55

1094 Kata
Alista mendorong masuk pintu rumah yang berukuran besar itu. Ia langsung mendaratkan tubuhnya di sofa, merasa lelah untuk hari ini. Kedua mata Alista terpejam, tapi apa yang dilakukan Marsel di rooftop tadi membuat Alista membuka matanya kembali. Ia berusaha meyakinkan diri sendiri kalau Marsel itu laki-laki baik. Alista terduduk. Ia membuka syal yang diberikan Marsel. Dirinya berdecak ketika melihat bekas dari perbuatan Marsel belum hilang juga. Alista panik. Ia beranjak ke kamar mandi di kamarnya. Percikan air terdengar. Saat itulah Alista berusaha menghilangkan bercak kemerahan itu. Namun usahanya seakan tidak berbuah sama sekali. Bekas itu masih ada. “Lis! Lista?” Alista melotot gusar. Gawat! Kakaknya datang lagi! “Apa!?” sahut Alista setengah berteriak. Dia memakai handuk. Tak lupa ia lilitkan syal pada lehernya. Gadis itu menarik pintu dan terkejut mendapati Arsen sudah di depan pintu. “Habis apa Lo?” “Mandiin mayat.” Alista berdecak kesal. “udah tau habis mandi, kenapa masih tanya coba.” Katanya, lantas berjalan melewati Arsen. Arsen mengikuti langkah adiknya hingga dia duduk di tepi ranjang. “Ngapain Lo pakai syal?” “Emang kenapa? Gue lagi pengin pakai syal kok,” “Ah, masa.” Alista melirik sinis. “Bisa pergi sekarang? Gue mau ganti baju.” Arsen tidak menjawab, namun tetap dia pergi menuruti permintaan Alista. Tingkah adiknya aneh. Jarang-jarang sekali Alista memakai syal. Sekalinya pakai, pasti Adiknya itu mengeluh syalnya tidak baguslah, panaslah, dan berbagai keluhan lainnya. Sekarang malah berbeda jauh. Arsen berdiri menyandar di depan pintu kamar Alista sambil melipat tangan di depan d**a. Tunggu saja. Dia akan mencari tahu jawaban dari rasa penasarannya ini. Sekitar lima menit, barulah Alista keluar dengan menggunakan cardingan cokelat serta celana hitam polos dan syal yang melilit di lehernya. Arsen mengikuti langkah Alista. Dia menarik syal Alista dari belakang sampai akhirnya terlepas dan menampakkan leher jenjang Adiknya itu. Alista menengok. Tidak lupa tangannya menutupi leher jenjang itu. “Ish! Syal gue balikin!” “Buat apa pakai ini segala? Heran gue. Cuaca lagi panas juga malah pake ginian.” Arsen menyembunyikan syal itu di belakang punggungnya. “Terserah gue dong! Siniin enggak?!” Alista berusaha meraih benda itu, namun sialnya Arsen malah mengangkat tangan, meninggikan syal itu. Kalau sudah seperti ini Alista tidak bisa lagi mengambil sebab tubuhnya susah menggapai. “Enggak. Wle!” Arsen memeletkan lidah. Namun... dalam sekejap tatapannya berubah serius ketika melihat bercak kemerahan di leher Alista. Walau sudah dihalangi oleh tangan Adiknya itu, Arsen masih tetap bisa melihat. Cowok itu berhenti, memegang lengan Alista dan menurunkan tangan itu hingga tampaklah bekas kemerahan di beberapa titik di sana. Arsen tidak bodoh dan juga polos. Tentu dia tahu apa yang menyebabkan kemerahan itu ada. “Siapa yang ngelakuin ini?” tanya dia serius. Alista merebut syal yang digenggam Arsen. Ia memakainya dengan cepat. “Lakuin apa?” “Bilang siapa yang ngelakuin itu?!” “Ngelakuin apa, sih? Kakak kalau ngomong suka nggak jelas.” “Jangan buat gue perjelas akan hal itu, Lis.” Kepalan tangannya menguat. Sirat matanya itu makin menyorot berapi-api. Jelas ia tidak akan mengampuni orang yang berbuat seperti itu pada adiknya. “I—ini tadi Cuma digigit semut doang kok.” “Gue enggak bodoh!” sentak Arsen membuat Alista melihat ke arah lain, tidak berani menatap Arsen. “Lo masih pacaran sama si Marsel? Iya?! Udah berapa kali gue bilang, tinggalin dia sebelum dia merusak lo lebih jauh! Lo anggap gue apa, Lis? Gue itu Kakak Lo dan udah jadi kewajiban gue buat melindungi dari hal yang enggak baik. Tapi Lo malah enggak peduli akan nasihat gue!” “Kenapa Kakak posesif banget, sih?! Lagian dia Cuma sekali ngelakuin ini. Berhenti lebay gitu, bisa? “Jadi Lo belum putus sama dia?” “Bukan urusan Kakak.” Alista berbalik dan melenggang pergi ke ruang tamu. Masa bodoh dengan Arsen yang terus memanggilnya untuk diinterogasi kembali. Sebelum Adiknya itu pergi, Arsen lebih dulu mencengkram kuat lengan Alista. “Jawab pertanyaan gue sebelum gue dengar hal itu dari orang lain.” Alista menghempaskan kasar tangan Arsen. “Apaan, sih, Kak?! Emang iya gue masih pacaran sama dia! Udah dengar, kan? Sekarang lepas.” “Udah gue bilang berkali-kali ja—“ “Kak! Ini hidup gue. Gue yang menjalani. Kakak jangan terlalu ikut campur. Kakak mau gue bahagia, kan? Marsel itu sumber kebahagiaan aku sekarang, Kak!” potong Alista menggebu-gebu. Dia membalikkan badan kembali. Rambutnya mengibas, mengenai wajah Arsen. Tangan Arsen semakin mengepal kuat, kemudian meninju dinding, mengeluarkan semua emosinya di sana. Adiknya itu sangat keras kepala! Ia harus bilang apalagi untuk memberitahu kalau Marsel bukanlah laki-laki baik. Kenapa lo? Dari tadi senyum-senyum enggak jelas. “ “Gue berhasil, Bri! Gue berhasil!” Marsel menyeka keringat yang mengucur di pelipisnya. Ia kemudian menengok ke arah Brian yang tengah memasang raut bingung. “lupain. Malam nanti kita ke kelab. Gimana?” “Dengan senang hati, Bro. Mumpung ortu gue lagi ke luar kota.” “Marsel,” Pandangan Keduanya beralih ke depan dan mendongak. Mereka tidak percaya dengan sosok Gadis di depannya kini. “Apa?” Botol air mineral yang sedari tadi Nandin remas, sekarang dia serahkan tepat di depan Marsel. Melihat itu, Marsel langsung berdiri. Nandin menunduk, tidak berani menatap. Terlebih lagi saat tidak sengaja melihat mata tajam Marsel serta menyadari Laki-laki itu lebih tinggi darinya. “Disuruh siapa lo?” Nandin menggerakkan kepala ke kanan kiri. “I—ini pemberian aku sendiri.” Marsel menengok ke belakang. Senyum miring tercetak jelas di wajahnya yang menyebalkan itu. “Bri, Lo liat?” Brian beranjak berdiri. “Ngapain Lo kasih minuman ke dia?” “A—aku lihat Marsel kehausan jadi inisiatif aku beli minuman buat dia,” jawab Nandin gugup. “Kenapa Lo begitu perhatian? Lo suka gue?” Marsel merebut botol di genggaman Nandin. Dia membuka tutup botol itu. Marsel terus memperhatikan Nandin yang kelihatan salah tingkah. “huh?” dehamnya setelah tidak mendapat jawaban. “Aku...” “Aku apa? Ngomong yang jelas dong.” “Enggak. Aku enggak bermaksud apa-apa,” kata Nandin akhirnya. Tentu Marsel tidak percaya begitu saja. Ekspresi wajah Nandin yang polos itu mudah sekali dia baca. “Jangan bohong. Gue bisa lihat dari raut Lo,” “Udah, Mar. Jangan didesak. Malu dia,” sanggah Brian. Kasihan juga melihat Nandin yang ketakutan sekaligus gugup seperti itu. “Yah, segitu aja masa malu? Kalau suka ngomong dong. Gue orangnya to the point dan gak suka bertele-tele.” Desak Marsel. Nandin memejamkan mata rapat-rapat. Ia berhenti memilin ujung baju. Bibir tipisnya perlahan bergerak, hendak mengatakan sesuatu. “Iya. Aku... suka kamu,”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN