsen. Alista jelas bingung. "Terus Mereka siapa? Enggak mungkin dong Mereka nyerang gue tanpa alasan." "Coba nama Mereka siapa?" Alista mencoba mengingat. "Gue dengar, sih, namanya Lilia sama Bege." Arsen ber 'oh' ria. "Ada lagi?" "Ada satu lagi. 'Al' siapa, ya? Udah ah! Gue enggak inget. Sekarang lo harus beliin camilan sama boba buat gue pake duit lo sendiri! Titik. Gak pakai koma dan enggak nerima penolakan." Alista melengos. Ia duduk di depan meja rias, mulai mengambil sisir untuk merapihkan rambutnya. "Mereka bukan pacar gue, Ta. Mereka cuma teman gue dan Mereka berharap lebih. Makanya Mereka nganggap kalau gue suka sama Mereka padahal enggak." jelas Arsen membuat Alista menghela nafas. "Cewek itu enggak akan berharap lebih kalau Cowok ngasih perhatian terus menerus ke Mereka." "Perhatian? Gue bersikap biasa aja." jawab Arsen. "Biasa? Tapi bagi Cewek itu luar biasa. Saran gue, jadi Cowok itu jangan friendly ke semua Cewek. Nanti kalau salah satu dari Mereka baper, lo mau tanggung jawab? Enggak, kan?" Saat itu juga Arsen terdiam. Alista memalingkan muka, ia kembali menyisir rambutnya. "Iya udah. Maafin gue. Sini gue sisirin." Arsen mengambil alih sisir yang dipegang oleh Alista. Dia dengan perlahan menyisir rambut Adiknya itu. Alista memandang wajah Arsen dari cermin. Tampan. Tidak ingin terlena, Alista menggeleng cepat. Hal itu membuat Arsen tergemap. "Ke--" "Kalian berdua--astaga. Kok pintunya bisa lepas?" Wanita paruh baya, namun masih terlihat seperti usia 20 tahunan bernama Bianca itu kaget melihat kondisi pintu kamar Alista. Sudah tiga kali, loh, dia mengganti pintu kamar ini, tetapi hari ini malah dirusak lagi. Alista tersenyum samar. Waktunya pembalasan! "Ini semua karena Kak Arsen, Bu!" tunjuk Alista. Ia berlari ke belakang Bianca. Arsen gelagapan seraya mengibaskan tangannya. "Bukan. Aku--" Bianca berkacak pinggang. "Arsen, kenapa kamu melakukan ini?" "Udah dibilang, bukan aku yang dobrak pintunya." "Bohong! Dia yang dobrak, Bu." kukuh Alista. "Dia bohong, Bu. Jelas-jelas dia yang dobrak." Arsen kini menatap Alista, "eh, lo jangan bohong, kalau enggak, gue gak akan beliin camilan sama boba." "Arsen, jangan kasar." "Dia fitnah, Bu. Jadi pantas dikasarin." "Tuh, kan, Bu. Kakak jahat banget." "Jangan cari muka lo." "Gue enggak cari muka kok. Itu emang kenyataan." "Bu, percaya deh sama aku." "Jangan mau, Bu. Nanti Ibu di kasih harapan palsu sama kayak Cewek-cewek tadi loh." "Ngaco. Enggak bakal, lah." "Makanya tanggung jawab. Kakak harus ngakuin kesalahan Kakak sendiri." "Orang gue enggak salah!" "Salah dong. Udah kasih perhatian ke Cewek, eh tapi waktu Mereka suka, lo menjauh gitu aja." "Eng--" "DIAM!" -•••- "Yang benar dong!" "Ini warna cat nya kok enggak sepadan sama warna dinding?" "Kalau kasih cat nya itu yang se arah. Jangan bertabrakan." "Kak, warna cat nya ganti dong." "Kak, kalau pegang kuas yang bener!" "Niat nge cat atau enggak sih?!" "Kak, orang lagi ngerjain pekerjaan itu senyum bibirnya. Jangan datar gitu. Nanti hasilnya nggak baik." "Kak! Jawab dong. Dari tadi gue ngomong malah diem aja." Sabar. Itulah kata yang ada di hati Arsen sekarang. "Bantuin kagak, ngoceh iya." misuhnya masih bisa didengar oleh Alista. "Terserah gue dong. Itu sebagai pembalasan karena lo udah sering buat gue diserang sama penggemar lo." "Baru sekali aja malah dibilang sering." "Sekali? Kakak lupa? Dari sejak masuk SMP bahkan udah lulus pun selalu aja gue didatengi penggemar Kakak. Gue juga selalu dikatai perebut pacar orang. Gimana enggak sakit sama kesel coba. Padahal gue bukan Cewek kayak gitu. Gue heran, apa yang Mereka kagumi dari lo, ya." Arsen menoleh, "Bisa diem enggak?" ia menghela nafas dalam. "Iya, gue tau lo sedih karena sering diganggu teman Cewek gue. Maaf. Lo boleh minta apapun sebagai tanda permintaan maaf gue." "Beliin gue bo--" "Beliin boba?" sambung Arsen bertanya. "Yap!" Arsen mengelap tangan kotornya. "Berapa?" "Sepuluh. Buat stok tiga hari." Arsen mengadahkan tangan membuat Alista. mengernyit. "Apa?" "Uangnya mana?" tagih Arsen. "Pakai uang lo lah. Gimana sih. Kakak enggak ingat perkataan aku tadi, ya?! Dasar pi--" Perkataan Alista terhenti ketika jari telunjuk Arsen menempel di bibir tipisnya. "Bawel." Arsen beralih mengacak rambut Alista. Ia lantas beranjak meninggalkan ruangan itu. Perlahan sudut bibir Arsen tertarik. Baginya, sifat Alista itu seperti lalu lintas. Berubah-ubah. Kadang bijak, kadang bawel. "Arsen, mau ke mana, Nak?" "Mau ke tempat belanja beli boba buat Lista." "Tunggu, biar Bi Hanifah saja yang membelikan." Bianca berdiri, akan memberikan perintah pada pembantunya, tapi Arsen. "Enggak, Bu. Aku mau nebus kesalahan aku sendiri. Jadi biar aku yang beliin." "Kesalahan apa?" raut Bianca berubah menjadi serius. "Tadi... Alista dijambak rambutnya sama Cewek kenalan aku." "Apa?" Bianca terperanjat. Arsen panik, ia semakin menundukkan kepala. "Tapi udah aku sisirin lagi rambutnya." "Ibu enggak habis pikir deh. Udah berapa kali Ibu dengar masalah kayak gini. Kan, kasihan dia." "Ya, maaf, Bu. Ini bukan sepenuhnya salah aku." sesal Arsen. "Kalau kamu mau dekat-dekat Cewek, bilang ke Cewek itu kalau Alista itu adik kamu." "Udah, Bu. Mereka tetap aja nggak percaya dan menganggap Alista itu selingkuhan aku." ujar Arsen. Terdengar helaan nafas dari Bianca. "Iya sudah. SMA nanti, di sekolah kamu jangan dekat-dekat Alista, oke? Ibu enggak mau Alista diganggu lagi. Ibu mau dia fokus belajar dan masuk ke Universitas impiannya." "Iya, Ibu." Arsen pergi dulu sebentar. Laki-laki itu kemudian keluar rumah. Langit sudah berwarna jingga. Sebentar lagi akan tiba malam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN