Kalau memang kau menganggap aku sebagai istrimu, lantas kenapa tak pernah memintaku menjalankan kewajiban layaknya seorang istri, Mas?
Bikin baby misalnya. Eh!
"Baiklah, kalau kamu menolak makan di luar. Aku tinggal dulu. Kamu bisa pesan makan sama kang Ojol, atau … mau minta dibungkusin makan?"
Aku terkesima. Merasa jika yang sedang berbicara di hadapanku adalah orang lain. Bukan Mas Rafka, suamiku yang dingin dan suka jual mahal itu.
Ya Tuhan! Kesambet di pohon mana dia? Kenapa mendadak baik begini?
Detik selanjutnya, aku benar-benar kaget saat dia tiba-tiba melambaikan tangan dengan jarak dekat di depan wajahku. Seperti tengah memastikan aku sedang melamun atau tidak.
"Gimana, mau dibungkusin makan atau pesan sendiri?" tanyanya, meminta kejelasan.
Aku membeku. Masih tak menyangka jika lelaki yang selama dua bulan ini fotonya bersandingan dengan fotoku di buku nikah, memberikan tawaran yang begitu menggiurkan.
Ya Tuhan! Pilih mana? Pergi bersamanya, minta dibungkusin makan, atau … memesan di tukang ojek online? Seperti biasanya?
Argh …! Benar-benar pilihan yang membingungkan.
Aku yang merasa tak seharusnya semudah itu luluh padahal sempat bersitegang dengannya, akhirnya mengambil keputusan.
"Aku pesan sama Kang Ojol aja," ucapku, meski dalam hati meronta ingin pergi bersamanya.
Mas Rafka mengangguk pelan.
"Oke, baiklah. Aku pergi dulu," ujarnya, lantas melangkah menjauh. Meninggalkan aku yang duduk sendiri di sofa ruang keluarga ini.
Aku menggigit bibir dengan perasaan campur aduk saat punggungnya yang lebar, perlahan menghilang dari pandangan.
"Huh! Apa keputusan aku barusan, salah besar?" gumamku sambil mengaitkan jari jemari dengan kaku saat Mas Rafka benar-benar telah pergi meninggalkan rumah.
"Tapi tidak! Aku tetap harus jaga gengsi biar nggak kelihatan bucin-bucin amat. Biar aku ada harga dirinya," ucapku, coba menghibur diri sendiri.
"Ah … tapi … bukannya makan malam berdua dengannya di luar merupakan kejadian langka? Apakah aku salah besar karena menolak tawaran itu?"
Selanjutnya, bukannya memesan makanan melalui jasa delivery order, aku yang galau, justru tertarik menelepon sahabat baikku untuk menyampaikan unek-unek padanya.
Saat panggilan dengan Sheila tersambung, aku pun langsung menceritakan semua unek-unek tentang apa yang terjadi padaku dan Mas Rafka dari suamiku pulang kerja sampai dirinya pergi lagi untuk mencari makan di luar belum lama ini.
"What? Jadi serius, dia ngajakin lo makan malam?" tanyanya seperti tak percaya dengan apa yang aku sampaikan belum lama ini.
"Iya …."
"Serius?" tanyanya sekali lagi.
"Iya, ya ampun! Ngapain juga gue boong. Nggak percayaan amat jadi orang!"
Sheila terkekeh kecil.
"Habisnya kayak mustahil gitu loh, gue denger kabar dia ngajakin lo dinner. Rasanya tuh, kayak … denger kabar upil bisa dijual perkilo," ujarnya lantas terbahak-bahak.
Dasar menyebalkan! Selalu saja membuat analogi tidak masuk akal saat membahas tentang hubungan pernikahanku dengan anak bungsu mertuaku.
"Terus terus? Lo nolak buat pergi sama dia gitu?" tanyanya, memperjelas.
"Ya iyalah, gue nolak. Masa, masih marahan, diajakin makan malam bareng, mau. Gengsi, dong."
"Eh iya, yah. Bener juga."
"Itulah, aneh. Habis nuduh gue yang enggak enggak. Eh, terus ngajakin makan. Kan susah untuk dimengerti, Bestie."
"Kayaknya dia ngerasa bersalah sama lo, deh, Na. Makanya dia baikin lo tiba-tiba."
"Gitu, ya?"
"Ya kali aja gitu. Tapi btw, kayaknya nggak masalah, deh, kalau lo tegesin sama dia kalau lo emang bukan cewek gampangan. Tapi satu-satunya cara, ya … lo sama dia harus—." Sheila terdengar menggantung kalimatnya.
"You know what, lah …."
"Ih … enggak-enggak. Gila apa? Masa iya diajakin makan malam berdua, nolak, terus habis itu minta nafkah batin sama dia. Muka gue mau taroh di mana lagi? Di kolong ranjang?" ujarku sambil bersungut-sungut kesal dan membuat Sheila tertawa semakin keras.
"Emang absurd kalian berdua."
Selanjutnya kami bercakap-cakap banyak sampai aku benar-benar lupa untuk sekedar memesan makanan.
***
Panggilan dengan Sheila baru saja aku akhiri, saat aku mendapati lelaki tampan itu pulang dan … membawa sebungkus makanan? Apakah itu untukku?
Dadaku berdebar kencang saat langkahnya terayun menghampiri diriku.
"Aku tahu kamu belum makan. Makanlah." Dia mengulurkan satu kotak coklat yang mungkin saja berisi nasi ke hadapanku.
Aku benar-benar canggung dan tak tahu harus berbuat apa. Percayalah, sekedar nasi dalam kotak pun, bagiku terlihat seperti satu buket bunga mawar besar yang tengah dia sodorkan.
Katakanlah aku lebay. Ya … memang aku lebay.
"Ma-makasih, ya, Mas, karena udah se-care ini sama aku." Akhirnya, setelah melalui pertimbangan singkat, kuterima juga plastik berisi kotak yang diangsurkannya.
Mas Rafka tersenyum miring.
"Nggak usah GE ER, aku cuma nggak mau papamu yang galak itu marah-marah dan menuntutku melanggar HAM karena anaknya yang sok cantik ini nggak dikasih makan."
Aku meneguk ludah dengan berat.
Ya ampun!
Apakah dia menganggapku seperti peliharaan? Kenapa harus ada kata dikasih makan?
***
Minggu sore, aku yang jenuh karena beberapa sudah beberapa hari 'libur' kuliah, tak menolak saat Sheila mengajakku untuk menonton film sore ini.
Sangat memprihatinkan, bukan? Sudah punya suami saja, ke mana-mana selalu dengan teman perempuan.
Sudah seperti jomblo nggak laku saja, kan?
Setelah persiapan dirasa cukup, aku pun berpamitan padanya. Lelaki yang terus saja sibuk dengan laptop di pangkuan, padahal hari ini adalah hari Minggu.
Tak adakah hari libur untuk orang sepertinya? Bukankah kekayaan keluarganya lebih dari cukup untuk menghidupi sampai beberapa generasi? Kenapa ngoyo sekali?
"Mas, aku … izin pergi, ya. Sheila ngajakin aku nonton." Aku berucap lirih saat berdiri di sampingnya. Lelaki yang duduk di sofa kamar dengan tangan yang terlihat aktif menekan keyboard laptop.
"Mas, aku izin pergi. Mau nonton, ada film seru hari ini." Merasa dia mengabaikanku, aku terpaksa mengulang ucapan saat meminta izin.
Mas Rafka yang semula masih saja sibuk dengan laptop miliknya, mengalihkan pandangan. Menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Memangnya …. Kamu nggak ada baju yang lebih seksi lagi dari ini buat dipake ke bioskop? " tanyanya sambil menatapku dengan pandangan menusuk.
Aku lantas mengamati sendiri penampilanku. Rasanya … tidak ada yang salah pakaianku.
Kaos lengan pendek berwarna putih yang kupadukan dengan highwaist hotpants jeans dan sepatu kets warna putih juga, rasanya bukan kombinasi yang buruk. Sangat matching malahan. Untuk tingkat keseksian pun, rasanya tidak berlebihan juga.
Lantas, kenapa dia seperti mengutukku karena pakai baju fashionable seperti ini?
"Kamu mau nonton film, apa mau jualan, ha?!" Aku benar-benar kaget ketika melihatnya menunjukkan ekspresi berbeda saat ini. Ya, bahkan dia sampai meletakkan laptop saking geramnya.
Punya masalah apa, sih, dia?
"Ganti bajumu dengan pakaian yang lebih sopan, atau … kau sama sekali tidak boleh keluar hari ini!" ucapnya penuh ketegasan. Dadanya yang bidang, bahkan terlihat naik turun saat memberikan peringatan.
Ya Tuhan! Kolot sekali.
Aku merengut kesal menatapnya. Sangat menyayangkan kenapa selera fashionnya cenderung kuno dan ketinggalan jaman.
"Ya sudah aku nggak jadi pergi, lagian udah telat juga kalau mendadak harus cari baju sholeha," ujarku dengan perasaan dongkol.
"Ya, memang seharusnya begitu. Seorang istri sekaligus ibu rumah tangga sebaiknya memang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah daripada hang out hang out nggak jelas di luar," ucapnya penuh penekanan.
Aku mencebik kecil saat merasa suamiku mendadak ustadz kali ini.
"Kalau mau pergi, kamu bisa minta ditemani suami biar tidak terjadi fitnah."
Hah? Ap-apa, apa dia bilang barusan?
Minta ditemani suami? Bukankah secara tersirat itu artinya ... dia mengajakku menonton? Ya ... walaupun dengan kalimat yang sedikit berbeda?
Ya ampun! Apakah aku tidak salah dengar?
"Minta ditemani suami? tanyaku, meminta penjelasan.
"Ya."
Iya? Dia bilang iya? Mas Rafka mau menemani aku menonton? Sekali lagi, aku tidak salah dengar, kan?
Ya Tuhan! Apakah ini artinya aku harus pergi ke THT untuk memastikan telingaku masih berfungsi dengan normal atau tidak?
"Jadi, apa aku harus ganti baju?"
"Harus, pakai baju yang lebih sopan. Kalau belum bisa berhijab, minimal pake baju panjang. Aku tidak rela jika ada laki-laki lain yang menjadikanmu pemandangan."
Hah?