27. Heboh

1245 Kata
Arsen maju dua langkah. Setelahnya Farhan langsung bergerak mencengkram kerah baju Arsen. Urat di lehernya kelihatan, menandakan ia benar-benar emosi sekarang. Farhan menunjuk wajah Arsen. Kilat matanya berapi-api. "Sudah saya bilang sebelumnya! Jangan pernah sebut nama anak itu di hadapan saya lagi! Dia tidak ada hubungannya dengan saya!" Bugh! Tinju itu sukses mengenai rahang Arsen hingga terhuyung ke samping. Arsen memegang ujung meja untuk menahan tubuhnya, sementara tangan kanannya memegang sudut bibirnya yang terluka. "Saya hanya menanyakan keberadaan putri anda. Bukan musuh Anda." "Dia sama saja musuh saya, bodoh!" Nela yang melihat suaminya bertengkar, bergegas menuruni tangga dengan raut khawatir. Dia takut jika suaminya kebablasan. Kalau terjadi sesuatu yang buruk, bisa-bisa nama baik keluarga ini tercoreng. "Mas, sudah." Nela memegang kedua pundak Suaminya untuk menahan. "Dia harus diberi pelajaran!" "Iya, tapi tidak seperti ini juga caranya, Mas." kata Nela dengan lembut. Seketika hati Farhan luruh. Pria itu mulai mengatur nafas. "Tante tau di mana keberadaan Alista?" Arsen memandang Nela dengan permohonan. Sungguh, pikiran megatifya kini telah ke mana-mana. Ia takut terjadi sesuatu pada Adiknya. "Dia tidak ada di sini. saya tidak pernah bertemu dengannya. Apa kamu tidak dengar perkataan suamiku? Pergilah sekarang!" *** Arsen menendang batu kerikil di hadapannya. Ia duduk di tepi jalan, tidak tahu harus apa lagi. Keberadaan Alista menjadi pertanyaan di benaknya sekarang. Dia mengacak rambut. Lampu sebuah kendaraan menyorot dirinya. Mata Arsen spontan menyipit. Ia berdiri untuk menghindari tabrakan. Namun, mobil itu berhenti. Arsen memilih untuk tidak peduli, tetapi... Seorang wanita dikeluarkan paksa dari mobil tersebut. Lebih parahnya lagi ada luka di sudut bibir, lutut dan sikut tangannya. Kendaraan itu justru pergi mengabaikan sang wanita begitu saja. Arsen terperangah. Rasa ibanya muncul. Tanpa berpikir lagi, dia berlari menghampiri Perempuan yang belum ia ketahui namanya. Dari seragam itu, Arsen bisa menyimpulkan Wanita ini seumuran dengannya meski berbeda sekolah. "Tolong..." Gadis itu terbatuk-batuk, mengeluarkan cairan amis berwarna merah. Arsen berjongkok, "Rumah lo di mana?" Sang perempuan menggeleng lemah. Tangannya yang sudah terdapat luka lecet itu meraih lengan Arsen, "Ba...wa...gu...e...ke...ru...mah...sa...kit..." pandangan di sekitarnya berkunang-kunang. Rasa sesak kian menghimpit di d**a. Semuanya tiba-tiba mengabur sampai gelap tidak tersisa. Arsen panik. Telapak tangannya bergerak menepuk-nepuk pipi tirus Gadis itu. "Please, jangan pingsan sekarang..." Percuma. Tidak membuahkan hasil sama sekali. Ia melepaskan jaket, memakaikannya untuk menutupi pundak Perempuan itu yang penuh luka. Tidak sengaja, dia melihat name tag 'Sesil' di sana. Arsen menempatkan tangan kiri di leher sementara tangan kanan di sikut kedua kaki, kemudian mengangkatnya. Arsen berjalan ke halte sembari menggendong Sesil agar lebih mudah menghadang taksi, sedangkan nasib motornya akan dia serahkan pada Pak Tria, supir di rumahnya. Tidak heran lagi. Antensi halte terpusat pada Arsen. Berbagai pasang mata yang menatap horror diabakan semua oleh Arsen. "Apa itu kekasihnya? Miris sekali. Perempuan itu tidak mendapat kekasih yang baik." "Astaga, apa yang dia lakukan pada perempuan itu?" "Hey, jangan beranggapan negatif. Siapa tau dia orang baik yang menolong wanita itu." "Iya, benar. Aku tidak percaya anak seumuran itu bisa melakukan hal buruk. Lagian jika iya dia melakukan suatu kejahatan, ada banyak CCTV yang terpasang di jalan sekitar sini. Tapi kelihatannya laki-laki itu adalah orang baik." Banyak opini yang mereka simpulkan tanpa tahu fakta yang sebenarnya. Arsen tak peduli. Dia 'menutup' telinga rapat-rapat hingga akhirnya sebuah taksi datang dan berhenti di depannya. Arsen meletakkan Sesil masuk ke dalam, sebelum dirinya menyusul. "Ke rumah sakit kemangi sekarang." **** Bunyi jangkrik menggema, mengisi ruang kamar mandi yang berukuran agak luas itu. Tetesan air hujan yang terdengar dari luar membuat suasana semakin mencekam. Alista menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan. Ia memaksakan matanya untuk terpejam meski rasanya sulit. Raganya merasa kedinginan sebab selama ini ia sudah terbiasa menggunakan selimut jika malam tiba. "Jaket gue masih belum cukup?" Alista perlahan bergeser menjauh ketika merasakan suara Marsel dekat dengannya. "Enggak perlu. Ini gue nggak pa-pa," Tangan Marsel memegang telapak Alista, berniat untuk mengusapnya agar memberi sensasi hangat, namun yang membuat ia kecewa, lengannya ditepis kasar. "Enggak usah, Sel. Gue baik-baik aja." "Maaf," "Hm," deham Alista tanpa mendongakkan wajah sedikitpun. Meski otaknya menyuruh dia untuk melihat Marsel. "HP gue tertinggal di dalam sana." "Iya udah. Buka, bego." "Lo bantuin dong." "Lah, Lo pemilik barang yang tertinggal di sana, masa gue harus bantuin." "Ish. Gitu amat Lo. Katanya bestai gue," "Nah, Lo, kan, bilang bestai jadi gue nggak perlu bantu karena gue bukan besti Lo," "Aduh! Ini anak diminta tolong ribet amat." "Buruan Lo buka hih. Nggak baik di sini lama-lama. Gelap woy. Mana cuma ada satu lampu lagi," "Awas. Bisa lepas pegangan Lo di pundak gue nggak? Tangan Lo berotot tapi mental Lo kayak kerupuk." "Iya! Mental gue kayak kerupuk. Tuh, gue udah akui. Sekarang cepat buka pintunya." Alista terperangah. Suara percakapan di luar sana menyalakan api harapannya kembali. Ia berdiri spontan. Marsel yang merasakannya pun seketika mendongak. Ia tak melihat apapun selain kegelapan. Lantaran kamar mandi ini tidak ada lampu sama sekali. "Tolong..." Alista menggantungkan kalimat ketika seseorang membuka pintu kamar mandi tersebut. Senter dari ponsel menyorot wajah Alista. Altair dan Johan berteriak histeris secara bersamaan. Alista yang menduga hal lain pun ikut melengking tak kalah keras, sama histerisnya dengan Mereka. Suara teriakan mereka menggema. Orang-orang yang menempati rumah samping sekolah itupun mengira yang tidak-tidak. Sementara Marsel? Dia bingung. Mau ikut teriakpun tidak ada hal yang seram. Justru dia kesal sebab kedua curut itu mengganggunya. "AAAAKKKHHH! ASTAGHFIRULLAH'ALADZIM! SEMALAM GUE MIMPI APA SAMPE LIAT BEGINIAN!" "EH, TAPI HANTUNYA CAKEP WEH! GIMANA PAS HIDUPNYA YAH!" "BODOAMAT! GUE ENGGAK BERANI LIAT!" "LIAT DEH, JO! GLOW UP DIA!" "WOY! INI GUE ALISTA! KALIAN KENAPA, SIH?!" sentak Alista tidak terima. Enak saja, masih bernyawa begini sudah dibilang arwah. "Alista? Wah! Jangan ngadi-ngadi Lo!" Altair kembali menyorot wajah Alista. Kedua tangan Alista menyilang, melindungi matanya yang terasa risih. "Aduh! Awas! Gue mau keluar aja! Minggir kalian." dia menarik langkah, berjalan menerobos keluar melewati Altair dan Johan. Marsel dengan santainya mengikuti langkah Alista. Setelah dia keluar, barulah wajah Alista terlihat jelas. Altair pun mengusap d**a. Bukan karena lega, melainkan takjub dengan wajah... Tunggu. Untuk apa Alista masih di sini dengan Marsel? "Kalian berdua ngapain di kamar mandi? Udah malam, loh, ini. Kalian habis ngelakuin yang aneh-aneh, ya?! Iya, kan? Iya, hm? Udah, ngaku aja." desak Altair. Lain dengan Johan. Cowok blasteran itu mulai masuk ke dalam berbekal senter di ponsel milik Altair yang ia pinjam. "Apaan. Gue nggak ngapa-ngapain." Alista menabok nyamuk yang berkeliaran di sekitarnya. tapi hal itu membuat Altair ngeri sendiri. Bisa saja, kan, Alista menabok dirinya. "Btw, thanks, ya, Al, Udah buka pintu itu. Kalau lo nggak datang, mungkin semalaman gue digigit nyamuk dan tidur di dalam sana." Alista menyunggingkan senyum manis, ia menepuk beberapa kali pundak Altair. Altair bagaikan terhipnotis. Bahkan senyum Alista menular padanya. "Lo enggak mau ngelakuin apa gitu sebagai bentuk tanda terimakasih?" "Em... gimana kalau gue--" "Gimana kalau lo jadi pacar gue?" potong Altair cepat. Marsel melotot tidak terima. "Lo kira dia Cewek murahan?!" dia menarik Alista agar Gadis itu bersembunyi di belakangnya. "Marsel, lo--" "Mending kita pergi. Daripada berurusan sama Playboy akut kayak dia." Alista tak menjawab, melainkan mendumel di dalam hati menyadari ucapannya sudah dipotong untuk kedua kali. Tidak satu detikpun gandengan tangan Marsel lepas dari Alista hingga akhirnya sampai di depan gerbang. "AL! KALAU LO ENGGAK TERIMA TAWARAN ITU, GUE BAKAL KASIH TAU HAL INI KE SELURUH KELAS!" teriak Altair menggema di setiap sudut sekolah yang telah sepi nan gelap. Alista menoleh, mendapati Altair tersenyum penuh arti padanya. Astaga, dia tidak tahu apa yang Cowok itu lakukan besok. Yang terpenting dia harus memberitahu Arsen nanti untuk membantunya agar Altair bungkam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN